Tuesday, December 3

Métafora dalam Susastra Suci


20 Februari 2021


Ruang seminar monologue berkuasa menyeragamkan mindset, sabda adalah kuasa. Tahta sudah dianggap lurus dan benar, sehingga ‘umat’ dilarang beropini: Beda pendapat dianggap salah, interupsi terhadap penyimpangan para petinggi institusi dianggap ‘menjadi berdosa’ pada pencipta dogma.

Yang tidak biasa, dilarang baca, jangan sampai ketagihan…


Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis


SEBAGAI sastra, kitab suci selalu kaya majas, atau gaya bahasa. Manakala pernyataan itu saya posting ke group tertutup “Revolusi Mental’, 05 Juli 2019, menderaslah komen dan perbantahan.

Obrol sejarah sebelum jauh pada ‘perbantahan’. Selangkah ke belakang menilik arus percepatan informasi yang terjadi pada tiap zaman: Korea dan China telah menerapkan tulisan sebagai maklumat jauh sebelum ‘sejarah bumi’ dikendalikan ‘pikiran Barat’. Cetak di kertas, mesin kayu dan bambu. Tangan-tangan trampil berbagi info dan pengetahuan. Ribuan tahun silam sudah begitu, berbagi dan belajar.

Tercatat juga, ada Acta Diurna – akses kalangan terbatas – lembar kabar berita dipublikasi bagi penduduk kota pada suatu tempat di mana prosesi kemenangan dirayakan. Lembar itu pertama muncul tahun 131 sebelum ‘Tahun Tuhan’ di Roman Forum zaman Republik Romawi.

Di titik strategis kota, pidato umum terselenggara. Lokasi yang sama di mana pemilihan umum dan pengadilan kriminal terjadi, titik di mana ada pertandingan gladiator – inti aktivitas perdagangan juga berlangsung di situ, di Roman Forum. Dalam buku Roman Forum, Michael Grant, 1970, menyebut bahwa lokasi itu ada di jantung Romawi kuno, forum itu disebut-sebut sebagai tempat pertemuan paling ramai sepanjang sejarah dunia. Terletak di lembah kecil antara Bukit Palatine dan Capitoline.

Roman Forum – Wikipedia

Catatan Publik Harian, papan pengumuman, semacam koran pada masa itu, digunakan pada zaman Romawi. Acta Diurna merupakan ukiran batu atau logam berisi berita publik dan dipamerkan di Forum Romawi. Di titik yang kini reruntuhan arsitektur dan galian arkeologis, di sana catatan proses dan keputusan hukum dipajang. Pengumuman, pemberitahuan publik ada di situ, dipampang berapa hari, lalu diturunkan dan diarsipkan. Informasi orang-orang penting terpandang tertera di situ: kelahiran, perkawinan, kematian. Disebut di britannica, awalnya Acta Diurna dirahasiakan, nanti zaman Julius Caesar mempublikasikannya secara umum pada tahun 59 sebelum ‘Tahun Tuhan’.

Lembar pemerintah disebarkan, jadi berita, namun ada kisah ditahan-tahan bagi kalangan tertentu, terbatas. Semua tulisan dibuat manusia, tidak ada literatur jatuh dari langit, semua karya adalah inspirasi manusia. Zaman berganti, kapan informasi jadi massif, manakala mesin cetak ditemukan. Ahli logam dan mesin di Jerman, Johannes Gensfleisch zur Laden zum Gutenberg menemu mesin cetak. Type metal, 1450-an, penanda revolusi industri cetak dunia.

Lanjut, tentang perbantahan dan komentar terkait status.

Saya menafsir komen seorang kawan. Adalah Ratungalo, kawan diskusi dalam group, langsung menyangga dengan argumentasi panjang lebar, intinya dia sebut, “Anda sesat.” Maksud dia, bahwa saya – sebagai pembuat status ‘kitab suci kaya majas’ itu – sudah salah arah, menyimpang dari rel. Menurutnya ‘iman’ adalah fakta-fakta yang ada pada tiap tulisan dalam kitab suci itu memang berasal dari ‘pencipta semesta’. Teks dogma tidak boleh diingkari, tidak boleh diganti, tidak dapat diuji dibandingkan, apalagi dibenturkan teks dan literatur ‘tak suci’. Begitu.

No problem. Sanggahan itu sah, keyakinan kawan itu juga sah.

