15 Februari 2023
Kita generasi beruntung, sempat menikmati main layangan, namun mahir menggunakan drone, cakap menerap berbagai gadget, aplikasi, dan hampir saban hari memainkan gambar sebagai bahan cerita.
Oleh: Daniel Kaligis
GAMBAR seperti yang biasa dilihat, senatiasa membangun lebih dari satu anggapan yang disangka benar: assumption. Saya catat resume ini seraya menikmati oxtail fried rice di Portico. Di kiri depan, ada dua perempuan membolak-balik menu seraya ngobrol dan memetik gambar. Menit-menit berpindah, “Have you ever been lonely,” mengalir dari earphone. Dan lamunan menderas. Menuntas dinner seraya melantur khayal. Siapa kita? Siapa saja! Anda juga berhak merasa mahir seperti yang dibahas pada kalimat di alinea pembuka.
Malam baru turun. Awan-awan menggantung di langit barat, masih menyisa semburat jingga. Kota, tetap seperti gambar hidup, ramai lampu, menusuk mata tatap, tidak jiwamu.
Di depan Do An saya kembali bersua dua perempuan yang sudah bersitatap tadi di Portico, jemari mereka lekat di gadget, Mereka melangkah pelan tuju eskalator. Ah, tinggal saja dan lupa cerita dua orang tadi itu.
Mari kita menuju pada jiwa, gambar-gambar yang ada di neuron, dan sudah tertimbun beribu waktu, menyatu dalam tak sadar di peradaban. Gambar hari ini dengan mudah hadir di depan layar dalam genggaman kita. Gambar membentuk berbagai asumsi, tentang hal yang sudah lewat, meski tak ditera dalam sejarah negara, atau yang sementara berlangsung dan akan terus dikejar seperti bayang memanjang dan hilang oleh cahaya. Apa itu? Lanjut di paragraf berikut.
Teringat sesuatu tentang hal beda, dan hal sama dari kita manusia. Pertama tentang saya, boleh jadi sama, boleh jadi beda dengan anda. Bahwa, saya digembleng rimba belantara, cangkul, akar-akar kayu, lumpur, sungai, danau, samudera, dan senyum kedua orang tua yang hampir sepanjang masa hidupnya bercerita tentang perang. Kisah yang menjadi gambar dalam otak dan tak pernah saya pahami dengan tuntas hingga kedua orang tua itu menginggal, mengabu di semesta.
Di sana, di wanua, di mana sajak batu-batu mengebas jiwa. Nama, penanda tempat: Kinaris, Sasapuan, Watuharan.
Kedua, hal yang berbeda, dan akan selalu berbeda walau hendak disama-samakan. Roh masih sama, melayang di atas gelombang laut lepas, memelihara masa, menempah setiap value, a day’s journey. Roh yang menjadi jiwa yang tak dapat disamakan dari seorang dengan orang lain. Roh yang menjadi gambar dari tiap sel yang membentuk seseorang menjadi seperti yang dia mau tanpa mampu dipengaruhi oleh apa saja yang ada di sekelilingnya. Walau dipaksa ditindas, akan terus ada dalam rohnya sampai badan mengabu, musnah.
Sebagai pengingat, Kinaris, Sasapuan, dan Watuharan adalah nama jalan dan nama perkebunan di wanua Remboken, Minahasa. Kinaris, tanda garis di jalan berbatu-batu. Sasapuan adalah situs di mana orang-orang di wanua pada zaman silam percaya bahwa batu itu dibersihkan dengan ramput dari korban pengayauan ‘yang dihentar datang’ menemani leluhur yang kembali ke asalnya, mengabu, timela’auw. Watuharan, juga tentang batu. Di sana orang-orang bersua gua, di dalam lubangnya boleh mendengar decak gelombang menggema jauh dari telaga tua.
Tanah berbatu. Tanah leluhur penuh persoalan, dan selalu dirindu. Orang-orang pergi jauh, dan membawa gambar sama yang beda. Berkumpul dalam sama, dengan sesama: mereka menyebut dirinya Kawatuan. Gambar asumsi tentang sesama insan, taranak, tou, touw, to’, atau tho’, dan tau, manusia dari tanah leluhur dan wilayah yang sama.
