Friday, April 19

Nama-Nama Mangsa Perang


03 Maret 2019


Saban hari ada lebih dari empat ratus lima puluh anak terbunuh karena perang dan pertikaian…


Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis


DUHAI SEPERDUA malam, ngobrol dan saling tertawa. Wailan dan saya selalu punya obrolan tentang kenangan Maret, KRIS, ‘Serangan Oemoem’, Permesta, Wanua atau kampung, dan filosofi-filosofi. “Torang pe leluhur ada yang tinggal di luar angkasa, so itu tu tou Minahasa berani di segala medan,” ringkas Wailan seputar ethos, logospathos tou Minahasa.

Saya menyinggung peristiwa. Pada 01 Maret 2018, ada seribu lima ratus bambu runcing tertancap di Monumen Jogja Kembali, mengenang juang sudah silam.

Dia lalu membantah apa yang saya sebut pada bait di atas itu, “Nyaku pe papa cerita, suraro KRIS, dalam hal ini pada masa perjuangan telah terbagi dalam wehrkreise-wehrkreise, nyanda ada suraro KRIS yang cuma pake bambu runcing, dorang punya senjata.”

Saya malah melantur. Menanya sebuah negeri yang porak-poranda sebab Perang Dunia Kedua.  Negeri yang meliputi Polandia, Ceko, Königsberg. Negeri yang pernah tercerai politik 07 Oktober 1949 hingga 03 Oktober 1990, di saat bagian timur negeri itu dikuasai rezim komunis bernama Deutsche Demokratische Republik.

Saya menanya soal negeri yang dilanda perang itu, sebab setahu saya Wailan pernah bertualang di sana, di negeri yang pantainya vis a vis laut Baltik.

Walau, Wailan tetap ngoceh seputar Wanua. Kecintaannya pada tanah leluhur selalu dibeber di banyak pertemuan dia dan saya. Dia menyinggung ‘Serangan Oemoem’, “Suharto, nyaku pe papa bilang, nanti datang belakangan, so klaar tu serangankong Suharto muncul,” kata dia.

Tentang Wanua, dia bicara cita-cita. Wailan bilang. “Nyaku prihatin sekarang blum dapa ba dukung tu ide dari tamang-tamang di Wanua secara financial. Maar ada depe waktu noh. Samua harus dirangkul, torang musti akomodir samua ide dan opini voor bangun tu Minahasa.”

Masih saya menanya perang. Menelisik dari banyak data dan cerita, misteri sandi pertempuran, kenangan orang per orang, berbagai peristiwa.

Pada bilik lain. Dua berkawan dari Wanua, lalu terpisah di jejak sejarah. Seorang jadi serdadu – bertugas di banyak medan tempur, seorang lagi mengabdi pada Waterstaat Swerken, terditeksi pernah berdinas di wilayah Bali – Nusa Tenggara. Mereka sama-sama hidup di masa perang, di Yogyakarta mereka punya sepotong cerita.

Medio 1950, di bekas hutan beringin, dua orang berjalan mencari sesuatu. Dari satu toko ke toko berikutnya menawar barang. Tak ada satu pun pemilik tokoh mau mengambil uang yang hendak dibelanjakan orang itu. Siapa dia? “Oom Allo yang cerita kejadian ini. Dorang dua mo beli sepatu di toko, maar nyanda ada satu pun yang mau menerima uang dari oom Ventje,” kata Marlon Merlen Mailangkay.

Herman Nicolas Ventje Sumual dan Frans Rodulf Kaligis, dua orang pada kisah di atas itu. Marlon Merlen Mailangkay dan saya tentu mengenal kedua tokoh itu, karena kami berasal dari wanua yang sama dengan dua orang itu, Remboken.

Cerita ‘mau beli sepatu’ itu terjadi usai Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Frans Rodulf Kaligis menuturkan kepada Marlon Merlen Mailangkay bagaimana orang-orang Yogya di masa itu sangat mengenal Herman Nicolas Ventje Sumual.

