22 Desember 2021
Susastra tua ada di teks, ada di dialog khas orang-orang Wanua: mereka ada dalam ruang, ada di jalan-jalan, ada di pasar-pasar. Dan, manakala susastra itu terlontar dalam dialog mereka, boleh jadi hal itu berlangsung tanpa sadar, spontan. Saya menyebut itu ‘kanaramen’.
Oleh: Dera Liar Alam
Penulis adalah jurnalis penulis
Gambar: Malam di batas Kakaskasen
MEMBACA kabar ibu kota, menikmat isu di sekitar. “Kemang Raya sore ini, banjir. Sudah tidak dapat dilalui kendaraan. Super parah.” Begitu ditera Kafi Kurnia di beranda metaverse-nya, Senin, 20 Desember 2021. Obrolan banjir, longsor, abrasi, segala bencana jadi biasa di mana-mana tempat di bumi.
Apa hubungan cerita banjir di ibu kota dengan situasi di Kuranga? Bagaimana pertaliannya – banjir dengan sastra? Anggap saja soal-soal itu tidak nyambung. Selesai.
Saya bersua Kafi bertahun silam dalam ‘Orang Beken Baca Puisi’, di Oasis Restaurant, Jl. Raden Saleh Raya, Cikini – Jakarta Pusat. Di sana, Sabtu, 1 Juni 2010, bertemu artis, penulis, para tokoh: Cornelia Agatha, Deddy Mizwar, Dian Mardiana, Niniek L. Kariem, Key, Fahkri Violin, Titin Fahmi, Wanda Hamida, Yudhistira Massardi, dll.
Deddy Mizwar membaca ‘Jangan-Jangan Saya Sendiri Juga Maling’ karya Taufik Ismail. Dia bilang, “Apa yang ditulis Taufik itu terjadi. Korupsi sudah ada di mana-mana.”
“Karya sastra mewakili peradaban,” tutur Deddy Mizwar.
Tahun lalu tak sangka bertemu Kafi Kurnia di lobby The Rinra Hotel. Senyum lebarnya masih sama, lepas bebas. Dia sibuk dengan acaranya, kami bersalaman, tegur sapa, lalu berlalu. Ingatan saya melantur ke ‘Orang Beken Baca Puisi’, ke isu banjir. Jangan-jangan benar kata Deddy Mizwar dan sejumlah teori, obrolan para kawan: banjir terkait peradaban, terkait korupsi, babat hutan, abaikan orang-orang sekitar kawasan lindung, masyarakat adat, dan seterusnya.
Berikutnya tentang karya sastra yang menempati ruang terpojok di rak-rak perpustakaan dan toko buku.
Kota yang sering saya singgahi ada genangan di sejumlah titik. Hujan sebentar, sekian tempat terendam. Jalan-jalan di bangun, berapa ruas tanpa drainase. Apa itu artinya korupsi? Entah.
Terbang, landasan pacu menjauh, ilalang hijaunya samar, rumah-rumah, bangunan mengecil, gunung dan laut, pelangi di ufuk ujung senja. Orang-orang yang sama saya bertemu sekian kali, di ruang sama. Di port, di ruang tunggu. Di atas pesawat saya membaca sajak lama di notes: Nurani kerontang disambar hujan badai, lalu teduh. Kota melebar, janji yang tidak ditepati. Sepotong coretan itu ditera di Kuta, 22 Desember 2019.
Tiba di Manado, 18 Desember 2021, hubungi kawan-kawan, dan mengumbar ‘Pesta Sastra Tanah Leluhur’, bikin janji ketemu di tanah Minahasa. Bicara dengan kawan tentang ruang baca seputar Pasar 45. “Gramed sepi,” kata dia singkat. Paginya agak cerah, saya memetik gambar pantai, pohon, patung. Lalu sarapan di roof café, sambil terus mengambil gambar laut dan pulau. Hujan menderas.
Kota ramai di berapa tempat kumpul, jalanan macet sepanjang Jl. Pierre Tendean, mampir sebentar di Town Square, lalu kembali menikmati macet sepanjang jalur ke luar kota.
Merindu sejuk kabut. Atmosfir, cuaca tak terprediksi massa. “Pa ngoni banjer, we?” Dua perempuan bersua di trotoar dan saling sapa saling tanya dengan dialek Tombulu. Dari belantara kaca, rimba kota, menyusur wanua, kampung kenangan.
