Tuesday, November 19

Pandemi: Proyek Panik


06 Maret 2024


Oleh: Daniel Kaligis


Babad yang tak sempat disajikan saat pandemi merebak, anda boleh menikmatinya di lain kesempatan, walau pengalan-penggalannya mungkin telah anda baca dalam artikel berbeda atas nama siapa atau atas nama saya. Begini tersurat: Torang manyanyi – love is all that I can give to you, love is more than just a game for two . . .

Sudah dicatat, global financial crisis, billions of human beings living below the poverty line, thousands dying needlessly from war, malnutrition or easily curable diseases and thousands more dying. Maar, history pernah dibongkar-bangkir semau orde, semau kepentingan yang bersarang dalam kuasa para penindas…


ILUSI berlayar dalam badai, pandemi ini perang. Walau, kita dapat menelisik pertalian soal hari ini dari ‘benang merah’ persoalan kusut hari silam. Suraro, yakni serdadu, tentara. Lelaki penempur itu berkisah pada saya — cerita tentang suatu masa. Siapa dia? Babad apa? Tidak penting, sebab perang masih berlangsung sekarang. Persaingan bisnis. Pergulatan kata. Kuasa cari perhatian. Ulangi, pandemi ini perang.

Dengar kata mereka: Bekas suraro, bahkan ada yang nda pernah dapa doi pensiun, kong boleh jadi stouw dorang nda pernah pensiun sampe sekarang. Dorang bilang, masa silam adalah neraka pergolakan: perang sudara, battalion-battalion kompi-kompi rancang strategi baku lawang pangmalawang baku hajar. Dinding berkuping, bicara sembarang ditahan, manusia memangsa manusia.

Kata, perang, potongan artikel ini dapat anda simak dalam ‘Gerilya Mesin Perang’, di media ini, tercatat, 03 Maret 2023.

Tahun silam saya mencatat: La Estoriê 03 March — 1857 — Prancis dan Britania Raya menyatakan perang terhadap Cina — 1878 —  Bulgaria merdeka dari Ottoman — 1918 —  Jerman, Austria, Rusia menandatangani Traktat Brest-Litovsk hentikan keterlibatan Rusia dalam Perang Dunia Pertama.  Pada ketika yang sama Finlandia, Estonia, Latvia, Lithuania, dan Polandia beroleh kemerdekaan. Catatan perang yang usang, 2020.

Entah apa pertaliannya. Perang seiring pandemi, tahun-tahun jadi pengalaman: Medio 1918 ada Flu Spanyol. Siddharth Chandra, PhD, direktur di Michigan State University, dalam penelitiannya terkini terkait Flu Spanyo, menyebut bahwa di daerah Jawa dan Madura, ada lebih kurang 4,37 juta korban jiwa dari penduduk yang berjumlah sekitar 60 juta orang saat itu. Demikian diberitakan detik.com.

Apa maunya pandemi? Menjaga jarak sudah dari dulu. Namun, persaingan bisnis mengendap-endap. Berita, semacam pelintir-pelintir segala syarat berpergian. Setelah terkurung, apakah rakyat terus akan disuapi makan-minumnya oleh negara? Mustahil.

Virus berusia tua, pernah dianggap enteng, dikira renta. Lalu, ketika takut menyerang, menyamar baru, mengancam mati, kejam dalam kelam sosialisasi: asumsi dan persepsi, entah cocoklogi, tapi sudah ada sejumlah korban.

Kembali pada ilusi perang: Waktu berganti di tanggal sama berapa tahun silam, dengan sejumlah kawan mendiskusikan perang. Saya berbagi video mesin perang canggih di media sosial, kawan-kawan menanggapi. “Prihatin pada hasrat menggelora. Cakar, taring, serta raung bagai anjing liar-anjing liar berebut tulang,” ujar kawan dari Wanua, Geovani Nomura Iskar.