Jadi, ketika mau membeli sepatu dan uang ditolak pemilik toko, Frans Rodulf Kaligis penasaran, lalu datang pada kesempatan berikutnya ke beberapa pemilik toko yang pernah mereka singgahi waktu ingin membeli sepatu, kemudian bertanya, ‘mengapa uang tidak mau diambil’. “Kalian tidak tahu siapa orang itu, dia pemimpin Serangan Oemoem 01 Maret 1949,” kata Marlon Merlen Mailangkay meniru kisah Frans Rodulf Kaligis.

Setara catatan Benni E. Matindas, 01 Maret 2019, menyebut, “Ventje Sumual adalah penggagas ide Serangan Umum siang hari agar beresonansi secara politik dalam skala internasional, sekaligus menjadi eksekutor utama operasi itu melalui pengerahan pasukan terbesar yang dengan skala sangat besarnya itu memberi efek penting baik untuk keberhasilan operasi militer itu sendiri maupun efeknya sebagai berita besar yang beresonansi politik dalam dunia internasional.”

Gambar foto yang ditera Benni E. Matindas pada catatannya itu ditanggapi tokoh Minahasa, Adolf Sinolungan. Dia menyatakan yang mana apa yang disampaikan Matindas cocok dengan cerita yang diucap Ventje Sumual. “Persis seperti dikisahkan Ventje Sumual Sesepuh Permesta ex Komandan SWK-103A/WK-III di Yogyakarta dengan lima batalyon ex-KRIS umumnya pemuda Minahasa dan daerah seberang bersama pemuda sekitar Yogya ibukota Republik Iindonesia. Sejarawan tulislah sejarah perjuangan anak-anak bangsa besar ini selengkapnya, secara tulus adil dan benar,” tulis Adolf Sinolungan.

Lebih jauh Matindas menulis bahwa peran Ventje Sumual sebagai penggagas ide ‘Serangan Oemoem’ siang hari untuk mendapatkan gema politik internasional itu selalu dinyatakan Soedarto, saksi mata dalam rapat kecil antara Letkol R. Soedarto, Letkol Soeharto dan Mayor Sumual di desa Semaken.

Ada empat bait petikan tulisan Benni E. Matindas di bawah ini bagi saya kira penting juga diketahui khalayak:

Mayjen TNI. Ir. H.R. Soedarto kelak pernah Kepala Direktorat Zeni TNI-AD, juga Pemimpin Proyek Pembangunan Masjid Agung Istiqlal Jakarta semasa tahun-tahun puncak kekuasaan Soeharto pun tak pernah takut untuk bersaksi tentang fakta sejarah ini.

Ia sering mengungkapkan fakta ini dalam pelbagai acara reuni para pejuang di mana Presiden Soeharto juga hadir. Tahun 1997 pun Soedarto memberikan kesaksian tertulisnya dalam buku album kenangan Peringatan Sewindu Monumen Yogya Kembali.

Kalau anda berkunjung ke Monumen Jogja Kembali (Monjali), sebuah destinasi wisata-sejarah di Sleman Yogyakarta, dalam museumnya terpamer dua koleksi unik: seperangkat meubel dan satu set cangkir teh peninggalan Komandan SWK 103A, Mayor H.N. Sumual.

Sementara semua SWK lain maupun WK tidak memiliki peninggalan seperti itu. Bukti tersebut hanya menunjuk pada kenyataan bahwa SWK 103A saking besarnya dan berfungsi efektifnya sehingga walau pun dalam situasi perang gerilya namun kepemimpinan komandonya terstruktur settled dan mesti dijalankan pada markas representatif.

Kitab sejarah Indonesia tentunya punya perspektif berbeda tentang ‘Serangan Oemoem 1 Maret 1949’.

Maret punya cerita. Tahun 752 sebelum masehi, Romulus, raja pertama Roma, berpesta setelah kemenangannya atas Caeninenses di hari pertama Maret yang mengikuti  The Rape of the Sabine Women.

