Sunday, May 5

Perahu Nusa Berulang-ulang


14 Maret 2022


Di Baranusa menelisik cerita bara perang sekian lama mengorganisir pembunuh, sub-machine gun, assault rifle, rocket launcher, rimba merah S.O.B. Our local resources, cerita ditimbun sosialisasi bingung. Tanah dan air, pengulangan menyala di titik-titik api pergulatan rakyat. Nusa, Baranusa, Nusantara, sumberdaya diincar mata dan mata-mata…


Oleh: Dera Liar Alam
Penulis adalah jurnalis penulis
Editor: Parangsula


JAGAT kabar bikin debar, sudah biasa. Solar langka, minyak goreng sudah duluan menghilang. Isu, perang dan erang digoreng media. Kemarin dan kemarin-kemarin yang silam, cerita berita ramai kota-kota, bilik kamar privasi orang-orang diulang-ulang umbar layar datar, dianggap berita.

Tualang adalah diskusi, sebab cerita tak pernah henti. Suatu pagi dari Munaseli menunggang motor ke Bakalang, lanjut ke Baranusa. Berkawan Benno Caribera, Lomboan, Pontius, dan saya. Kami ada di sepi pulau-pulau kecil, berkeliling Pantar. Ada saat membuka direktori Kementerian Kelautan Perikanan, informasi tentang lokasi ini masih kosong. Mampir di Tanjung Kalisalang, Pontius menanyai para pengrajin perahu kayu.

Bahan baku perahu yaitu kayu kesambi — schleichera oleosa, kayu bungur — lagerstroemia speciosa per, kayu sappang — biancaea sappan, kayu beropa dan berjenis bakau — sonneratia alba, kayu bidara —  ziziphus mauritiana, kayu laban — vitex pubescen, kayu prek mayung atau kruing — dipterocarpus retusus, kayu ulin — eusideroxylon zwageri.

Dalam ‘Analisa Kebutuhan Kayu’, disebut Husnah Latifah, Hasanuddin Molo, dan Jamiatullsna Apriani, bahwa penggunaan kayu kesambi digunakan pada bagian solor atau gading, linggi haluan, linggi buritan, pondasi mesin, lunas dan kalang. Kayu bungur dipakai pada bagian badan perahu, sebeng perahu, dek, les, lepe, sekat dan kamar mesin. Kayu sappang digunakan sebagai paku kayu. Kayu bakau digunakan pada bagian solor atau gading. Kayu laban untuk bagian kalang, bagian linggi haluan, tiang bendera dan kaso. Kayu kruing dipakai pada bagian les dan lepe perahu. Kayu bidara digunakan pada bagian solor atau gading. Kayu ulin digunakan pada bagian lunas.

Ponti tak bertanya jenis kayu. Dia menanya nama, menanya asal, kekerabatan, dan cerita sejarah di nusa-nya. Tungku berasap berbara, kami berbincang, berjalan menapak pasir di bayang kesambi dan bakau. Laut luas di depan, nusa seperti kepala buaya menonol di atas air asin. Anak-anak bermain sekitar pondok, berkeliling berkejaran di seputar rangka perahu yang belum jadi. Pagi meninggi. Perjalanan kami lanjutkan, tuju arah barat.

Pelabuhan Marica

Gugus pulau di sini, mengingat kayu. Catatan diulang tiga tahun silam: nirvana di atas teratai putih nan suci, dipelintir api tiada terbakar. Dan cinta di lubuk musim meretak tembikar nasib. Duhai kembang-biak lidah jilati khayangan, para dewa mabuk pangium edule. Jenis pangium edule, yakni kayu kepayang, mengingat bumbu masakan Nusantara.

Kenang kepayang, bikin lapar dalam perjalanan, membuat mabuk tualang nan menantang. Kepayang memberi corak coklat kehitaman pada rawon, daging bumbu keluak, brongkos, serta sup konro. Biji kepayang punya salut biji. Saat mentah, salut biji mengandung asam sianida konsentrasi tinggi, jika dikonsumsi dalam jumlah tertentu bisa bikin mabuk.

Tiba di Bakalang, ada plang hijau penunjuk arah: Pelabuhan Penyeberangan Bakalang, arah panahnya menunjuk laut, arah selatan panah menunjuk Tamalabang dan Baranusa. Perahu kecil berderet di tambatan pasir melandai. Orang-orang sibuk di sekitar dermaga, anak-anak memancing – mengulur senar tanpa joran.

Pelabuhan Penyeberangan Bakalang

Badan letih lapar manakala masuk Baranusa. Di situs Badan Registrasi Wilayah Adat, ditulis kisah kerajaan Baranusa. Berbagai suku ada di sana, baik yang sudah lama menetap, maupun pendatang.

Suku Ilu dan Kae Moring adalah tuan tanah di sana. Suku Uma Kakang: Uma itu rumah, dan Kakang bermakna kakak. Uma Kakang dituakan dalam entitas masyarakat adat di sana, disebut suku raja, karena mereka menjadi trah para raja di Baranusa.

Wutung Wala, Uma Haring atau Hukung Uma punya hubungan kekerabatan dan persaudaraan. Mereka adalah adik Uma Kakang. Dari rahim ibu berbeda ada tiga komponen tingkat saudara di suku Uma Kakang: Uma Manung, Uma Kisu, Uma Peing. Uma Manung kakak tertua, Uma Kisu kakak kedua, dan bungsu Uma Peing. Uma Manung lahir dari istri pertama Raja. Uma Kisu dan Uma Peing lahir dari istri kedua sang Raja. Meskipun lahir terakhir, suku Uma Manung berhak menjadi kakak tertua dalam suku Uma Kakang karena berasal dari rahim permaisuri raja yang pertama.