Pengulangan yang akan dilupa: Tentang mesin perang – yang dalam asumsi saya – itu adalah senjata canggih, Annashka Mozhayev bilang, “Keuren emang dan America sudah punya something similar. Kalau ini punya Israel, aku gak kaget lagi,” ujar kawan yang bermukim di London itu.

Hari sama di tahun beda, 2012. Saya menera kutipan, Book of Nature: and when all the pretty blossom had fallen from our branches, we found that we were one tree, and not two. Dari depan CIMB Bank – 50 Raffles Place, Singapore Land Tower, di situ, menerawang awal kemarau nan manja. Metafora airmata di baris terujung tawa gemasmu. Tandus makin berbekas di carang-carang meliar, bianglala pudar di pangku kabut. Ilusi kita berlayar dalam badai.

Perang membikin carang-carang patah. Rakyat, seperti carang. Bagaimana? Patah arang. Berapa tahun silam kawan-kawan masih boleh melancong ke mana-mana, boleh menikmat jajan alamiah dari rak-rak pedagang kecil, belanja dari lapak di sudut-sudut persimpangan. Mudah beroleh penawar generic di tengah bombardemen iklan apa saja.

Mengulang hari itu, di tahun 2012, depan CIMB Bank – 50 Raffles Place, Singapore Land Tower, saya ngobrol virtual menjawab Nita Tjindarbumi yang saat itu bersuara dari Jakarta. Katanya, “Belum dua puluh empat kunikmati kesendirian ini, setelah usai kisah kita, kini aku menghadapi sebuah tawaran manis yang sulit untuk kutampik. Ah, cinta ternyata tumbuh di mana-mana meski kadang di tempat yang salah. Oh, tentu saja kita akan bisa menemukan pembenaran atas kekeliruan yang masih bisa kita carikan jalan keluarnya. Selamat datang cinta. Ini kisah cinta baruku, bagaimana kisah cintamu Aj Boesra, Sandra Palupi, Novline Lidia, Daniel Kaligis, Evert Maxmillan Pangajouw, Ria Tjindarbumi, Sari Wiryono, Anastasya Bee, Dima Here Wila, Gyanthie Widjajanto, dan semua teman facebook-ku lainnya? Happy week end.” Seperti itu Nita mengajak kawan-kawan berdiskusi.

Sandra Palupi bilang, “Cintaku aman-aman dan berusaha kunikmati. Seperti berada di gelayut roller coaster kata Bon Jovi, menikmati apapun.”

Menjawab Nita, Aj Boesra sebut, “Cintaku di ujung Papua.”

Lalu, kata bersambut kata. Aj Boesra menuding capital letter yang dilontar Karjo Aduhai: cinta itu buta, berhuruf besar pangkal ke ujung kalimat itu, menanggap cerita Nita. Padahal, Karjo sebutkan yang mana dia mengutip ujaran, dalam mana – ujaran itu adalah fakta dalam hidup manusia.

Duhai, senandung sajak-sajak disambung pertikaian kata. Aj Boesra kian meradang. Kawan lain juga. Huruf dianyam jadi kata, perang berlanjut di sembarang tempat, dan kita di sini menaruh perhatian untuk kenang yang diulang lain waktu.

Nama-nama di atas berdiskusi, lalu diam. Entah bosan, entah punya alasan lain. Kita masih berkawan dan masih tetap saling sapa, walau mungkin telah jarang karena berbagai kesibukan.

Namun kata bergerilya. Bersemayam dalam diam, lalu tetiba merebak jadi perkara. Anda punya berbagai argumen untuk membantah data dan fakta, dasar bantahannya mesti sama: data dan fakta juga tentunya.

Kata-kata diramu jadi propaganda, lalu panik tiba pada otak sejumlah khalayak. Sekarang cemas menanti janji-janji. Generasi instan telah hidup hampir saban hari dalam pertikaian kata. Bila nanti pandeemi berulang, kita telah punya cerita panjang pengalaman yang boleh jadi acuan untuk melawan propaganda menindas supaya diri kita tidak tergilas. Demikian. (*)


Wanua Online, 03 Maret 2021