Dan waktu bergulir. Hari kedua Maret 1946, Ho Chi Minh dilantik jadi Presiden Vietnam Utara. Negeri yang terkenal dengan sebutan Vit Nam Dân Ch Cng Hòa diakui Republik Rakyat Tiongkok dan Uni Soviet pada 1950. Setelah kekalahan Prancis dalam Pertempuran Dien Bien Phu pada tahun 1954, Prancis secara resmi mengakui kedulatan negara tersebut dan negara itu pun tercerai dari Vietnam Selatan.

Hari ketiga Maret 2009, Timnas Kriket Sri Lanka diserang kelompok bersenjata dalam perjalanan mereka ke Stadium Gaddafi di Lahore, untuk pertandingan Test Cricket melawan Pakistan. Lahore adalah ibukota Punjab dan kota kedua terbesar di Pakistan. Kota ini merupakan salah satu negara bagian terpenting Kesultanan Mogul dan dikenal sebagai Taman Mughal.

Masih di hari ketiga, tanggal sama, tahun 1628 – Cornelis Speelman, kelak menjadi kepala Vereenigde Oostindische Compagnie di Batavia antara tahun 1681 – 1684. Cornelis Speelman lahir di Rotterdam.

Sandiwara Nederland

Perang belum mau usai, padahal proklamasi sudah jelang dua tahun berkumandang. Nederland punya pandangan berbeda mengenai kemerdekaan Indonesia ketika Jepang mengibar bendera putih tanda menyerah.

Negeri dua belas provinsi di Eropa Barat Laut dan tiga pulaunya di Karibia itu masih ingin terus bertahta di pulau-pulau Nusantara.

Dalam Far Eastern Survey Vol. 14, No. 24, Political Problems of Indonesia – 05 December 1945 – ditulis Charles Bidien, mencatat bahwa Nederland menuduh Sukarno dan Hatta berkolaborasi dengan Jepang dan mencela bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hasil dari fasisme Jepang.

Charles Bidien juga mencatat yang mana pemerintahan Hindia Belanda telah menerima sepuluh juta dolar dari Amerika Serikat guna mendanai usaha pengembalian Indonesia sebagai jajahan mereka kembali.

Lebih jauh, Nederland menuduh Indonesia tak lindungi orang Indo-Eropa. Katanya ada ribuan Indo-Eropa dibunuh, sebagian dengan cara digorok. Dari mereka yang terbunuh – lima ribu orang dapat diindentifikasi dan lebih dari dua puluh ribu sandera hilang.

Benar atau tidak informasi Indo-Eropa dibunuh, masih perlu verifikasi. Banyak pertanyaan tentang revolusi di negeri ini belum terjawab.

Niederwerfungs Strategie Vs Ermattungs Strategie

Apa mau dikata, karena alasan ‘Indo-Eropa dibunuh’, maka digagas aksi polisional bersandi Niederwerfungs strategie oleh Nederland. Ini strategi penghancur bagi negeri yang masih belia. Letus senapan agresi pertama 21 Juli 1947 memanah garis demarkasi Hubertus van Mook: tentara, gerilya kota gerilya rimba bertahan dengan taktik linier konvensional berkonsentrasi pada titik-titik tertentu.

Adu strategi dalam pertempuran statis dimenangkan Nederland yang menenteng kekuatan senjata lebih unggul. Darat diserbu, pasukan laut mengganas, demikian juga serangan udara. Dengan alasan-alasan tertentu, Niederwerfungs strategie tidak diteruskan ke jantung Indonesia yang saat itu mengungsi sementara di Yogyakarta.

Saya, dalam tulisan ini coba membedakan mana Nederland dan mana Hindia Belanda, berikut pertarungan politik dalam negeri pro-Republik, dan pro-Republik Indonesia Serikat.

Padahal, katanya, Indonesia hanya figuran dalam panggung pertempuran dunia. Bukti melawan bukti. Bangkit hantu-hantu semangat yang menggelayut di sejarah palsu penuh drama. Mengapa tak bersatu?

