Tuesday, April 30

Bersorak di Hujan Mei


15 Mei 2020


Oleh: Daniel Kaligis


Pencipta membikin awan, angin, badai, hujan: seperti itu teks bercerita masa lampau. Kita bersua tuhan-tuhan dalam teks, menemu nyonya-nyonya berkelekar dosa…


Kenangan tahun silam, 2020, membuncah hari ini: 2021.

BERAPA jenis bumbu dalam keranjang diletak dekat tungku tanah liat merah, di situ berserak bara api puluhan tahun silam di kampungku yang masih dijejali pagar bambu. Tetangga saling meminta jagung, talas, umbi, merica, kemangi, kunyit, kemiri, daun gedi, dan garam.

Saat itu, mimpi-mimpi masa depan dipahami sebagai sesuatu yang ortodoks, ortho doxa.

Kawan diskusi saya, Wailan, mengirimi saya tembang untuk dinikmati, ‘Spirit in the Sky, Norman Greenbaum’. Saya, ambil gitar, memain dawai-dawainya. Menekan tuts-tuts keyboard tua di meja kerja, mencari nada gerimis: Mengingat langit, mengenang guyuran air, guruh, kilat, deras dan banjir. Hujan Mei dianggap menyuburkan. Seperti itu keyakinan di wanua.

Anda akan sering bersua terminologi ‘wanua’ dalam artikel ini, padanannya adalah mbanua, banua, atau kampung.

Sorak Hujan

Penghujung era 90-an, atmosfer wanua sejuk labil. Para bocah bermain di bawah guyur hujan bulan kelima dalam penanggalan Masehi. Anak-anak wanua ramai bersorak di lorong, di jalan, di lapangan, di halaman. Ada yang menuju sungai, ada yang membasuh badan di sumber-sumber air panas. Hujan awal Mei juga dipercaya menyembuhkan. Di wanua kami, sumber air panas memang banyak.

Jauh sebelum era era 90-an, di masa sekolah dasar, saya pernah bermain bersenang hujan Mei bersama kawan depan rumah di wanua.

Sore baru mulai kala itu. Mendung, tetiba hujan.

Saya dan James berhambur ke jalan, anak-anak sudah ramai menikmati basah dingin yang menerpa oleh siraman air dari langit.

Tidak puas di jalan, tidak betah di halaman saja, kami beranjak, menuju sungai. Berjalan cepat, berlari, beriring-iringan barisan anak-anak sebaya. Wanua kami limpah air. Kami berada di dekat belantara rumbia, Nengkol, belok kiri dari arah rumah kami, lokasi yang kami tuju itu disebut Rendaina.

Dua sungai bertemu di Rendaina: alir dari persawahan Na’akir – airnya dingin. Dan alir dari Welong, melintas belantara rumbia – airnya panas. Di Rendaina kami bersuka, saling dorong, melompat masuk ke air yang mulai coklat bercampur lumpur.

Sore memanjang. Terus bermain di air, kami tidak memikirkan orangtua yang mulai cemas menunggu di rumah. Beberapa ibu datang menjemput anaknya. James juga dijemput. Sepanjang jalan dia diomeli.

Wanua di masa itu masih dijejal mitos ‘panunggu’, ini makhluk yang tidak kelihatan namun dipercaya bertugas menjaga suatu lokasi. Di mata air ada panunggu. Di hutan ada panunggu. Di sungai ada panunggu. Di pohon besar ada panunggu. Bila ada anak sakit, panunggu boleh jadi tertuduh sebagai penyebab si anak sakit.

Itulah mengapa ketika kami bermain di sungai, ada saja orang tua yang datang menjemput anaknya pulang, jangan sampai dicelakai panunggu.

Seperti itu wanua dan kisah hujan.

Tanah berbatu dengan akar-akar kayu menancap jauh ke dasar bumi, perantau menyebutnya Kawatuan Remboken. Di sana tutur turun-temurun penanda masih membekas terkait hujan. Kami meyakini itu adalah ‘tuturu leos ni Mapiara, yakni penanda atau petunjuk baik yang diberi sang pencipta pemelihara semesta.

