
13 April 2025
Anna suatu Minggu menembang di bawah awan, di bayang langit-langit tafsir. Kami – yakni dia dan saya – berdiskusi sambil mengarang sajak keyakinan hukum. Dikira mapan, padahal kontrak, yaitu hukum saban waktu dapat direvisi, dapat diamandemen, dapat batal. Kontrak dibaharui sebab ada kondisi yang dianggap berubah. Sementara ‘tafsir disangka benar selamanya’ telah menganggap huruf-huruf tebal dogma tak lagi terbuka dipertanyakan, diinterpretasikan. Hukum dapat batal demi hukum.
Oleh: Dera Liar Alam
DI BAWAH LAMBANG sesembahan ribu tahun, panggung begah di depan ummat khusuk pikir menerawang, kawan dari Wanua bersabda: “Derita, dia digantung penuh luka menanggung dendam darah.” Ummat mendesis, listrik padam, babad subsidi digoyang permainan penunggang harga semau animo pedagang bandit. Value suaramu sudah lunas dalam pesta pemilihan raja! Apa guna kritisi pajak menindas, pergandaran ayat-ayat huruf tebal regulasi? Kian benderang hukum tersebut kepentingan.
Sabtu kemarin, kawan-kawan dari tanah jauh memotong dedaun palma, saya nanya ke Anna, “Bukankah jalan itu Kamis Putih mengenang sengsara, mengapa alas lambang diangkat saat Minggu Paskah?” Anna mengernyit, menjawab dengan senyuman dikulum. “Pesan liturgi, tanda menang. Sudah tradisi.”
Anna kerjanya mengupas bawang, memetik sayur, memetik cabe, mencuci peralatan masak, menyapu lantai, ngepel, menggoreng, merebus, merapikan meja kursi, menajamkan pisau, mengiris sayur, bercerita, memberi idea, dst. Anna urban, tiba di pemukiman kami lalu membabukan diri sebab pemusatan situasi-situasi yang dia anggap rumit diselesaikan di tanah lahirnya. “Saudara saya, teman saya dari kampung jadi babu di toko, di warung, di resto, di pabrik,” kata dia. Saya bilang, semua usaha baik itu ibadah. “Kerja baik-baik, saya juga babu.” Anna terpingkal-pingkal ketika saya proklamasikan diri babu.
Bangku-bangku telah dideretkan, kami duduk di belakang, dekat pintu keluar. Di deretan kiri, saya, ada dua perempuan dan dua lelaki. Di belakang saya ada empat perempuan dan satu lelaki. Di depan saya lebih sepuluh deret, kiri satu deret hampir penuh, lebih sepuluh deret kedepannya. Demikian di bagian kanannya, nyaris terisi terutama jelang khotbah diteriakkan. Minggu-minggu sengsara nan ramai upacara, seperti musim pacaran tak pernah berhenti. Demikian suatu hari Minggu renung dalam gedung.
Ada saat kertas kopian dibagi, dan semua menyimak teks berderet-deret di tiap lembarnya dari halaman depan hingga halaman belakang berisi ucapan salam dan terima kasih. Orang-orang merogoh kantong, membuka dompet, memeriksa tas, manakala irama ‘brilah yang baik, brilah yang baik, Tuhan sudah membrikau yang terbaik, apa yang kaubri maka brilah skarang, Tuhan janji balaskau dan berkati kau slamanya’. Pundi diedar dari deret depan menyisir semua sudut, tangan-tangan bersiap. Ada kaum malu-malu pada pundi sudah duluan keluar, pura-pura mengarah kakus. Kadang saya berdiri bersama dengan kaum malu-malu itu.
Beberapa petak di seberang jalan, di halaman gedung peribadatan. Orang-orang merekam situasi, bersenyum mereka, ada yang bawa daun palma, daun singkong, entah daun gedi. Kreatif juga ummat menyikapi situasi, hutan telah sekian zaman dibabat untuk pemukiman dan butuhnya manusia. Dedaun hijau masih ada tumbuh meliar dalam krisis sekian jenis menghilang.
Babad Minggu kemarin itu tualang teks. Hampir senja saya merapat di kedai koffië, koffiëtijd cari murah meriah sambil online gratis di situ. Menyembah wadah kertas, itu saya. Pura-pura kaya, pura-pura senang bahagia.
Saya, terlambat bangun sudah sering, rapikan pembaringan, melipat blangket, membersihkan ruang, mandi, ganti pakaian, mengangkat galon air, memilah sayur, mengangkat sisa-sisa, memboyong piring gelas sendok garpu tissue usai pelanggan menyantap menunya, nyuci, ngangkat kursi, menggeser meja, main gitar, menenun teks, mengedit artikel. Sombong, urutan pertama kelakuan saya.
Anna, saya, kami masih sama, mengeja Minggu membincang sajak zaman silam membabukan diri, mendengar kabar berita derita.
Konstelasi fiksi Minggu dana hibah: pemerintah dapat memberikan hibah dalam bentuk dana, barang, atau jasa untuk berbagai program untuk pengembangan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, atau pemberdayaan masyarakat. Fiksi tahun politik, “Makanya pilih pemimpin yang baik. Masuk tahun politik harus banyak mendengar banyak melihat agar supaya jangan salah pilih. Karena akan menentukan masa depan.” Ada 25 organisasi keagamaan terima dana hibah, yaitu GMIM, GMIBM, GMIST, Germita, SAG, Keuskupan Manado, GPDI Sulut, KGPM, LPPD Sulut, LPTG Sulut, WHDI Sulut, LP3KD Sulut, BKSUA Sulut, MATAKIN Sulut, PHDI Sulut, WALUBI Sulut, GMPU, GBI, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh, Gereja Bethani Indonesia, KMHDI, Gereja Tiberias Sulut, GKMI Sulut, Generasi Muda Tridharma Ban Hing Kiong, Pinandita Sanggraha Nusantara. Begitu ditulis Ferry Assa di mediamanado.com, 13 April 2023.
Bukan fiksi. Menurut ISO 8601, hari Minggu merupakan hari ketujuh dan terakhir dalam sepekan. Sementara menurut beberapa negara, khususnya di Indonesia, dan dalam tradisi Abrahamik, hari Minggu merupakan hari pertama dalam seminggu. Tafsir Minggu libur, padahal kapan saja dapat berlibur, boleh Senin, Selasa, bisa juga Rabu, Kamis, Jumat, atau Sabtu. Nikmati saja.
Koffietijd, waktunya ngopi — seraya berbagi, buy one get one free, siapa saja boleh memintanya. Jika beruntung, anda juga dapat menikmatinya. (*)