Buku Sandi Pertempuran

Apa itu Niederwerfungs strategie? Apa tujuan militer dalam perang?  Di balik strategi penghancuran ada nama Carl Phillip Gottfried von Clausewitz,  lebih dikenal Carl von Clausewitz.

Carl von Clausewitz adalah tentara Prusia dan intelektual. Ia menjabat sebagai prajurit lapangan praktis – dengan pengalaman tempur melawan pasukan Revolusi Prancis. Dia juga pendidik militer terkemuka.

Pada usia 13 tahun Clausewitz sudah bertempur sebagai kadet, naik pangkat Mayor Jenderal di usia 38, bergerak di kalangan intelektual langka di Berlin, dan menulis sebuah buku On War, sebuah karya paling berpengaruh terhadap filsafat militer di dunia Barat. Buku tersebut telah diterjemahkan ke hampir semua bahasa dan berpengaruh pada strategi modern di berbagai bidang.

Clausewitz bermain peran bawahan meskipun penting dalam kebangkitan Prusia setelah hampir luluh-lantak oleh Prancis pada 1806 – 1807. Dia juga yang berperan sebagai Kepala Staf tentara Prusia pada pertempuran Wavre dan kemenangan di pertempuran Waterloo.

Karya Clausewitz adalah bacaan wajib pada sekolah militer Amerika. Dia sendiri sebenarnya adalah perwira asing yang relatif muda di tentara Rusia pada tahun 1812, dan muncul sebagai karakter minor.

Buku sandi perang Clausewitz diadobsi militer Indonesia juga, dan menjadi catatan panjang yang masih didebat sampai hari ini dalam teks-teks sejarah kabur.


Van Mook Line. Sumber foto: Wikipedia

Zaman revolusi di daerah jajahan yang baru umumkan merdeka. Demikian Indonesia, serdadu berkelahi, pemimpin berebut pengaruh, saling cakar berebut kuasa. Garis demarkasi dilanggar, perang kembali berkobar.

Siapa di pihak siapa. Tanah milik siapa, rakyat milik siapa, sumberdaya milik siapa. Garis demarkasi Hubertus van Mook dikelilingi tanah tak bertuan mencakup wilayah sepanjang sepuluh hingga lima belas kilometer. Pada akhir 1948, militer Indonesia melanggar gencatan senjata dengan menyusupkan pasukan gerilya ke daerah-daerah yang diduduki Nederland. Tindakan ini mendorong Nederland untuk meluncurkan serangan dalam skala penuh untuk kedua kalinya pada Desember 1948.

Perkara lama jadi latar. Bendera imperialist menancap untuk merampas sumberdaya, memiskinkan, membodohkan. Gerakan revolusi melawan sudah dimulai 1908 dan terus bergejolak.

Lalu konflik bersenjata, pertentangan diplomasi antara Republik Indonesia yang baru proklamasi melawan Nederland yang dibantu Sekutu, diwakili Inggris. Masa ini berlangsung dari 17 Agustus 1945 hingga Nederland mengakui kemerdekaan Indonesia, 29 Desember 1949.

Radio Rimba Raya, berdaya pancar satu kilowatt, mengudara pada frekuensi 19,25 dan 61 meter, mulai bersiaran sejak Niederwerfungs strategie memuntahkan pelor-pelor melawan Indonesia yang baru berdiri, sampai Konferensi Meja Bundar digelar, lalu serdadu Nederland ditarik dari Indonesia.

Radio Rimba Raya adalah siaran Republik Indonesia Darurat berkumandang dari dataran tinggi Gayo, dari kampung Rimba Raya. Siaran ini membantah provokasi radio Hilversum milik Nederland yang menyebut Indonesia sudah hancur.

Niederwerfungs strategie dikobarkan Nederland, dilawan Ermattungs strategie, siasat penjemuan Tentara Nasional Indonesia yang dituangkan dalam Perintah Siasat Nomor Satu Panglima Besar 1948.

Ayah saya, Albert Eduard, pernah bercerita pengalamannya di Resimen Para Komando Angkatan Darat. Mengurai sandi Senopati membawa mereka menyusur Amahai, Buru island, Masohi, dengan Landing Craft Infantery tuju Ambon bersama batalyon Worang medio1950, dan pasukan mereka mendarat di Tulehu.

