Friday, April 26

Pantar, Siapa Gentar


16 Februari 2022


Pulau-pulau seberang: di sana, nanti, menabur kembang duka bagi Astri dan Lael…


Oleh: Dera Liar Alam
Penulis adalah jurnalis penulis


Gambar: Orang-orang di Pantar, Maret 2021


KAWAN seperjalanan, kita mengitar Pantar. Di ujung pantai Liang Lolong, dusun sepi, pagi sunyi, orang-orang satu-satu. Lomboan bersabda di depan mesin merah yang mogok sekian lama, “Malaikat dari suku manapun jangan percaya bila dia berfirman dusta.” Pagi sunyi, dusun terhenyak, orang-orang terkumpul satu dua tumpukan, hari memanas di Maret 2021.

Perempuan rambut dikuncir, berikat bunga merah. Anak-anak menonton adegan. Lelaki bertelanjang dada. Caribera di atas motor cepak, mengangkat lengan dan beban. Kita foto di puncak, memandang Pulau Buaya.

Kami menyinggahi tepi elok di sejumlah titik. Saya menanyai penjual ikan yang nangkring di para-para. Pengrajin perahu kayu di Munaseli seperti membawa ingatan ke enam ribu tahun silam, banjir dogma, berkeliling ‘Timur Dekat’. Pasir hitam pasir putih mengkilap terpantul sinar pagi, bebatuan merah coklat hijau hitam, dan pohon yang terasa asing, menyambungkan ujung air asin dengan dua gunung kiri kanan membiru.

Pontius mencatat tiap pembicaraan. Lalu mengulang obrolan dari atas perahu teks bertua, kitab sejarah Pantar dan Alor. Saya berulang kali tanya Galiau, tutur tua pernah hilang karena belum tersentuh teks-teks sejarah. Pontius berkisah, saya membaca: tersebutlah lima kerajaan – Kui, Bunga Bali, Blagar, Pandai, Baranusa di Pantar. Raja-raja di zaman dulu itu mengakui punya leluhur sama.

Singgah Tamalabang, membeli air dan jajan. Lalu tiba di dermaga Baranusa. Perahu dan kapal penyeberang berderet-deret. Perkara terseret-seret, dari saat itu, sampai hari membaca kabar. Kabid “Humas Polda NTT, Kombes Pol Rishian Krisna, mengatakan, motif pembunuhan pelaku RB alias Randy menghabisi Astri karena ingin mengakhiri hubungan keduanya,” tulis Sigiranus Marutho Bere, di Kompas.com, 23 Desember 2021.

Kabar perkara, “Gubernur NTT mendorong agar Polda NTT dan Kejati NTT bisa bekerja dengan teliti dan transparan agar kasus ini dapat diselesaikan sehingga keadilan betul-betul ditegakkan. Juga menghimbau kepada Masyarakat NTT agar bersabar dan menahan diri menantikan kerja-kerja kepolisian dan Kejati.” Begitu dicatat Christo Kolimo, 10 Februari 2022.

Tualang panjang, saya membaca sajak silam di Munaseli tentang Beang Onong, di Marica. Menyusur pantai di Lamma, matahari sore seperti bertenger di ufuk Flores, di bayang-bayang Lembata. Pulau Lapang di seberang. ‘Kumbang Coleoptera mengepak sayap kelam, kau bertembang pasir putih panjang – hutan, sarang, karang, lamun dibom peradapan. Pernah. Masih. Regulasi dikokang, orang-orang bungkam. Koffie sumbang pulau seberang.’ Kemarin, 15 Februari 2022, Demas, penulis Tribuanapos.net mengapresiasi tindak empati, “Bagi kawan-kawan di Rote Ndao yang hari ini menggelar aksi nyalakan seribu lilin untuk keadilan hukum bagi kematian Astri dan Lael di Kota Kupang. Kita harap para pimpinan wilayah OKP Nasional juga bisa surati instruksi semua pimpinan cabang di wilayah NTT supaya ikut bakar lilin duka.”

Berapa lama derita, berita kelam negeri seberang. Di sana, di Kupang. “Relakah saudara seiman minimal ikut merasakan kehinaan fitnah yang mulai menyebar seputar kematian korban pembunuhan saat ini?” Deddy menanya di status Emmy, ‘Voice from the Margin’, 16 Februari 2022.

Laut tenang seumpama membenam kelam. Jalan tanah sepanjang pesisir lekang. Di seberang Emmy menera refleksi, ‘The Wounded Saviour’, dia sebut, “Sometime we forget to bring Him close and easy to reach when we treat those who are living in pain and suffering. Sometime He is too far and unreachable Lord because of our presence, so we have to examine ourselves and ask deeply. Are those people feel the presence of God through our presence and treatment? he is the wounded savior who always ready to reaching out people in need as presence of carrying God.” Jawaban untuk suara tak tersuarakan. Harga perkara, entah hilang, tanya laut yang dalam, perkara terbenam renung pertanyaan pada langit membentang.

Mengingat Pantar, pulau elok, aroma rimba, meski jalan-jalannya masih berlubang. Di sana decak gelombang. Ke kiri saja, Lapang Island, Batara, Lembata, Flores. Awan-awan pagi menari. Biru, mendung, musim yang asing. Morning Kangge Island, mari bersulang bluebluesky. Tak dengar alu bertalu, ditumbuk propaganda beras isi perut seragam hingga pelosok terperosok. Anak Marica lempar kail lempar senar, gemar, kadang memar.

Di ‘Kopi ko Bilang Rindu’, berdiskusi, mengulang nama, berbagi cerita Lomboan dan saya. Sore kemarin, deras hujan, kawan-kawan berkumpul, mendaur ingatan masa silam jadi pengalaman.

Pantar, pantang perkara dipendam. (*)

2 Comments

Comments are closed.