Kami di Kuranga, Talete, pusat pemerintahan Tomohon Tengah, pada koordinat 1°15′ Lintang Utara dan 124°50′ Bujur Timur. Rumah panggung bertangga satu, di ruang tengah kami menghangatkan badan dari terpaan angin dan gerimis. Ada Denni, Erni, Rikson, Yosua, Kevin, Yunike. Spanduk ‘Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur’ terpampang di dinding menghadap jendela depan.
Tuan rumah menyajikan kue semprong, putri salju, nastar, coca cola, dan cakram. Itulah yang kami obrolkan. Kue semprong, di wanua saya disebut curut. Membincang kue patah dan hangus, hiburan bagi kerinduan aroma Natal yang datang saban tahun, dan kapan saja.
Tiada kami mengeja Taratara, Woloan, Kampung Jawa, Lahendong, Lansot, Pangolombian, Pinaras, Tumatangtang, Tondangow, Uluindano, Walian, Kamasi, Kolongan, Matani, Talete, Kumelembuay, Paslaten, Rurukan, Kakaskasen, Kayawu, Kinilow, Tinoor, Wailan. Wanua-wanua elok itu disaput kabut ketika saya menjejak Tomohon dari Manado, hampir malam tadi. Jalan meliuk-liuk, gelap, sorot lampu dari rumah-rumah, dari gedung, dari pondok-pondok, dari para penjual sate tepi trotoar, dari motor dan mobil sepanjang rute tuju Kuranga.
Cakram saya coba, tipis ditumpah dalam gelas, dirasa di bibir, di lidah, dan telan pelan-pelan. Rikson bilang, “Cakram itu singkatan: cap tikus keras manis.” Betul, cairan bening itu memang keras. Alirnya terasa di mulut hingga kerongkongan.
Erny bilang, minuman beralkohol itu lebih nikmat dicampur sunkissed. “Enak sekali,” ujar Erny. Saya lalu berkisah anggur perjamuan, ditimpali cerita para penikmat anggur oleh Denni. Zaman demi zaman cerita obrolan mengalir, kami mengatur jadwal ‘Pesta Sastra Tanah Leluhur’. Di luar rumah panggung, malam menjauh. Embun menebal. Lalu kami bubar.
Tomohon malam hari memang syahdu. Kabut sepanjang jalan pulang. Kepul asap para pedagang sate, aromanya masuk ke kaca mobil memancing lapar. Di atas kami langit hitam, jalan basah, dialek pemuja malam masih ada di sekitar.
Dalam detak ingatan saya menyanyikan susastra tua dalam hati, “Aduh mama e, kalua teken serdadu, terima dua ratus tidak takut mati. Mati peperangan kena pelor Aceh, Aceh belum sampe darah so maleleh. Siang malam pikul sinapang, serta angkat muka sudah di lautan.” Teman seperjalanan hari itu, Josua, Rikson, Yunike, kami berpisah di ujung Jl. Corneles Palit.
Dalam ruang sunyi menekuri isi obrolan, melamun, merokok, kentut, kantuk belum juga datang. Pembicaraan yang sekian kali diulang, cap tikus, minuman beralkohol hasil suling dari saguer, cairan dari sadapan nira, sudah ada sejak zaman Kolonial. Mengutip ulasan De Tijd, koran Katolik Belanda, cerita konsumsi cap tikus menurun manakala Krisis Global 1930-an. Ulasan Denni itu dimuat di manado.tribunnews.com, 23 Juli 2019. Minuman rakyat, namun dimunati sejumlah orang di banyak tempat. Kawan-kawan di ibu kota negara suka memesan cairan itu bila ada kawan datang ke tanah Minahasa.
Tjap tikoes, demikian ejaan lamanya: satu sloki tambah darah, dua sloki banyak bicara, tiga sloki pukul sudara, empat sloki tumpah darah, lima sloki masuk penjara. Kami tadi tidak membahas sarkas pada cap tikus itu, walau gejala minum cap tikus itu jamak ruang-ruang bacerita.
Di wanua saya, para peminum cap tikus itu mendapat stigma buruk. Di wanua saya, sejumlah lokasi pernah jadi genangan air, banjir, teriak, lalu bantuan mengalir. Pelaku pembangunan pernah meletak batu-batu di jalur trotoar, bertahun-tahun batu-batu ada di sana, dan tidak diapa-apakan, bahkan jadi ganjalan bagi pejalan kaki. Susastra rakyat mana yang berani mengritik kondisi itu? Pohon-pohon di daerah tangkapan air sekian lama dibabat. Eutrofikasi di danau, eceng gondong dan sejumlah isu. Hanya renung pada sajak-sajak tua, dogma, kanaramen yang dilupa nanti teriak ketika bencana datang. Waktu digital saya intip sambil menyelesaikan artikel ini: 02.14 A.M.