Ada kitab turun dari langit, sabda hidup, kekal perubahan. Saya sesat arah, katakanlah begitu. Jangan kaget kawan bila buku yang anda baca sekarang – boleh sampai di tangan anda – awal kisahnya ternyata ‘selasatu’ karena jasa Johannes Gensfleisch zur Laden zum Gutenberg.

Diskusi panjang lebar.

Je Sebastian, kawan aktor di Jakarta sebut, “Salah satu resiko besar ayat-ayat kitab suci ditafsir dengan banyak penafsiran, ya karena gaya bahasa dan bahasa sastra ini. Nah, yang paling tidak masuk di akal adalah bila bahasa sastra mau ditafsirkan dengan bahasa hukum. Repot jadinya, seperti memakai celana dalam untuk tutup kepala jadinya,” tutur Je terkait metafora.

Deras tanggapan. Denly Lumingas, Sunardi Martoyo, Varen Legrants, memberi masukan. Komen-komen luar biasa.

Politik ‘melembutkan bahasa’ agar kami sama-sama boleh berbagi pengalaman pengetahuan, saya bilang, “Asumsi saya, sebagai susastra, kitab suci tentunya ‘bukan jawaban’ bagi ‘umat’ untuk belajar bagaimana variatifnya manusia dari sisi bentuk fisik, warna kulit, dst, termasuk bagaimana bentuk bumi, dan seperti apa fakta-fakta semesta secara utuh.” Dalam diskusi saya belajar. Tafsir, saya di bawah, di atas sana, ada sejumlah tafsir yang melebihi tafsir saya.

Andrew, kawan di Jakarta yang bergiat di Freelance PeopleSoft Consultant, menyebut sederet kritik, usulan, saran: “Bagusnya ‘di lembaga atau institusi pendidikan tentang keyakinan reliji’ ada sesi khusus untuk belajar cara menafsirkan — ilmu hermeneutika, dan mempelajari kitab suci.”

Menurut Andrew, ada banyak case salah kaprah: mencomot hanya satu ayat lalu mempercayai ayat itu seketika tanpa memperhatikan ayat sebelumnya dan sesudahnya, tanpa meng-crosscheck referensi ayat lain berhubungan dengan ayat yang dibaca. Parahnya lagi next step-nya, sudah ‘nyomot satu ayat’, jadi pembenaran, lalu triggered mempertahankan apa yang dipahaminya itu. Berikutnya, tidak menganalisa context ayat apakah yang dimaksud harfiah atau literal, atau kiasan, sehingga gagal paham dan salah arah. Malah, “Ada yang memanfaatkan ayat untuk memperdayai orang lain demi keuntungan dirinya.”

Ada orang, “Bila mendengarkan khotbah menerangkan kitab suci, manggut-manggut saja apa yang dikatakan pemberita, tanpa sambil analisis – bahwa pemberita itu juga manusia, tidak luput dari kesalahan,” urai Andrew.

Saran untuk ‘organisasi yang buat kebijakan manggut-manggut saja’, dan ‘umat’ yang terlalu mudah memasrahkan ‘hak dan kewajiban kepada organisasi’. Padahal mestinya ‘organisasi’ perlu feedback untuk perbaikan dan inovasi, karena organisasi adalah buatan manusia yang tidak luput dari kesalahan. Sejauh ini ‘organisasi berorientasi di satu titik periode’ saja.

Dia sebut, “Contoh paling sering, ayat perjanjian lama padahal beberapa ayat yang dibaca ditujukan Tuhan untuk (khusus bagi) orang Israel saja pada zamannya – (tapi ada) ke-ge’er-an klaim bahwa ayat itu valid untuk dia dan manusia zaman sekarang.”

Petikan ini intern – khusus kekristenan: di sebut Andrew, “Padahal di semua ayat kitab suci, pusatnya adalah Yesus Kristus. Orientasinya harus bermula dari Yesus Kristus setiap baca Alkitab.” Dari petikan itu dia sarankan, “Jangan hanya mengandalkan satu versi kitab suci saja. Sebaiknya kalau baca LAI, bila ada spare waktu cukup, baca juga at least versi KJV. Lebih recommended lagi sampai bisa paham bahasa Ibrani dan Yunani untuk crosscheck.”

