Friday, May 17

Peribadatan Politik


2019


Peribadatan itu dipolitisir ayat-ayat terduga suci, dan selalu mendustai umat, yakni rakyat, di mana saja.

Dax Alca
Penulis,
Jurnalis,
Bercita-cita menjadi petani politis.


We live in a world in which politics has replaced philosophy.

– Martin L. Gross –
Journalist, Social Scientist,
and the Author of ‘National Suicide,
The Government Racket, and A Call for Revolution’.


Oleh: Daniel Kaligis


Sumber gambar: Edited – Religion and politics – the discrepancy at the heart of our schools – No More Faith Schools


YURIKO, kawan saya yang bermukim di Singapore, bertanya pada status media sosialnya: “Apakah gereja bisa ikut berpolitik secara organisasi? Kalau iya, apakah ada aturan tertulis mengenai hal itu dalam tata-cara gereja? Dalam berapa menit saja, status Yuriko sudah menuai tanggapan dari berbagai pihak.

Sejumlah alasan, membikin orang seakan ‘alergi’ pada terminologi ‘politik’. Apakah itu tentang janji-janji? Entahlah!

Padahal, kata Aristoles, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Lalu, mengapa perdebatan tentang politik itu selalu ramai di masyarakat? Politik dibenci, sekaligus dirindukan.

Tentang tanya Yuriko di bait pertama itu, ada banyak argumentasi mengomentari. “Setahu saya, gereja cukup jadi ‘garam’ saja. Barangkali ada gereja yang suka mempertontonkan kekuatannya, dan tampil, bebas di dunia politik,” ujar Joni Pinontoan.

Jesiko Mandang punya tanggapan berbeda. Bagi dia politik pada tataran gereja adalah pewartaan kabar keselamatan, yakni membawa kabar baik.

Zaman, waktu yang berganti, membuat atmosfer politik berubah makna, kata Yuriko. Kekuasaan menggeser cara pandang. “Mengikut pada rel yang benar, gereja tidak boleh berpolitik,” tegas Michael Chandra Pitoy.

Yuriko memang hanya membatasi soal pada kalangan Kristen, sehingga yang menanggapi status dia adalah kalangan Kristen saja. Meski, dari sudut pandang lain, politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Politik juga merupakan aktivitas yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.

Anda, sebagai pembaca, tentu punya sudut pandang sendiri.

Namun demikian, saya beranggapan, tertulis atau tidak tertulis, gereja adalah lembaga politik, dan melaksanakan fungsi-fungsi politis. Bahwa semua orang terlahir merdeka politik, dan hak-hak politik itu didukung secara internasional dalam Universal Declaration of Human Rights.

Sebelum jauh, mari kita tinjau regulasi negara tentang hak berpolitik warga negara, tidak soal warga itu apa pun profesinya, apa pun jabatannya dalam pemerintahan, apa pun jabatannya dalam dia berorganisasi, apa pun latar agama – dalam hal ini lepas dari kenyataan bahwa dalam beragama juga melekat jabatan-jabatan – yang bagi saya, dalam asumsi saya — jabatan itu adalah politis sifatnya. Meski ada yang beranggapan yang mana dalam institusi agama, semisal organisasi gereja, mereka yang punya jabatan itu melekat fungsi-fungsi rohani.

Bagi saya, masuk surga atau masuk neraka, itu juga adalah hak politik tiap penganut agama. Silakan tertawa. Bahwa, bila sebuah pilihan mengakibatkan seseorang melangkahi aturan negara dan kesepakatan sosial, tentu saja ada sanksi-sanksi yang merupakan konsekuensi dari tiap perbuatan yang akan ditanggung oleh si warga tersebut.

Mari kita obrolkan regulasi.

Bahwa, sejak Indonesia berdiri, secara de jure penyelenggara negara telah menjunjung tinggi pelaksanaan hak asasi manusia. Dasar negara, dalam hal ini Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan hak asasi manusia tiap warga negara, termasuk di dalamnya hak politik setiap orang. Sehingga pada praktek penyelenggaraan negara, perlindungan atau penjaminan terhadap hak asasi manusia tiap warga negara, termasuk di dalamnya hak politik setiap orang, serta  atau hak-hak konstitusional warga negara dapat terlaksana dan ada jaminannya secara hukum.

Tentu saja, kita juga penting mengetahui, bahwa, hak-hak warga yang diatur regulasi negara meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak perempuan dan hak anak. Jadi, secara pasti dan nyata, negara memberikan pengakuan kepada setiap warga negara untuk ikut serta dalam pemerintahan yakni adanya hak politik, meliputi hak memilih dan dipilih.

Walau, sejauh ini, perlu diakui masih ada pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak warga itu baik dilakukan oleh individu, kelompok, bahkan oleh institusi yang mewakili negara.

Lanjut!

