06 November 2024
Oleh: Dera Liar Alam
MENYINTA keliaran, memecah matahari di langit polusi, sajak, jejak, pijak-pijak membekas retak. Ruang kelas diisi raja-raja murka bersabda semau perintah buku bisnis. Huruf-huruf tebal hitam jadi acuan undang-undang bila hendak bermentra menjawab soal-soal.
Doa mengejar Voyager Satu, padahal obyek itu pada 25 Agustus 2012 telah memasuki medium antarbintang, menjadi buatan manusia pertama yang telah meninggalkan Tata Surya. Silakan hitung jaraknya, 2,04×10−3 ly. Kita masih saja meramal masa silam, memandangi bintang-bintang berharap kerajaan langit turun ke kota suci.
Ruang kelas tempat menata ayat-ayat diskusi telah disihir pergandaran kertas-kertas pseudoscience. Padahal pernah disepakati bahwa ayat dari kitab kudus manapun tidak dapat dijadikan kesimpulan sebuah tesis. Walau, masih terus berlangsung — beribu-ribu lulusan mengunci doa teorinya dengan ayat. Professor mabuk menuduh semua jawaban murtad, kecuali yang sudah disahkan, baca: dipaksakan negara.
Murid-murid berbaris, antre depan kotak sumbangan. Barisan terus memanjang, melebar, terus dan terus. “Jangan gunakan jeans,” ujar sosok yang mengaku membawa suara messiah, pembebas. Wajah serius terkadang bercampur emovere meninggi. Dosen Life and Teaching terpingkal-pingkal, menduga strategi menyeragamkan isi kepalanya manjur. Begitu kelakuannya sepanjang musim mengajar, memandang seakan tatapnya lembut, bertutur serius mengikut alur sikon ruang kelas. Komunikasi satu arah, instruksi.
Dosen saya yang ngajar soal keselamatan itu seorang ibu. Dia punya teori berbagai larangan supaya murid-murid mewarisi kerajaan langit. Larangan paling hebat yaitu tidak boleh mempertanyakan dogma. “Semua sudah diatur, ada kebenaran tunggal mesti dipatuhi.”
Reda. Ricuh. “Ada pertanyaan?” Kelas riuh dan kaku. Mereka yang memberi keterangan dan coba bertanya atau menjabarkan soal di luar teks buku panduan dianggap pembangkang, diberi nilai D. Demikianlah nama seseorang sepanjang ingatan. Pernah mengumbar makna mimpi raja, katanya, dan meramal kerajaan-kerajaan masa depan. Padahal klasifikasi hewan dan tumbuhan juga meminjam penggolongan ini, kerajaan.
Jadi ingat Carolus Linnaeus, ilmuwan Swedia yang meletakkan dasar tata-nama biologi. Popular sebagai jago taksonomi modern dan ekologi modern.
Murid-murid dibikin lupa sejarah otak ‘wewenang’, auctoritas, pengaruh, kuasa, wibawa: hal-hal itu pernah dipangkas pedang demoskratos, walau akar-akarnya tetap meliar dan dapat saja tumbuh sebagai kursi-kursi kuasa yang menghendaki pengaruh sepanjang hayat.
Tukang fashion merobek jeans, simbol kesusahan dilebarkan cabikannya. Ada dan banyak yang tertarik memakainya. “Tutup mata, teruslah berdoa,” teriak dosen.
Primera Junta, komite kuasa. Apa kata fakta, fashion telah tumbuh lebih tinggi dari ubun-ubun dan membungkus ibu bumi dalam karung: isi karung dapat diduga, zina, panggung erotis nikmati sendiri, private. “Beri kami kerajaan langit yang janjikan peri-peri bertelanjang berdozen-dozen.” Dosen berseru dari depan kelas, katanya, “Be careful your eyes. Keep your eyes focused on what is right, and look straight ahead to what is good.” Murid-murid pura-pura menekuri kertas ujiannya, namun tetap nyontek dan saling korupt.
Jeans robek terjual. Laku satu. Laku dua. Laku tiga. Tingkah laku. “Syukur berkat turun dari langit,” ujar pedagang. Berterimakasihlah pada yang sempat datang membeli. Sebab bintang-bintang tidak menelurkan duit dan menghujani ruang-ruang kita dengan roti, gluten, dan ikan asin.
Putri-putri berjejer mengenakan jeans ketat berjemur di pantai-pantai asing, “Orang miskin dilarang datang ke sini.” Begitu bunyi pengumuman dikumandangkan pengeras vokal. Lalu dogma dibaca berulang-ulang: bertemu di kota baru. Ada yang sempat, ada yang alpa, entah berapa banyak pagi dianggap merekah, zaman dan musim berganti. Disusunlah silsilah untuk menghitung turunan dan mengalkulasi berapa banyak pendoa jadi pahlawan.
Amin, teman panggung – yang suka bermain bass – berdiri membelakangi penonton. Jeansnya robek di depan, robek di belakang, di atas dan di bawah. “Hey dewi dewa,” katanya dengan mulut kamit-komat. “Beri kami segelas anggur haus yang ditagih dari karcis-karcis suci pergandaran tanah adat bumi yang telah digagahi konstitusi itu. Atau, jika lapar dapat ditunda, kami boleh mengecap sekerat gluten basi meninggikan asam lambung agar nyanyi nyaring menghardik anjing pelacak seliweran membagikan dongeng subsidi.”
Musik telah bingar memekak, mengiring doa-doa kampanye. Amin duduk di tepi panggung. Namanya diulang-ulang. Begitu nilai-nilai terjual di lembar ijazah, supaya mereka yakin Amin berdoa, walau kata-kata telah dirobek dirombak bersama jeansnya.
Tidak ada subsidi. Kami hidup subsisten, walau pasar-pasar telah memagari setapak di mana jeans robek biasa melintas.
Doa sudah dimulai berabad-abad lampau. Kawan inisial A menjawab: Menyinta keliaran, memecah matahari di langit tanpa polusi, dengan sajak, jejak. #DoaAnomaliKendaraanElektronikMasaDepan, (*)