Kritik pamungkas terkait topik ‘metafora dalam susastra suci’ dari Andrew, dia sebut, “Meng-override kebenaran apa yang dikatakan kitab suci dengan buku lain. Buku lain di luar kitab suci tidak akan menjadi lebih berkuasa isinya daripada isi kitab suci. Buku lain fungsi terbaiknya hanya menjadi pendukung referensi, dan pendukung penjabaran bukti konkrit dari apa yang dikatakan kitab suci. Pastikan tulisan kitab suci adalah yang terutama.”

Untuk urusan keyakinan, saya sepakat dengan paparan dari Andrew. Dari yakin agnostik, saya terlibat dan menyenangi uraian Andrew. Tersenyum.

Asyik bicara keyakinan Stanley bertanya, apa itu dongeng? James Tudju, kawan yang belajar Agroteknologi Fakultas Pertanian di University Sam Ratulangi menimpali, “Terlalu sadis kalau orang tak berada pada saat kejadian, bukan pelaku sejarah, (dan kita orang-orang) generasi sesudahnya bilang bahwa berita atau cerita dari ‘kejadian itu’ cuma dongeng. Saya pikir, kita dalam hal ini terlalu cepat memvonis, apalagi (statement) itu ditujukan kepada kitab suci.”

Dari agnostik, kembali beriman dan sadis jadinya saya. Tersenyum lagi.

Babad, kisah berlapis kisah, tafsir berjubel tafsir, cerita berlapis-lapis, laksana lapis legit. Baca selintas ‘Creation stories of the Middle East’, ditulis Ewa Wasilewska: Sejumlah mitos penciptaan Sumeria disebut Silinder Barton, ditemukan di Nippur. Lebih jauh, Catatan awal Sumeria terkait mitos penciptaan, disebut Eridu Genesis oleh sejarawan Thorkild Jacobsen, ditemukan pada satu tablet tanah liat terfragmentasi digali di Nippur. Tablet ditulis dalam bahasa Sumeria dan bertarikh sekitar 1600 sebelum ‘Tahun Tuhan’.

Wiracarita Gilgames, puisi epik Mesopotamia kuno: Ishtar anaknya Anu, membujuk ayahnya sang dewa langit – penguasa para dewa, untuk memberinya Banteng Surga supaya dia menyerang Gilgames. Dalam peristiwa itu, Enkidu terbunuh. Siapa Enkidu? Dia dibentuk dari tanah liat dan air oleh Aruru. Aruru itu betina, dewi kesuburan – dewi ibu pegunungan Sumeria – satu dari tujuh dewa besar Sumeria. Aruru berdiri di gunung, kidung-kidung kuil mengidentifikasikannya puan sorgawi.

Ah, puan yang kita kenal tidak dibentuk dari tanah liat, tapi dari tulang. Begitu kata kitab suci, dan kita boleh sama-sama tertawa. Saya juga terbahak-bahak dituduh kafir sebab dianggap telah mengutak-atik métafora susastra suci.

Penciptaan enam hari, sisanya bercinta. Walau bumi pada kenyataannya lebih banyak berperang ketimbang bercinta dan berdamai, sampai hari ini masih bertempur. Isu. Dalam perang cerita cinta jadi romansa.

James Tudju mulai dengan pertanyaan, “Jadi di saat Adam tidur dan Tuhan, mengambil tulang rusuk Adam itu apa artinya, pak bro?”

Contoh métafora ada teramat banyak dalam kisah cerita kitab suci, ini selasatu: Hawa dicipta dari tulang rusuk Adam. Metafora ini kira-kira sama dengan ‘belahan jiwa’, ungkapan puitis menyatakan betapa kedua mahluk itu saling menyayangi. Bukan mengartikan bahwa ‘Hawa dibuat dari tulang rusuk’.

Tanya skeptis, “Kitab suci sebagai karya sastra mungkin karena bentuknya berupa tulisan. Tulisan-tulisan suatu karya sastra tentang suatu kejadian yang pernah terjadi apakah itu hanya dipahami sebagai cerita yang kurang penting, apakah kisah-kisah sejarah itu betul terjadi? Apakah kitab suci sumber tulisannya tak nyata? Apakah tulisan kitab suci pernah terjadi, atau hanya dari salinan imajinatif tak berdampak dalam kehidupan nyata?” Tanya James ini tentu penting. Dongeng, mitos, sah sebagai sumber tulisan sejarah.