Dia menyebut beberapa nama, sebab sebagai Tentara Nasional Indonesia mereka kagum pada kemahiran Korps Speciale Troepen. Dari Albert Eduard, saya dikenalkan pada banyak terminologi perang: panzer, tank, vickers, berbagai mesin pembasmi, muntah mesiu. cataluna, mustang. Kisah seperti meraung-raung mendebar taifun di atas gelombang Pasifik, di atas rimba, di atas tanah rusak.

Berapa lama Albert Eduard belajar dari Korps Speciale Troepen, tak sempat saya mengorek info itu. Pernah berlayar jauh ke Novorossiysk, kota pelabuhan di Krai Krasnodar — Rusia, dan terapung-apung berhari-hari di atas samudera hitam, mesin kapal rusak, stok makanan habis, maka, kopra pun dilahap mengganjal lapar.

Berapa catatan militer di Indonesia menera nama Mayor Rokus Bernardus Visser. Dia menikahi perempuan Indonesia, mengganti namanya menjadi Mochamad Idjon Djanbi. Dia-lah komandan pertama Korps Speciale Troepen.

Rokus Bernardus Visser memang punya pengalaman militer panjang, dan dia berpengalaman. Bertempur dengan pasukan sekutu, pada Operasi Market Garden 1944, tergabung pada Divisi Lintas Udara 82 Amerika Serikat.

Dia dan teman-teman Amerikanya diterjunkan melalui pesawat layang dan mendarat pada lokasi di mana konsentrasi pasukan Jerman sangat tinggi. Dua bulan berikutnya dia dan teman-temannya menggelar operasi pendaratan amfibi di Walcheren, area pantai selatan Nederland.

Dianggap berprestasi, Rokus Bernardus Visser dimasukan ke Sekolah Perwira, lalu dikirim ke Asia. Viser juga pernah dikirimkan ke Sekolah Pasukan Para di India dan dimaksudkan bergabung dengan pasukan untuk memukul kekuatan Jepang di Indonesia.

Jepang kalah perang 1945, Eropa membentuk kesatuan unit khusus di India, mendirikan School voor Opleiding van Parachutisten dipimpin Letnan Rokus Bernardus Visser. Medio 1946, Visser dan pasukan dikirim ke Jakarta.

School voor Opleiding van Parachutisten dipindah ke Dutch West Guinea — sekarang Jayapura.

Di sana, lembaga pendidikan militer itu menempati bangunan rumah sakit Amerika yang telah ditinggalkan pasukan Douglas MacArthur.

Nederland punya Korps Speciale Troepen, yakni pasukan khusus yang terlibat di balik layar pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Dua kompi Korps Speciale Troepen bertempur bersama dengan pasukan separatis Republik Maluku Selatan pro- Nederland saat terbentuknya Indonesia.

Pasukan ini adalah gabungan kesatuan Depot Speciale Troepen dan Regiment Speciale Troepen. Salah satu tokoh Depot Speciale Troepen yang brutal yaitu Kapten Raymond Westerling, komandan Depot Speciale Troepen yang jadi penggagas kudeta Angkatan Perang Ratu Adil, yakni milisi dan tentara swasta pro-Nederland yang membantai ribuan penduduk.

Dari berapa catatan militer yang beredar di Indonesia menyebut Westerling berusaha mempertahankan negara-negara federal dalam Republik Indonesia Serikat melawan kesatuan Republik Indonesia.

Angkatan Perang Ratu Adil direkrut dari delapan belas faksi anti-Republik yang beragam, termasuk personel mantan gerilyawan Republik, Darul Islam, Ambon, Melayu, Minahasa, Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger yang telah didemobilisasi, Regiment Speciale Troepen, dan Tentara Kerajaan Nederland.

