20 Februari 2022
Oleh: Arman Yuli Prasetya
Penulis adalah Penulis
Tinggal di Bojonegoro
SATU
IA BERANGKAT, didengarnya hembus angin, suara-suara yang datang padanya. Sepasang mata menatap dirinya. Perintah yang harus ditunaikan, pada hujan yang jatuh, ia akan menyimpan, bila kelak ia sampai pada suatu tempat, di mana gelap dan gelap menjadi batas pandangannya, serta cahaya yang tak pernah bisa ia lihat wujudnya, ia akan bercerita, pada medan laga ia berhenti dan memulainya.
DUA
RIMBUN belantara yang tak pernah di kenalnya, lembut kabut luruh, malam yang pekat, ia tajamkan pandangan, menampik dingin yang menggigilkan tubuhnya, berharap bila hujan berhenti, mengantarkannya pada pagi, kembali pada waktu, kasihku aku telah jauh padamu, pagi menunggu, rumah yang terbuka, serta pagar bunga yang selalu kau sirami saat pagi. Ia semakin jauh, terdengar suara sangkakala.
TIGA
DERAP KAKI KUDA, dengus nafas yang berat, serta sebilah pedang harus ia tanggung di punggungnya, inikah garis hidup, pada nama yang telah disematkan untuknya, bunga-bunga tanjung bermekaran, melupakan dunia yang hancur pada mimpinya, angin berdesir saat sebilah tombak menghujam jantungnya, ia tersungkur, tak dilihatnya surga dan wajah kekasihnya, hanya lolongan serigala.
(*)