Dari penelitian arkeologi diketahui penanda atau tuturu kehidupan manusia di jazirah utara Sulawesi sudah berlangsung sejak 30.000 tahun silam. Bukti itu ditemukan di gua Liang Sarru, Pulau Salibabu. Bukti lain ada di Situs Bukit Kerang Passo – diperkirakan usianya sekitar 6.000 tahun silam. Ada bukti lain sekitar 4.000 tahun silam hingga awal Masehi menandakan sudah ada kehidupan di gua Liang Tuo Mane’e di Arangkaa di Pulau Karakelang. Salah satu penelitian itu disampaikan dalam buku Archaeology: Indonesian Perspective, yang ditulis R.P. Soejono’s Festschrift.

Sejarah menjadi obrolan laksana hujan Mei.

Seperti tercatat, secara berturut-turut Portugis, Spanyol, dan Walanda (Belanda dieja Walanda di wanua), datang di wanua kami dan membaptis (lelé’en) para tetua, yakni leluhur kami di masa lalu. Kemudian dalam perjalanan penanda, yakni, tuturu di setiap zaman: Memasuki budaya megalitik, tuturu berupa kubur batu yang dikenal sebagai waruga, menhir ‘watu tumotowa’, lumpang batu, dan sejumlah penanda lain yang sudah ada sejak 2.400 tahun silam hingga abad Dua Puluh Masehi di tana’ Minahasa dan di area wanua, Kawatuan Remboken.

Hujan menjadi penanda musim yang baik untuk bersedia bekal menuju kemarau: tuturu leos. Sorak masih berlangsung jadi cerita hari ini. Mitologi leluhur, tersebut ne mina-tou Minahasa, penghuni Tana Malesung, ada tiga kelompok tou: Makatelu-Pitu — tiga kali tujuh, Makarua-Siouw — dua kali sembilan, dan Pasiouwan-Telu — sembilan kali tiga. Legenda pertikaian sesama, selalu ma-tokolan. Lalu bersua di Awuan – di utara bukit Tonderukan. Pertemuan itu disebut pinawetengan u-nuwu: berbagi wilayah, dialek, dan bahasa, dan pinawetengan um-posan: berbagi ritual.

Literasi dan tutur menyambung kabar berita. Sedari era 90-an, ma-tokolan atau orang-orang berkelahi, sering dibahas koran-koran. Perkelahian kampung sederas hujan, dan banyak yang jadi korban. Sungai berdarah di jalan pedang, tombak, sangkur, badik. Di masa itu, panah wayer, senjata yang dipakai untuk bertempur di ladang-ladang pertambangan, menjadi alat untuk berkelahi yang marak di wanua.

Membahas hujan hari ini, dengan mudah kita mengakses buku analisis hujan per bulan untuk tahun ini, 2020, dan tahun selanjutnya. Ada prakiraan hujan bulanan memuat informasi tentang kondisi iklim terutama curah hujan dan prakiraan hujan untuk tiga bulan ke depan. Ada analisis dinamika atmosfer dan laut serta prakiraan El Niño–Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole dan suhu permukaan laut. Berikutnya informasi terbaru, dan pemutahiran data-data.

Kita lupa sejarah. Sorak yang bergema dalam bilik-bilik sunyi evaluasi.

Di wanua, ‘panunggu’ masih ditutur dalam banyak dialog. Cerita hujan menjadi banjir hingga di lembah, bukit, dan lokasi yang diberi julukan gunung-gunung. Hujan masih sederas sorak.

Coba mengintip hujan yang bukan dari langit. Derai air mata adalah penandanya. Di sana, di Wenchuan. Mari kita buka kembali jendelanya: Sichuan dua belas tahun silam.