Di HISTORIA21 August 2017, Hendi Jo menyatakan bahwa Korps Speciale Troepen sebagai ‘Spesialis Pencabut Nyawa’. “Beranggotakan prajurit-prajurit pilihan dari berbagai etnis, pasukan baret hijau para komando dan berbaret merah lintas udara itu dikenal ganas dalam aksi-aksinya. Dengan dingin mereka membunuh siapa pun yang dianggap sebagai musuh Belanda. Kapten J.H.C. Ulrici, salah seorang pemimpin Korps Speciale Troepen dari Kompi Eric, menyatakan bahwa Korps Speciale Troepen pantang membawa tawanan dari suatu operasi,” tulis Hendi Jo.

Pada bagian tulisan di HISTORIA itu, Hendi Jo memuat wawancara Haagse Postedisi edisi Agustus 1965 dengan Kapten J.H.C. Ulrici. “Kami memburu mereka memang khusus untuk dibunuh.”

Miris, sebab pertarungan politik serta perseteruan di segala bidang adalah retak historis yang tak pernah terpecahkan dan ditulis dengan segala kebimbangan perang.

Korban Perang

Saya membuka data Perang Dunia Kedua, menemukan, ada enam puluh dua juta lima ratus tiga puluh tujuh ribu empat ratus orang, baik militer maupun sipil yang terbunuh karena gejolak perang.

Saya menemu catatan menarik di Imperial & Global Forum, ditulis Christiaan Harinck, Nico van Horn dan Bart Luttikhuis, 14 Agustus 2017: Hitung-hitungan dari pihak indonesia? Memperkirakan jumlah korban Indonesia selama perang dekolonisasi Indonesia – Nederland, 1945-1949.

Berbagai alasan mengapa data tak pasti, saya mengutip catatan itu untuk menyebut soal kemanusiaan memang belum jadi skala prioritas negara. Bukan kesimpulan: Prakiraan jumlah korban perang selalu kontroversial.

Ada tiga alasan dibeber, saya mengutip alasan paling bawah. Berikut kutipannya menyoal angka 97.421 korban perang dari pihak Indonesia dalam lima paragraf di bawah ini:

Kami menduga bahwa 97.421 adalah perkiraan jumlah paling rendah, berangkat dari watak penghitungan musuh militer itu sendiri. Komandan-komandan lapangan secara eksplisit diinstruksikan untuk sekadar melaporkan kekalahan di pihak musuh yang memang telah dihitung, dan mengabaikan perkiraan kematian tambahan di pihak musuh.

Meskipun tidak semua komandan lapangan patuh, agaknya sebagian besar dari mereka mengacu pada arahan ini. Perbedaan antara kekalahan di pihak musuh yang dihitung dan yang diperkirakan bisa memberi dampak signifikan.

Jumlah angka korban yang tewas akibat tembakan artileri dan bentuk-bentuk kekerasan jarak jauh lainnya kerap tak terdata: kematian semacam itu terjadi jauh dari pihak militer Belanda sehingga seringkali tidak dihitung.

Sebagai contoh, pada 19 Oktober 1947, operasi pembersihan dilakukan angkatan bersenjata Nederland di wilayah Karanganyar, Jawa Tengah, dan sekitarnya. Operasi tersebut dimulai dengan sapuan tembakan artileri yang intensif. Kesimpulannya, secara keseluruhan terhitung ada 124 musuh yang tewas, namun: ‘tidak termasuk kematian yang disebabkan tembakan artileri’.

Komandan lapangan kemudian menjelaskan bahwa artileri tersebut bisa jadi membunuh sekitar 500 jiwa lainnya, tapi ia tidak bisa mengkonfirmasi pernyataan tersebut dengan hitungan tepat. Jika hari ini kita berkunjung ke kota Karanganyar, ada sebuah monumen di alun-alun yang memperingati serangan tersebut dengan total 784 korban, meskipun tidak jelas basis datanya.

Tentang dampak perang, menurut Children and Armed Clonflik, sebagaimana disampaikan ssOlara Otunnu, Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB Urusan Anak-Anak dan Konflik Bersenjata, dalam penelusurannya sejak 1987 hingga dua belas tahun berikutnya, Otunnu memperkirakan ada dua juta anak telah terbunuh akibat konflik bersenjata.

