Wednesday, October 16

Tag: Utama

Chosŏn Minjujuŭi Inmin Konghwaguk
Budaya, Guratan, Internasional

Chosŏn Minjujuŭi Inmin Konghwaguk

09 September 2021 Oleh: Dera Liar Alam Negara itu batas politik. Dogma, sudah sekian lama membungkam pengetahuan dan fakta-fakta. Namun, keyakinan tak selalu benar-benar dapat bertahan, malah rontok oleh ketakutan ngeri yang ditularkan pesta politik sejumlah pebisnis yang kambuh oleh uang dan alat bayar… Kuasa turun dari langit, seperti itu klaim sejumlah dogma. Bukan hanya teks Sumeria yang berkisah seperti itu, orang-orang di Chosŏn Minjujuŭi Inmin Konghwaguk punya keyakinan seperti teks Sumeria jauh sebelum anda membaca kitab-kitab yang disangkakan suci: putra dewa Hwanung turun dari surga untuk menyatukan umat manusia di bumi… ZAMAN tembikar tak berpola di Mumun, berikutnya tembikar berpola sisir di Jeulmun. Tak ada teks, hanya kisah tutur dan penemuan-penemuan yang kemudian...
Etos Miskin Etik
Budaya, Editorial, Guratan, Opini

Etos Miskin Etik

09 September 2021 Artikel ini sudah ada sejak berapa tahun lalu, seperti itu, sejarah berulang. Tadi, sore menjelang malam di tepi pantai nan ramai, mengulang huruf, sajak-sajak yang sekian lama dirusak. Ketika malam baru mulai, bersua kawan di kafe depan hotel tak jauh dari debur gelombang hambar oleh riuh kota. Kami mengulang bincang sejarah berulang, kata diedit, ditambahkan, dimodifikasi, dan manusia-manusia lupa. Menggejala, menggila, dan cinta diri… Oleh: Daniel Kaligis Penulis adalah jurnalis penulis JAKARTA, belantara beton logam kaca plastik. Nyaku, pada satu ruang, melantur kaki lepas penat sehari suntuk. Di hadapku jalan sunyi. kompleks ini diportal dari berapa arah. Nun, dari sini, matahari senja menggantung langit jingga bertabur awan jauh di belakang Pakubuwono Sig...
Jakarta Menunggu September
Opini, Politik, Susastra

Jakarta Menunggu September

2010 Oleh: Dera Liar Alam MERDEKA di negeri ini jadi tak berguna selain laknat regulasi memusuhi rakyat. Kalkulasikan seberapa kacau balau tumpang tindih aturan mengguncang tubuh negeri sendiri. Tanah berubah kuasa mengusir anak negeri, air menjelma bencana, privatisasi meruncing lebih purba dari zaman perang bambu-runcing di masa silam. Seberapa tua usia sistem? Mengapa tetap berstatus negara berkembang? Masa pertumbuhan yang aneh, sebab ia sudah mencapai pikun sebelum dewasa. Lihatlah para pecandunya yang duduk-duduk di depan layar berita dan membisikan ketololan sehari-hari. Terminologinya tak bertambah, hanya keheranannya tumbuh lebih cepat dari rambut di kepala berisi neuron harga mati kesatuan maya. Hari itu setelah upacara selesai, saya dan engkau pun belum merdeka: car...
Pererat Kekerabatan, Bersua di Arung Kahu Bone
Budaya

Pererat Kekerabatan, Bersua di Arung Kahu Bone

30 Agustus 2021 Bertutur Ridwan Basri Daeng Manakku Gallarrrang Parang-Parang, sebagaimana tersirat pesan suci, mantra sakral para tetua: “Saya Karaeng, Penempur tanah Gowa, akan memecahkan kelak hulu badik di arena, akan mematahkan kelak gagang tombak di medan laga…” Oleh: Parangsula Editor: Philips Marx MINGGU, 29 Agustus 2021, di Saoraja Andi Bare Ghurdi Arung Labuaja – Kahu, Bone. Tutur adat berlangsung dalam kunjungan silaturahmi mempererat kekerabatan antara pemangku dan perangkat Lembaga Kerajaan Gowa (LKG) beserta rombongan Ikatan Masyarakat Adat Nusantara (IMAN) di rumpun keluarga Arung Kahu Bone. Dalam suasana kekeluargaan, hadir dari Lembaga Kerajaan Gowa, masing-masing Andi Hasanuddin Andi Baso Erang Karaeng Sila Karaeng Tumailalang Kerajaan Gowa, Ridwan Basri Daeng...
Ramai-Ramai Jadi Hijau
Budaya, Opini

Ramai-Ramai Jadi Hijau

27 Agustus 2010 Oleh: Yustinus Sapto Hardjanto Editor: Dera Liar Alam Gambar: Elle Aon/Shutterstock ENTAH angin dari mana yang membuat daerah-daerah di Bumi Nusantara ini menghembuskan slogan goes green. Pendek kata semua rame-rame ber‘hijau’ria. Padahal sebelum ini konotasi warna hijau sering diidentikkan dengan keagungan nilai dan etika Islam. Hijau adalah warna dasar kerajaan Arab Saudi. Hijau juga warna dasar bendera lambang Nahdatul Ulama (NU). Ketika masa terakhir pemerintahan Soeharto, sering terdengar istilah ‘ijo royo-royo’ itu artinya masyarakat muslim diakomodir dengan sangat baik di dalam pemerintahan Soeharto. Kini hijau dipakai oleh banyak kepala pemerintah daerah untuk menyatakan bahwa kepemerintahan mereka adalah peduli dan punya komitment besar untuk lingkungan. ...
The Act of Free Choice
Budaya, Susastra