Ada pula suku Hali Wekang. Mereka pendatang yang masuk Baranusa, berasal dari Pantar Timur dan Alor Kecil. Turunannya Haliweka, Manglolong, Lampoho, Gewulaya, Toda Ise, Paliwala, Kater, Bealasing, Hanjawa, Lakatuli, Bugis Bonerate, Terong Lamahala, Watobatta, Wato Wutung, Tonu Lelang, Maloku Tosiwo.

Pemimpin ritual di sana adalah suku Sandiata. Mereka memimpin ritual adat pengelolaan sumberdaya laut ‘Hadingmulung’. Sandiata atau suku Senjata. Mereka membantu raja mengamankan Baranusa. Turunannya Uma Kaka Tua, Umabeba, Umakukong, Waeboho, dan Uma Tukong.

Islam masuk Baranusa abad keenam-belas dibawa suku Maloku berasal dari Maluku. Mereka terdiri dari Maloku Uma Deduang, yaitu para imam masjid, dan Maloku Being Uma, yakni para penguasa dari Maluku.

Hutan di pesisir, jalan berlumpur di bawah dahan rindang. Bencana gunung meletus dan berbagai cerita jadi bahan obrolan sepanjang petualangan. Dari Baranusa mengarah Lamma, ingat kisah: Katanya, dulu kala, Akiai dan Maja bertualang membawa timbangan dan tanah dari Jawa, mampir di Bali, Lombok, dan di Baranusa. Di sana, ada kisah periuk dan perempuan bernama Wuno Sore. Tahun silam membacanya, 14 Maret 2021.

Kisah ‘bawa tanah dan air’ itu berulang dalam kendi sejarah negara. Hari ini, presiden berkemah di seputar tititk nol IKN, 14 Maret 2022. Mereka berkumpul membawa tanah dan air dari wilayah terhisap sistem bernama Indonesia. “Di lokasi pembangunan bakal pusat pemerintahan itu, Jokowi rencananya akan melaksanakan ritual ‘Kendi Nusantara’ bersama 34 gubernur se-Indonesia,” begitu ditulis Reza Aditya Ramadhan di kumparan.com, 12 Maret 2022, dalam tajuk ‘Gubernur se-Indonesia Akan Kumpul di IKN, Bawa Air-Tanah Diisi Kendi Nusantara’.

Di Akun Resmi Presiden Republik Indonesia, Kepala Negara menyampaikan, “Para gubernur atau yang mewakili dari 34 provinsi datang ke Titik Nol Ibu Kota Negara Nusantara, Senin 14 Maret 2022, dengan membawa tanah dan air dari daerah masing-masing. Di sini, tanah dan air itu disatukan sebagai simbol kebinekaan dan persatuan, menjadi tonggak sejarah bagi bangsa Indonesia yang hendak mewujudkan sebuah cita-cita besar: pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara.”

Pantar, jalan berlubang

Medan menanjak, menurun, lalui curam dan lubang. Pembangunan di sini dapat dilihat dari potret jalannya. “(Sudah) 76 tahun mereka begitu bersemangat menyanyikan lagu Indonesia Raya namun jalan raya belum mereka rasakan. Di seberang lautan membentang pulau yang kini menjadi sahabat negera kita di Asia tenggara, begitu terang-benderang kala malam tiba namun di negeri ini pelita masih menjadi tradisi sejak jaman penjajah. Entah berapa lama tahun lagi mereka harus menunggu pembangunan dan infrastruktur dari sebuah kemerdekaan yang setiap tahunnya mereka rayakan.” Begitu Benno Caribera mencatat soal-soal rakyat di negerinya, 14 Maret 2022.

Di Lamma, saya berhenti dan nginap. Jelang sore memotret pulau-pulau, memotret pesisir yang dipenuhi pohon-pohon elok dan rumput liar. Pulau Lapang, Pulau Batang, Flores terlihat di ufuk matahari miring barat.

Diskusi masih lanjut di barak Lamma. Ponti sudah lelap, 22.12 P.M. Caribera, Lomboan, dan saya menikmat debur gelombang, air asin pasang. Obrolan bentuk bumi, bintang-bintang terhambur di langit hitam, kami berbaring di pasir.

Nusa dan babadnya senantiasa berulang, kami seperti menghela pangium edule, dan mabuk kepayang dengar berita cerita. Pembangunan, sistem, jalan berlubang, sumberdaya, naik harga. Kita, rakyat, berkemah di bawah cakrawala yang diisi sosialisasi karangan sumbang.

Di sini, memandang nusa, surga kita sederhana: mendung, pulau-pulau, rimba, angin badai, gelombang menderas, gemericik air, langit biru, dan senyum kakumu yang bikin rindu, selalu. (*)


Tanah dan Air Ibu Kota Nusantara:


1 Comment

  • […] Nusa dan babadnya senantiasa berulang, kami seperti menghela pangium edule, dan mabuk kepayang dengar berita cerita. Pembangunan, sistem, jalan berlubang, sumberdaya, naik harga. Kita, rakyat, berkemah di bawah cakrawala yang diisi sosialisasi karangan sumbang. — Boleh nikmati di: Perahu Nusa Berulang-ulang […]

Comments are closed.