31 Desember 2023
Ide mencuat, lalu bersua, Steleng Mawale 2010. Beberapa tahun kemudian menulis – rancu, bias, kata diperguncing sebab negeri sekian lama diwajahkan sistem terpusat. Susastra mesti dari ibukota negara, tidak. Kata, value yang berakar dari mana huruf-huruf itu berawal, bebas merdeka. Saya refrasa keyakinan itu dari wanua, tanah Minahasa 2018.
Oleh: Dera Liar Alam
PESTA Sastra di Tanah Leluhur 2010: bincang kami politis, memilih huruf sama seperti pilih menu, ini pun politis. Hari ini masih sama, bersama kopi berrevolusi. Gambar dan video selalu lebih menarik daripada text, tiba di 2018.
Kopi memang nikmat, kenangan perbudakan — budak sejarah, budak teori, budak text. Dan kita merdeka menyapu semua tatapan. Nanti tengah malam Tomohon semakin dingin, diskusi kita tetap hangat merenung berhala yang kita tabur pelihara dalam benak. Nyata, di depan kita ada gelas, ada kopi, ada french fries, ada botol berisi cairan, ada nasi goreng dan telur ceplok.
Undangan Pesta Sastra Tanah Leluhur 2010: itu gambar silam, hendak punah. Biar saja, alamiah seperti itu…
Bukit dan gunung membiru kemudian gelap sampai di relung rimba. Manakala pagi datang, anak-anak berlari di punggung bukit, terompet Mapalus menggema sampai jauh, bertalu-talu tambor dan tetengkoren menghentar perempuan-perempuan menuju ladang. Masa silam itu berulang di kemudian hari, walau indahnya terkadang hanya ada dalam kenang. Dalam ‘biasa’ kami kembali sebagai manusia (biasa), meramu ladang dan sawah, menuliskan syair-syair seluhur menabur benih-benih cinta di tanah cemar yang terus digerus teknologi serta modernisme yang membantai adat sebagai kebiadaban peradaban masa kini. Tapi, kami ingin menuliskannya sebagai kenang di tanah leluhur ini: Minahasa.
Ketika itu datang lagi. Sebuah alasan mengapa memilih tanah leluhur: karena kami seperti yang lain, manusia biasa, namun merasakan sesuatu yang luar biasa. Tatawiran diurai kabut menebar hingga Lokon, stairway to heaven, di sisi Empung damai menjulang, Mahawu teduh selalu berbalut embun, bunga-bunga disiram jingga bola senja, lalu kabut kembali membungkus malammu.
Mengulang gugat: Sejarah bahasa dan sastra Indonesia dalam propaganda sistem menjadi proyek yang rela dan ikhlas, namun, ujungnya tragis. Bahasa-bahasa yang sudah sekian lama menjadi identitas keragaman kemudian hilang. Berikutnya, nasionalime yang mengakar dalam damai diseragamkan sejarah bohong, kemudian diporakporandakan oleh isu bubar di berbagai lokasi.
“Lupakah kita pada tragedi ketika Indonesia dengan senjata memaksa orang Timor-Timur menjadi bagian dari dirinya — sebuah proyek ala Bismarck melalui ‘darah dan besi’? Sejak itu, Indonesia tampak bukan sebagai sebuah proyek bersama yang ikhlas. Militer tidak hanya membunuh orang tak bersalah di Timor-Timur, Papua, dan Aceh. Militer telah membunuh impian nasionalisme sebagai pembebasan”. (Amnesia Bahasa Indonesia dan Kritik Diri — Bandung Mawardi)
Maka, damaikanlah hati. Sebab dengan kata, kami ingin berdamai dengan hati dan diri sendiri, dan menularkan damai itu pada semua umat manusia di seluruh bumi.
Pada 2010: Kami bersua, Ruth Ketsia Wangkai, Altje Wantania, Erny Jacob, Yannemieke Singal, Greenhill Weol, Sofyan Jimmy Yosadi, Rikson Childwan Karundeng, Christofel W. B. Manoppo, Denni Pinontoan, Ivan Kaunang, Friski Tandaju, Candra D Rooroh, Bode Grey Talumewo, Eliassam Oir, Sylvester Ompi Setlight, Fredy Sreudeman Wowor, Matulandi Supit. Ini gugatan itu, “Sastra di negeri ini tersentral di ibu kota negara, padahal, ada begitu banyak karya spektakuler lahir di berbagai lokasi. Di event ini kami ingin mengatakan pada dunia bahwa di sini kami juga eksis,” kata Erny Jacob, pegiat Mawale, yang sekarang dia sudah ASN.
Membeli situasi, kopi memanah mindset.
Kemarin menyusur pasar, orang-orang membeli baru, orang-orang menjual firework, orang-orang mencari diri yang dijejal beban berlapis-lapis: pasar bebas, kampanye politik, jalan berlubang, lampu-lampu bermuatan cahaya yang mahal oleh monopoli, jabatan menghunus pelayanan berwarna tagihan bisnis turun-temurun.
Semalam (2018), membincang kisah masa silam, klaim, berapa nama yang digubris history: tiap orang punya perspektif dan jawaban bedab tentang text sejarah. Dulu kucetus ‘wulan weru di hard rock’, dan malam ini Andre, Elis, Erny, Emon, Denni, Rio, Yune, dan saya membahas domein verklaring, kisah kopi masuk Minahassa, perang yang dicipta imperialist, keyakinan, kesaksian, tahun-tahun perjanjian, sampah sisa-sisa kemasan modern, lapar-haus hari ini.
Situasi meja sebelah: kopi, gelas, cerita, sedotan, dan pemikiran.
Kami segera bersua, lagi dan lagi. Berdiskusi, berbagi, mencipta text, menabur karya, membantah teori, menggugat diri sendiri, menginterupsi sistem, dan tetap saling menyinta. (*)