Thursday, November 21

Geladak


07 Oktober 2021


Oleh: Arman Yuli Prasetya
Penulis adalah Penulis
Tinggal di Bojonegoro
Editor: Dera Liar Alam


KAU sudah menyiapkan waktu di geladak, saat buritan dihantam badai dan ombak. Kau ingin bercerita tentang laut pada anakmu, di bawah payung malam, di dalam hati yang legam sekawanan paus mendengus menuntun huruf-huruf pada waktu yang akan menuliskan namamu pada batu.

Kau berdiri, malam ini di tengah lautan yang tak bertepi di antara ombak yang menghantam ulu hati, kepasrahan adalah kepatuhan yang kau benci, di tengah badai dan ombak, di antara bau anyir yang merebak bergerak ke geladak, kau mencintai laut seperti kau mencintai anakmu. “Jhiva…, Jhiva…,” kau berseru di tengah laut yang pilu, hitam dan abu-abu legam dan biru warna kesukaan anakmu, anak yang kau cintai seperti laut.

Apa yang kau terima setelah kau mencari, kau berdiri menatap laut yang tak bertepi mengingat anakmu, anak satu-satunya, kau memejamkan mata lalu berdoa meski kau pun tau doamu seringkali tak sampai di sana, dibungkam angin yang membara.

Kau melemparkan jala-jala di tengah badai dan ombak berharap ikan-ikan mendekat dalam jala-jalamu. Kau sadar di darat kau tak punya tempat. Tak ada ikan-ikan yang mencintaimu di darat dan itu membuatmu seperti sekarat. Di darat apa yang dapat kau lakukan selain hanya menunggu, karena hanya laut yang membuatmu masih bersitaut, sambil menatap laut ingatanmu di hantam ombak.

“Ayah…, ayah…,” panggil anakmu waktu itu sambil menunjuk-nunjuk layar televisi — pesta pernikahan, berita korupsi, peresmian proyek pembangunan, kompetisi menyanyi, wisata kuliner, ah terlalu banyak untuk disimak. Perahumu bergoyang-goyang dimainkan ombak.

Angin bertiup sangat kencang. Kau tak melihat ada petunjuk dari bintang, langit sendiri tinggi dan kelam. Kau tak beranjak, masih memegang erat tali jala yang kau lemparkan di tengah gempuran rasa rindu, suara ombak tak berhenti menderu, dalam jala-jalamu.

Kau ingin tongkol-tongkol itu terperangkap, berharap angin dan badai reda saling berdoa pada perahumu dan tongkol-tongkol itu dapat kau bawa pulang untuk Jhiva anakmu yang selalu menangis saat kau bercerita tentang laut.

Tapi, seperti di darat yang mengajarimu kesabaran, dendam, dan kepalsuan. Kau melihat buih-buih laut terombang-ambing dipayungi lengkung langit yang kelam. Kau tak melihat karang yang garang. Kau seperti melihat kelopak-kelopak bunga kamboja berceceran terseret ombak mengapung terombang-ambing dalam buih-buih keruh di lautan.

Ya Tuhan…

(*)