The Act of Free Choice

17 Agustus 2010 Oleh: Emmy Sahertian Gambar: Freedom by Dax Di bilik sepi ini aku memilin diri Untuk bebas menentukan jalan… Tanpa sang Sakamu Dan aku mengajak aku… Aku…, aku..., aku dan aku Untuk tidak  lagi mengampu padamu  Jenderal Kuderapkan kakiku sendiri di belantara zaman Tanpa menggelantung pada jari-jari lenturmu Yang biasa menarik pelatuk pelucut  nyawa Yang membuka kerangkeng para durjana Pencoleng cita remaja negeri Lalu ku pinjam aturan ilahi ini: ACT OF FREE CHOICE Merdeka!
Interupsi GSSY
Budaya, Editorial, Guratan, Opini

Interupsi GSSY

20 Agustus 2012 Oleh: Daniel Kaligis “Bung Daniel, biar ley so tinggal di luar negeri, tapi sebagai almamater Perguruan KRIS, tetap tinggal bersama di hati. Kalau saja satu saat ada kesempatan untuk ikut sumbangsih membantu ‘memugar’ sekolah KRIS pasti akan saya lakukan.” — Rondonuwu Indra — Sydney, Australia The son of Jozias Ratulangi and Augustina Gerungan, both from wealthy, well-respected Minahasa families, Sam Ratulangi was born in Tondano, North Sulawesi, at the time a part of the Dutch East Indies. He was a gifted student, who after completing his studies in Tondano and Batavia went to Amsterdam in the Netherlands for further studies. He graduated from a teacher's college as a science teacher in 1915, studied for two more years at the University of Amsterdam, and in 1919 ear...
Musim Paceklik
Gaya Hidup, Guratan, Susastra

Musim Paceklik

Agustus 2012 Oleh: Daniel Kaligis Musim seperti saat ini sudah pernah dialami umat manusia di alam semesta, takut kiamat. Padahal kiamat sudah sekian kali terjadi di peradaban manusia: paling mudah diamati adalah berakhirnya manusia dan kemanusiaan karena tua, bukan karena usia, namun karena selesai, mati. Hanya saja, musim yang sekarang ditambahi propaganda ketakutan, kejahatan, dan berbagai ramalan buku tua yang tidak pernah dievaluasi dan diuji... BAGI kita, ada secarik lusuh, kertas peradaban yang tercecer di hutan hujan. Dan mari menghitung, demikian juga saya, coba mengalkulasi setelah kembali menuliskan kegamangan itu sekian kalinya tanpa bosan. Setelah lewat perayaan ulang tahun proklamasi negeri ini, — katanya buku sejarah begitu —, yang diperingati selalu mentereng setiap...
Mengapa Ketua DPR yang Bacakan Teks Proklamasi 17 Agustus?
Estorie

Mengapa Ketua DPR yang Bacakan Teks Proklamasi 17 Agustus?

18 Agustus 2021 Oleh: Benni E. Matindas PEMBACAAN teks Proklamasi pd setiap puncak peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan 17 Agustus harus dilakukan oleh Ketua DPR, bukan Presiden. Mengapa begitu? Akibatnya, selama lebih tiga puluh tahun Orde Baru, akta agung eksistensi Republik Indonesia itu dibacakan oleh DPR yang waktu itu harkatnya jauh di bawah eksekutif atau pemerintah. Begitu pula tahun 2015, yang kendati merupakan upacara 17 Agustus pertama untuk Presiden Jokowi, tapi akta agung itu harus dibaca seorang Setya Novanto yang sudah diterpa aib dan sedang menuju penjara. (*) Temukan jawabannya, klik di sini:
Menuju Terminologi Baru
Guratan, Susastra

Menuju Terminologi Baru

17 Agustus 2021 Oleh: Daniel Kaligis Foto: Kepik Art Menggambar Indonesia Seraya mengedit tulisan, saya membaca sesumbar propaganda. Tahun 2011 artikel ini saya muat di Harian Suara kita, sambil mengenang: Saban Agustus orang-orang kita dikampungkan, terbabit ‘panjat pinang’. Tidak dipinang sudah dipanjat, pohon-pohon bertumbangan. Di atas pinang, berkibar bendera-bendera. Merdeka, teriak memekak hak-hak bengkak dijejali peradaban impor. Terminologi itu digemari, dan ramai di banyak sudut Indonesia. Demikian panjat pinang, dulu dan kemudian bila pandemi sudah usai, boleh berupacara dengan cara-cara. Keinginan dipinang, sekarang keinginan dikekang. Tinggal dalam gua peradaban yang hilang, tersenyumlah walau belum sepenuhnya merdeka… HARI ini, sembilan tahun silam: “Terminologi b...