Ini pandangan Neo Eddy Rawis, menanggapi pertanyaan dan pernyataan Yuriko. Bahwa, “Gereja bukan lembaga berpolitik. Yang berpolitik anggotanya, sebab anggota gereja adalah manusia. Jadi, jika manusianya berpolitik harus dilihat sebagai bagian terpisah. Dasar bergereja adalah alkitabia yakni kasih. Kasih tidak membuat manusia terkotak-kotak seperti cara-cara politis. Jika jemaat ingin berpolitik, silahkan! Tapi, misi gereja berbeda dengan misi politik.”

Menelisik judul: Peribadatan Politik. Orang lebih suka mendefinisikan peribadatan pada tatacara upacara yang ‘katanya’ ditujukan pada sang pencipta. Walau, dari banyak kitab kita dapat melihat bahwa contoh-contoh peribadatan adalah perbuatan mulia dan baik yang ditujukan pada sesama manusia. Saya tak ingin jauh membahas makna kata peribadatan itu yang lebih tertuju pada ruang-ruang di mana orang berkumpul, menyanyi, membaca doa, dan segala liturgi yang menyertainya, sebab saya bukan ahli tentang peribadatan itu.

Namun, menurut saya, menarik membahas status Yuriko sebab politik itu menjadi praksis kita sehari-hari. Bagi saya politik itu adalah tentang pilihan-pilihan, contoh sederhana adalah ketika kita menentukan menu makanan, di saat itu kita sementara mempraktikan hak kita dalam berpolitik.

Apa ‘dosa’ kata ‘politik’ itu, sehingga hak-hak yang diberi pencipta sejak lahir dipagari asumsi? Pertanyaan saya pada komen di timeline Yuriko belum terjawab sementara saya mencatat opini ini.

Semua organisasi menjalankan fungsi politik. Sekolah-sekolah juga, universitas juga. Perusahaan menerapkan azas-azas politik, keluarga juga melakukan hal yang sama sekecil apa pun itu. Pedagang, petani, buruh, karyawan, tentara, polisi, pada semua tataran manusia ada hal terkait politik sesuai fungsi dan kegunaannya.

Saya memandang, gereja dan tempat peribadatan itu sementara menjalankan fungsi-fungsi seperti yang dimaksud dalam terminologi ‘politik’. Mereka memilih pengurus, mengangkat pemimpin, bermusyawarah, menentukan aturan dan kebijakan serta sanksi-sanksi. Semua itu adalah praksis politik.

Tanpa mengabaikan latar kunci sebuah praksis politik, kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan seluk beluk partai politik, dan segala realita persoalan politik yang terjadi di ruang kita saat ini. Saya, beranggapan, bahwa politik itu adalah bentuk hak kemerdekaan yang melekat pada manusia sejak manusia itu hadir di muka bumi.

Paragraf yang barusan anda baca di atas bukan kesimpulan. Anda berhak menafsir, anda punya cara pandang dan argumentasi sendiri.

Penting diingat, hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak politik ada aturannya secara universal. International Covenant on Civil and Political Rights – 1966, berkaitan dengan hak politik warga negara menegaskan dalam Pasal 25 bahwa, “Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan sama untuk tanpa pembedaan apa pun dan tanpa pembatasan yang tidak wajar untuk berpartisipasi dalam menjalankan segala urusan umum baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas. Selanjutnya untuk memilih dan dipilih pada pemilihan berkala yang bebas, dan dengan hak pilih yang sama dan universal serta diadakan melalui pengeluaran suara tertulis dan rahasia yang menjamin para pemilih untuk menyatakan kehendak mereka dengan bebas, dan untuk mendapatkan pelayanan umum di negaranya sendiri pada umumnya atas dasar persamaan.

Ketentuan yang saya sebut di atas itu ditujukan untuk menegaskan bahwa hak politik, memilih dan dipilih merupakan hak asasi. Pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan hak tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak asasi warga negara. Setahu saya, berkait dengan pertanyaan dalam satus media sosial yang ditulis Yuriko, “apakah ada aturan tertulis mengenai hak berpolitik itu dalam tata-cara gereja?” Menurut hemat saya, gereja tidak punya aturan tertulis yang membatasi warga jemaatnya untuk turut serta dalam berpartisipasi secara politik terhadap apa pun kegiatan politik yang diakui negara.

Negara kita selalu selenggarakan event politik. Saban waktu bicara politik. Pemilihan umum adalah selasatu sarana penyampaian hak-hak demokrasi rakyat. Saya tidak menyebut bahwa pembatasan hak politik pada ‘gereja’ dan siapa pun yang berkaitan dengan institusi itu, sebagai sebuah ‘dosa politik universal’. Silakan anda maknai sendiri.

Bagi saya, politik adalah juga peribadatan, dan peribadatan itu adalah politik yang mestinya harus dilindungi secara tegas dan nyata oleh penyelenggara negara, oleh sistem.

Seperti itu. (*)