Dari wanua, kita dibekali darah menididih dari mata air dalam rimba Samberong. Dari sana mengalir menyusur akar-akar metroxylon-sagu merah pucat, masuk ke petak-petak sawah, rewo, telaga, dan banjir membuangnya jauh samudera siklus ke berbagai benua di bumi.
Tulang kita watu–Sasapuan, ditempah-gelinding, dipalu-lumat jadi baja. Perang telah memahir kita dengan pedang pisau tombak. Dalam peta kita, legend digambar acak: “Rumendai, wangun santi, wangunen kelung. Santi itu intellectual, pedang, atau boleh juga dijadikan pisau bedah Minaesa sedari Malesung.
Nama pahlawan, Retor si Tarumetor menarikan santi, lahir saya-saya baru. Walau, saya dan saya pernah dilarang rumendai, yaitu larangan berdiri di atas tanah sendiri untuk menarikan gambar peradaban ‘saya’.
Ayah mengajari saya menggambar sederhana. Lalu saya mempraksiskannya bersama kawan sekampung. Kami menggambar di tanah, di halaman rumah yang ketika itu area-nya dijadikan tempat main bulutangkis. Teman di masa kecil, Vanda, Conny, Jein, Noni, Martha. Sesama lelaki kami selalu ramai, Iles, Berti, Jimmy, Varian, Tengku, Merlen. Kami sering memancing ikan di Wowolean hingga Rendaina, atau ke telaga. Pergi ke kebun mencari buah dan bambu, membuat lulutam, yakni senapan dari bambu, kemudian mandi di sungai banjir. Kami berkelahi, tertawa, bercanda, dan tumbuh bersama.
Rumah warisan keluarga ada di dekat pasar di wanua. Samping kiri rumah itu ada orphanage. Tak semua yang tinggal di orphanage yatim, piatu, atau yatim piatu. Kebanyakan datang ke situ adalah anak-anak dari keluarga miskin dan berpersoalan. Orphanage itu ada atas kebaikan hati keluarga J.F. Lumentut. Ia adalah Pejabat Bupati tahun 1973 – 1974 dan menjadi Bupati definitive hingga 1978, kemudian Lumentut diganti Drs. J. Rolos.
Di masa itu kami boleh bermain di halaman orphanage yang cukup luas, dari depan hingga ke belakang, melompat ke halaman tetangga. San, Nyong, Kiky, Nona. Ada juga Alex dan Mat. Malam kami menggambar bulan berbagai bentuk. Nama empat pertama itu adalah kakak beradik, diantar keluarganya pada malam hari. Nona cengeng sekali. Mungkin karena saat itu ia masih balita dan selalu terkenang pada ibunya. Ia menangis sampai muntah hijau. Ayah mereka sesekali datang menengok. Kadang lemah-lembut, kadang garang. Nyong yang selalu dicemeti bila ayah itu datang dalam garang.
Kiky dibawa merantau oleh seseorang dari keluarga pemilik orphanage. Tapi, di suatu hari di pertengahan 1995 ia kembali lagi menghuni orphanage. San suka menyanyi: “O, adikku, kekasihku, janganlah menangis, mari kita bermain-main di bawah pohon manggis.” Gambar berubah patung. Pecah dalam ilusi.
Sejak kecil saya berobsesi mengarung Pacific. Ketika bersama ayah, ia selalu bercerita, sambil mengumpul ranting kering di kebun, ia berbagi pengalamannya manakala dia melintas samudera. Sambil ngobrol, dia mengajarkan bagaimana membuat api dengan sebatang korek api saja, tidak lebih. Jadi, ranting dan kayu harus disusun membentuk ruang udara, menaruh ijuk atau sabut kelapa yang sudah kering dan dirobek-robek halus di bagian bawah tumpukan kayu dan ranting, lalu korek api dinyalakan membakar bagian halus. Api naik ke ranting, menjalar ke kayu, membentuk nyala barah.
Kebun pada lokasi ini oleh orang kampung disebut Tangkiuk. Waktu mengolah tanah adalah saat-saat sukar, membongkar alang-alang yang akarnya bersilang-silang. Memacul dua tiga jam lalu berteduh di pondok beratap ilalang. Tapi, kami selalu bersuka. Ada saja yang dapat dinikmati di sini: singkong, jagung, dibakar, dimakan dengan rawit dan secuil garam.