Kita boleh temukan banyak métafora dalam penggunaan gaya bahasa, dalam bahasa dan sastra kita, misalnya kita dapati: pemuda adalah ‘tulang punggung’ bangsa. Nah, tidak mungkin kita mengartikan bahwa negara kita dicipta dari ‘tulang-tulang’ para pemuda itu kan?

Betapa relijiusnya ‘umat pilihan’ itu, supaya nyambung dengan history sesuatu bangsa, maka di sini disebutlah pancasila terbuat dari ‘tulang rusuk’ Adam, dan kita dimerdekakan pada hari Sabtu, padahal Jumat. Dalam paragraf ini seperti bercanda, tafsir berlapis tafsir, fakta bumi di mana saya meng’ada’ yang tiap saat dijejal suara ‘pengeras’, orang-orang marah jadi urusan serius karena menyangkut mindset.

Menjawab James, saya bilang, “Ada ribuan tafsir sumber sama, ‘manuskrip kuno’ dari satu ‘kebudayaan berbentur adat’. Ibarat pohon bercabang tiga, bercarang ribuan, akarnya merasuk ke satu sumber: manuskrip kuno itu juga, melahirkan Judaism – Zionism, Kekristenan sederet isme di dalamnya – kolonialisme imperilisme 3G, Islam dengan pan Islamisme-nya, dan seterusnya.”

Mengertikah kita bahwa turunan dari sastra itu adalah ‘perang’. Wilayah dari mana manuskrip itu berasal masih diliputi pertikaian sampai hari ini hanya karena berebut tempat eksklusif ‘kami paling benar’? Perikaian mestinya dievaluasi, jadi pelajaran untuk tak diulangi. Namun fakta, masih saja dibantah, diabaikan.

Monologue berkuasa itu takut diskusi. Dan selalu menyeringgai taring-taring perangnya. Saya menuduh, begitu: ‘perjanjian lama’ hanya memuat satu perspective saja tentang bumi dan semesta; Berikutnya asumsi ayat-ayatnya melanggengkan rasisme, perbudakan, di luar ‘bangsa pilihan’ boleh dirampas haknya boleh disebut kafir murtad dan dimusnahkan lenyap binasa. Baca saja, dan lengkapi tuduhan itu.

Kata Stanley, “Oom, bahas sejarah dalam dokumen kitab suci, bila penjelasan tentang kitab suci adalah dongeng Mesopotamia belum dijelaskan, bagaimana mungkin kitab suci diklasterkan setara dongeng Mesopotamia?”

Tak hendak menjawab bila literatur tak ditambah, buku ‘satu paling benar’, padahal ada jutaan buku di bumi. Baca semua? Sesuai minat. Pilih dong ya! Ada ketika di mana dogma ‘memaksa’ manusia patuh, jangan melirik sedikitpun pada jutaan teks buku yang bercerita perspective pengujian dan pembuktian; Dogma menaruh ‘cap haram’ pada opini dan pertanyaan kritis tentang kewenangan dogma. Demikian saya urai. Dijawab, “Dia mirip ‘rocky’, viral di tivi,” kata James, tentang tuduhan saya.

Buka sejarah, buka literatur, lautan informasi maha luas, lautan tafsir maha lebar, silakan berselancar di sana.

Andrew, James, Je, Stanley, Sunardi, saya, masih tertawa untuk diskusi panjang berhari-hari, masih berdebat. Saya yang terkadang lebay. “Manakala menyadari kitab suci adalah susastra, ada fiksi, dongeng, mitos, ada pengetahuan sejarah di dalamnya, saya tidak pernah ragu jadi pengikut kekristenan. Itu ‘saya’.”

Bagi saya, intisari yang saya petik dari perjanjian baru adalah kasih; Ada banyak ayat kontroversi di tiap bagian kitab — terutama pada perjanjian lama kitab suci Kristen – saya menyebut demikian sebab ada perbedaan mendasar antara kitab suci Yahudi dengan kitab suci Kristen pl-pb, sah kontroversi itu, sebab kitab suci tidak jatuh dari langit. Semua kitab ditulis manusia, sudah pasti rentan salah.

Métafora, gaya bahasa, membikin saya masuk ke dalam tiap buku. Teks memang memikat. Kitab suci bagi saya: petik yang baik dari intisari kasihnya, abaikan yang tidak berkenan. (*)