Olara Otunnu ditunjuk Kofi Annan sebagai Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB Urusan Anak-Anak dan Konflik Bersenjata pada 19 Agustus 1997. Hingga 2005 Olara Otunnu mendatangi berbagai negara yang dicengkeram perang, memimpin kampanye, mengembangkan dan memobilisasi aksi internasional atas nama anak-anak yang terkena dampak perang.

Karya dan pembelaan Olara Otunnu menghadirkan inovasi, menempatkan perlindungan anak dalam agenda Dewan Keamanan PBB, merumus norma dan standar perlindungan komprehensif, memasukan kejahatan perang khusus anak dalam Statuta Roma.

Sebagai mana diketahui Statuta Roma menentukan empat inti kejahatan internasional, yaitu genosida, kejahatan melawan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

Data Olara Otunnu terkait perang mengisyaratkan bahwa saban hari ada lebih dari empat ratus lima puluh anak terbunuh karena perang dan pertikaian. Selama periode dua belas tahun yang disebut Otunnu, lebih dari enam juta anak mengalami cedera serius atau cacat permanen.

Otunnu membela anak-anak perempuan dan laki-laki, mempromosikan langkah-langkah perlindungan bagi mereka di masa perang, serta mengupayakan reintegrasi sosial pascakonflik.

Bangsa-bangsa mulai menghindari perang. Khawatir perang tak dapat disangkal, hanya nyali seperti berani melontar dari bibir.

Laste

Merangkum peristiwa, dan pagi hampir, saya hendak menyudahi obrolan dengan Wailan. Dia, Wailan anak Panglima Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, Eivert Langkay. “Ngana so baca tu nyaku da tulis di facebook? Torang samua sama, punya obsesi voor bangun Minahasa. Kalu blum baca kita ulangi jo: Janganlah membebani Tuhan Allah ketika manusia cinta dan mengasihiNya. Ngana artikan sandiri itu kalimat,” kata Wailan.

Saya mengulang sajak perang. Lalu tulisan hilang, sebab obrolan dengan Wailan memang panjang, telepon seluler saya mati, habis baterai.


Berapa kampung dibakar,
Nyala-nya menyaru senja,
Lebih merah…
Ratakan,
To’o-token,
Ratatotok…

Badan basah peluh di Basaan
Suraro melintas padang tandus,
Tak pernah kembali
Hampar ilalang Toulour gerilya politik hari ini
Moraya merayu-rayu Basaan


Bumi mengarung jejak perubahan maha dasyat. Dan itulah yang abadi di semesta. Saya mencatat artificial intelligence: thought, selain cahaya, binokuler, teleskop, dan teodolit mempertegas pengawasan di depan mata. Shopping ramai, seperti kebingungan mengapa musim berganti bagai fashion yang melekat di badan untuk dihempas sebagai sisa peradaban.

Pertikaian masih saja berlangsung di banyak tempat. Siapa saja boleh jadi korban, siapa saja dapat disasar peluru, menyusul dampak berbagai letusan mesin pembasmi yang gentayangan di udara.

Perjalanan berapa hari silam, telah dicatat: How are you Sentosa, Tiong Bahru, Maxwell Road, and colorful souvenirs.

Anak-anak tertawa. Anak-anak menangis, bumi terus dilukai, bernanah bencana. Siapa mengawal sistem, menambah kecerdasan kesadaran menghenti perang yang berlangsung terus tanpa mau berhenti dalam otak sadar manusia.

Lalu kita tiba pada masa di mana anak-anak mendiskusi sistem pakar, permainan komputer, logika fuzzy, jaringan saraf tiruan dan robotika tanpa pernah diberi dasar cinta kasih.

Dalam sadar kita melihat mereka tumbuh, siapa? Anak-anak kita. Mereka terperangkap dalam perang, dan malah sementara siap-siap bertikai. Lalu mendoakan korbannya. Sampai berjumpa di Yerusalem baru yang mulia. (*)