Ada jejeran cengkih ada durian, kelapa, pisang, jeruk, rumpun bambu, hutan temur, sombar, dan lamtoro. Di sela pepohon sering ditanami jagung, rawit, ketela, talas, nenas. Dari Tangkiuk, wanua terlihat elok di ujung Seseperan, sawah, setapak. Ayah memasang bendera dari kain berwarna cerah di ujung nantu, bendera itu dapat dilihat dari belakang rumah, ia menuturkan, bahwa jarak satu kilometer itu sama dengan tiga ribu langkah biasa. Jarak menuju Tangkiuk sekitar delapan ribu langkah.
Sekali waktu melewati Tangkiuk awal 2002-an, tanah itu sudah ditanami mahoni dan nantu. Katanya, penanaman itu diinisiasi program penghutanan area tangkapan air. Ingin bertanya, mengapa program hutan sudah melompat masuk ke kebun rakyat. Hutan adat, hutan rakyat, malah telah diserobot negara. Tapi, sudahlah!
Masa cepat berlari.
Ilusi kerap terbenam di benak. Waktu melintas North – South Expressway, mid of 2016, dari Sepang tuju KL, ilusi membuncah. Orang-orang berjejal di vending machine. Sore menua, awan-awan menggantung di pucuk hutan sawit, seperti memandang nypa-fruticans di tanah sendiri.
Di atas skybus terus menggambar. Menera resume perjalanan 2015 ke dalam notebook, kala itu: — sunrise di langit Pacific, kabut hitam merah jingga berangsur kuning putih 04.36 a.m. Pesawat seperti di tendang-tendang setelah lewat dua puluh menit mengudara dari Frans Kaisiepo International Airport. — Catatan itu kusimpan hingga skybus menepi di K.L. Sentral.
Mengenang tarian perempuan dan lelaki yang datang dari pulau tertimur Indonesia ke tanah Minahasa, dengan bangga menari di atas panggung Asia Pacific Choir Games yang terselenggara di Manado berapa tahun silam. Gambarnya ada di bawah ini. Kabasaran pernah dianggap sebagai berhala di wilayahnya. Berita itu sudah terlupa, walau masih ada bekasnya dalam benak, sebagai cuka pada luka.
Berapa batas disinggahi. Berapa gambar dipetik. Berapa gambar dibuang. Di Na Phra That Alley – Khwaeng Phra Borom Maha Ratchawang – Khet Phra Nakhon – Krung Thep Maha Nakhon, mengambil gambar patung. Di 333A Orchard Rd, memotret patung. Di 18 Marina Gardens Dr, juga memotret patung. Di bayang Marina Bay Sands mengedit gambar, membalas pesanmu dari New York, NY 10004, memandangi fotomu di depan karya Frédéric Auguste Bartholdi.
Namun, gambar dianggap murtad patung-patung berkeliaran. Di sini, orang-orang teramat licin menghafal dogma. Sayang, tumpul riset tumpul analisa. Takut pada ‘bajuseragam-bajuseragam’, takut pada yang punya pangkat, takut pada gelar berbagai singkatan. Percaya hoax dua ratus lima puluh persen.
Orang-orang menggali dogma ‘theory’ dan menyembahnya. Reformasi berjilid-jilid, membuahkan janji membasuh panji-panji. Tentang pertarungan kursi kuasa, hampir semua terlibat. Golongan putih tak pernah dapat mengelak, sebab diam juga adalah pilihan untuk sebuah pembenaran theoretic. Perang Dingin ternyata masih berlangsung, A pilih yang sana, B pilah yang itu. Semua beradu benar, padahal banyak dari kita masih susah membedakan kaki kiri kaki kanan.
Tentang hal pilihan, saya mengutip tulisan lama, etos miskin etik: “Pernah membayangkan, pernah membaca dan meneliti tidak? Apakah Amerika dan Rusia itu pernah perang secara terbuka, sementara sejauh ini ideology mereka pada semua tingkatan di negeri ini terus diperguncingdebatkan? Mereka punya etos masing-masing, demikian juga kita. Negara kita mengumumkan kepada dunia juga pada anak-anak kecil di sekolah-sekolah tentang negara yang menjunjung kemanusiaan dan hak hidup. Mengapa begitu banyak orang digusur? Mengapa keberagaman diinjak-injak ego etos etik, negara diam saja?”