Kembali ke halaman metaverse. Pada status-status dia di sosial media, Kafi membahasakan dirinya sebagai Mpu Peniti. Baca lagi ocehnya: “Kemang Raya sore ini, banjir. Sudah tidak dapat dilalui kendaraan. Super parah.” Kawan-kawan dia memberi komentar. “Masih banjir toh, kirain sumur resapan airnya berfungsi,” tulis Bamby Cahyadi. Di bawqhnya M. Danil Daud menanggap terkait posisi Kemang. “Daerah cekungan ya kantong air. Di selatannya Kemang Village ditinggiin. Di utaranya ada apartment dibangun. Sudah gitu daerah cekungan. Sempurna deh nampung air.” Ada yang suka, ada yang tak suka dengan obrolan-obrolan di media sosial, itu biasa.
Membaca berita tentang tanah Minahasa: Selasa, 07 Desember 2021, Manado Town Square dihantam banjir rob, gelombang memecah naik membikin banjir di seputar lokasi itu. Kendaraan terseret arus.
Ujung dan awal tahun, musim teriak karena bencana. Namun pesta ada di mana-mana saban tahun. Cap tikus selasatu menunya.
Jumat, 22 Januari 2021, Manado dikepung banjir. Rumah-rumah terendam, listrik padam di berapa titik. Di hari yang sama, tiga rumah warga di Lotta, Pineleng, diterjang longsor.
Tentang banjir yang terjadi, Jumat, 22 Januari 2021, di Manado, situs bpnb.go.id menyebut yang mana Pusat Pengendali Operasi (Pusdalops) – Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Manado melaporkan delapan kecamatan terdampak banjir yaitu Malalayang, Wanea, Sario, Paal Dua, Tikala, Wenang, Tuminting dan Singkil. Diinformasikan banjir berdampak pada jatuhnya korban meninggal dunia dua orang, luka berat satu orang, dan luka ringan satu orang. Saat banjir terjadi, lebih dari dua ribu warga mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Anggap ini sajak yang tercipta semalam di Kuranga: Sungai dipotong pemukiman, tebang-tebang, pohon seperti politik dan tokoh bertumbangan. Maka, ini sebagai pembuka saja untuk ‘Pesta Sajak Tanah Leluhur’. Siapa tergusur, ada gusar, sesiapa yang gembur. Tak perlu dijawab.
Doa-doa selalu panjang, susastra yang kabur di banyak lokasi: dari ibu negeri hingga ujung wanua. Literasi pernah dibatasi, sastra pernah dibakar untuk upacara hoax yang masih bersambung-sambung. Seperti itu.
Pernah, di 22 di bulan lain, menera sajak: dongeng ditiduri sejarah, ayat-ayat membuntingi mindset. Tak update? Siap-siap diperbudak gadget dimangsa sistem. Obrolan kemarin sore soal kecerdasan buatan: logika fuzzy, saraf tiruan, dan seterusnya. Entah fakta ini membantu entah menindas.
Sekerat roti kering, tunda lapar.
Sambungannya, anda mungkin ingat: Pada 1965 logika kabur diperkenalkan Dr. Lotfi Zadeh dari Universitas California – Berkeley. Lalu hari ini kita masih bertanya, apa beda gala dinner dengan upacara makan para miskin? Sama-sama berharap kenyang berharap puas. Maaf ya, paragraph ini tidak nyambung.
Saya, menikmat pepohon dirobohkan satu demi satu, memetik dawai badai pada gambar senja, membaca sajak-sajak bercampur mantra sok tau. Kata-kata juga sering dikorupsi. Namun, terkadang kebanyakan kata juga boleh menumbangkan peradaban. Apalagi kata-kata dan susastra hoax, sangat mungkin merusak, walau banyak penggemarnya.
O iya, sebelum lupa: kanaramen itu kebiasaan-kebiasaan baik yang terpelihara jadi adat jadi peradaban.
Hari jelang pagi, masih terngiang obrolan saling sapa dua perermpuan di jalan, di trotoar, “Pa ngoni banjer, we?” Seperti itu tersari dan tersaru dari semalam di Kuranga. Hening, dingin. (*)