16 Desember 2022
Kode 34.
Oleh: Arman Yuli Prasetya
Penulis adalah Penulis
Tinggal di Bojonegoro
Gambar: AFTER the rain poem: the rage of heaven and earth depart…
Kemudian cahaya jatuh
Pada Desember mendung
Ada dingin merambat
Pada dinding gedung
Tiba juga di tubuhku
Pada lantai sebelas
Aku melihat pohon-pohon
Seperti tak mampu mencapai ketinggian
Tetesan air jatuh di keningku
Dari mesin AC yang lupa dimasukkan dalam anggaran perbaikan
Aku telah mengentuk pintu
Dan telah kupercayakan kepada rapat dan siding untuk mengambil keputusan
Bila nanti kita berdua sampai juga pada hari yang semakin tak pasti
Kau mengajakku untuk segera keluar dari sini
Semua butuh antre, kataku,
Tapi aku gagal untuk selalu menunggu sahutmu.
Ketika panas datang
Menyingkirkan mendung
Desember telah berubah menjadi Juli yang panas
Angin yang kering membuat sisik-sisik pada kulitmu
Maaf aku lupa menghitung untuk krim dan lotion
Segala tagihan akhir tahun
Seperti tali yang menunggu
Menjerat leherku
Kemudian kau coba menghiburku
Seperti menegaskan bahwa itu adalah tugasmu
Kita akan sedikit melupakannya
Kau berkata, aku telah menyiapkan cara untuk menjauhi remeh-temeh ini
Aku telah menyiapkan kembang api
Dalam tujuh warna kesukaan kita
Dan aku tak sabar menunggu pulasan warna pada malam
Juga jerit terompet
Ketika orang-orang sibuk menghitung mundur
Untuk tahun-tahun yang semakin berlalu
Bangun pagi dan berolahragalah
Agar nafas kita panjang untuk meniup terompet itu
Aku telah lama memesannya
Pada harapan baru
Kemudian kita terus berjalan
Menjauh dari gedung
Bunyi klakson berebut arah
Di antara reklamae
Juga baliho-baliho besar
Seakan menunjukkan hanya dengan kemerdekaan
Kita mampu menyelenggarkan tahun-tahun penuh gambar
Juga kibaran-kibaran harapan
Kita telah menyusun rencana-rencana yang akan kita tempuh dengan gembira
Tapi kita juga telah lama mengetahui tak ada yang bisa kita gantungkan
Pada punggung lain yang tak mampu menanggung beban yang terus saja kita lemparkan
Di tepi jalan kita melihat diri kita yang dulu
Saling menunggu…
Dari pojok gang ketika aku berjalan menghampirimu
Dan kau tersipu malu
Waktu telah mencatatnya
Menjadi bagian penting dari hidup kita
Waktu seperti gelombang
Menyeret kita semakin jauh
Dan keinginan-keinginan itu
Belum mampu kita merancangnya pada sistem
Yang kita sentuh dengan jari kita
Semua berubah nyata
Memihak usaha kita
Kita akan bangkrut, tanyamu
Tidak kita hanya ingin melupakan waktu, jawabku
(*)