Kita masih mengagung-agung segala demoskratos, seakan dalam pengagungan itu kita berjuang membela dewa-dewa di media sosial, supaya dapur boleh berasap. Dan kita merasa layak tersinggung jika ada yang berani menyinggung ‘pilihan nurani’ kadang seharga isi amplop, berapa kilogram beras, minuman, dan penganan instan.
Sebagai pengingat: siapa saja yang terpilih dan berkuasa, wajah kekuasaan masih belum berubah — masih janji-janji yang memeras rakyat. Usai pemilihan penguasa dan wakil-wakil di legislative, rakyat tetap cari makan sendiri-sendiri, banting-tulang mengakali hari.
Status di media tahun silam, walking distance: smokol ruumen wana tawi lour, turn left onto boulevard, tumembotembo hawu-mahawu, straight down PiereTendean street to the crowded road of mdc; langit biru, kembang liar, rimba megah di sajak-sajak. Hutan ditanduskan, adat diberhalakan, gambar-gambar saya-saya, wajah-wajah dalam iklan. Seperti jampi-jampi penghalau bencana. Pernahkah doa dapat menghalau banjir atau menahan longsor yang disebabkan oleh pengerukan lahan dan penandusan hutan?
Daerah tangkapan air di wanua sudah banyak yang digarap sebagai ladang marketing. Katanya untuk menggambar masa depan sebuah investasi. Ulang lagi. Nanti, usai pilkada usai pilpres dan setelah memilih wakil-wakil, kita tetap mengais untuk makan sendiri-sendiri. Kekuasaan tetap mereka-mereka, sandiwara politik hukum keamanan dan segala urusan negara masih juga oleh mereka.
Karena rindu deras, saya mengutip: Lemaire Channel on the Antarctic Peninsula in Antarctica: Sunset in Lemaire Channel, off of Antarctica. “A finger of our southernmost continent curves north into the Weddell Sea forming the Antarctic Peninsula, a slender stretch of land whose northern tip is some 620 miles from South America. Pretty remote, right? Well, Antarctically-speaking the peninsula is relatively accessible, and hosts a good number of visitors, many of whom are drawn to the awesome spectacle of the Lemaire Channel. It’s a narrow straight running between the high, craggy sides of mountains on the Peninsula and Booth Island. Note: You’ll be sharing the scene with a multitude of icebergs.” Gambarnya boleh kau tebak yang mana dalam materi tulisan ini.
Duhai, sedari kecil, karena membaca begitu banyak text, saya berobsesi datangi Lemaire Channel, hamparan benua paling selatan yang melengkung ke utara menuju laut Weddell. Gambar perubahan hue dan saturationnya saya kagumi. Meski bertualang mendatangi sejumlah samudera, menyinggahi banyak daratan, rindu selalu mengutara.
Lupakan Lemaire Channel. Sebaris dua lagi tentang gambar yang kemarin berdebat dan dapat kita tonton berkali-kali, tanpa bosan diulang seperti televisi kurang berita. Hari ini menyiarahi gambar politik. Sejauh ini, rakyat banting tulang dapat apa usai pilkada-pilkada dan pilpres yang jauh dari perang logika, tapi tajam issue suap hoax dan harapan-harapan? Itu punya kita bersama. Gambar bias persatuan retak oleh sentimen primordial. Adat kita menjadi gambar koyak mapatuarian, pertemanan persaudaraan kadang sudah terbeli gambar politik. Dan inilah yang menggelitik, bertemu kawan beda pilihan, seperti membaca gambar bukan pilihan sendiri.
Kita, gambar yang sementara diwarnai oleh pikiran dan keputusan masing-masing. Dari jauh, saya melambai kangen. Gambar yang selalu real dalam ingatan: Saya, dan saya-saya. Sesuatu maya, ternyata – tanpa disadari – adalah nyata. Seperti anda, merasa maya, namun, dalam nyata sudah selesai membaca catatan ini, dan masih belum mengerti beda dan sama yang disebut dan gambarkan pada awal tulisan ini. Itu nyata. (*)
Diposting ke kelung.id, 19 Januari 2019