Gempa berkekuatan 7,9 skala Richter dengan episenter di Wenchuan, Sichuan, terjadi 12 Mei 2008, pukul 14.28 waktu setempat.

Dilaporkan bahwa getaran gempa terasa hingga Bangkok, Thailand. Orang lebih mengenal kejadian itu sebagai ‘Gempa Wenchuan’. Area yang memiliki luas 4.084 kilometer persegi itu ada di Prefektur otonomi Tibet Ngawa dan Qiang, Republik Rakyat Tiongkok.

Tidak gempar ‘Gempa Wenchuan’, Fox News menulis, At least 2 Killed After Earthquake Strikes China Sichuan Region. Padahal, data lain menyebut peristiwa itu telah menewaskan lebih dari 69.000 orang. Laporan resmi pemerintah Republik Rakyat Tiongkok, sebagaimana dilaporkan CNN, jumlah korban meninggal dunia mencapai 14.866 orang per 14 Mei 2008. Pascagempa, The United States Geological Survey menyebut data yang mana dalam peristiwa itu ada 87.000 orang tewas.

Situasi yang buruk. Bukan sorak. Tangis hanya bahasa pemunah rasa, sakit dan menderita.

Namun, pemerintah di sana cepat tanggap. Pascagempah pemerintah Republik Rakyat Tiongkok tanggap cepat. Perdana Menteri, Wen Jiabao, terbang ke daerah bencana dua jam setelah mendengar kabar gempa. Palang Merah Republik Rakyat Tiongkok mengirimkan 557 tenda dan 2.500 selimut ke Wenchuan.

Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok memberi izin Yayasan Tzu Chi dari Taiwan mengirimkan tim bantuan ke kawasan bencana. Ini adalah tim bantuan luar negeri pertama yang masuk ke Wenchua. Sementara kalangan militer Republik Rakyat Tiongkok pada hari itu juga mengerahkan lebih dari 50.000 pasukannya untuk membantu misi penyelamatan.

Gempa Wenchuan adalah bencana terparah di Republik Rakyat Tiongkok sejak gempa di Tangshan tahun 1976 yang menewaskan 242.000 jiwa.

Gempa Wenchuan membikin akses transportasi rusak parah. Kondisi alam di sebagian kawasan terkena dampak gempa menjadi buruk, membuat tim bantuan yang datang ke sana kesulitan mencapai beberapa lokasi terdampak paling buruk.

Ketika gempa, bangunan sekolah dalam jumlah yang tidak masuk akal runtuh, terutama di daerah rural Sichuan.

Wakil Gubernur Eksekutif, Wei Hong, medio 20 November 2008 mengkonfirmasi bahwa murid tewas yang teridentifikasi sebanyak 19.065, berikutnya ada 90.000 orang tewas atau hilang setelah gempa. Wei Hong menyatakan bahwa ada dua ratus ribu rumah telah dibangun ulang dan 685 ribu lainnya sedang dalam proses pembangunan ulang, dengan relokasi awal di 25 kotapraja, termasuk Bichuan dan Wenchuan yang paling parah menderita dampak gempa. Pemerintah mengeluarkan hingga $441 miliar dalam upaya membantu korban dan rekonstruksi.

Bencana, seperti hujan. Menghanyutkan kenangan, sorak-sorai kemenangan di hari kemudian jadi catatan untuk kembali dievaluasi, dan diyakini dapat diprediksi.

Sorak hujan masih berlangsung hari ini manakala pandemi menindas cara pandang. Atmosfer kita dijejal isu bermacam ragam. Siapa saja boleh jadi tertuduh.

Di masa lalu hingga era 90-an, ketakutan pada ‘panunggu’, yaitu makhluk tak kasat mata yang dapat menyebabkan sakit penyakit. Kemudian anak-anak disuruh pulang: kembali ke rumah, jangan sakit, jangan terbabit.

Sorak ini membanjiri halaman bacaan kita, menjadi pikir yang mengetuk berulang-ulang mengundang insomnia. Dalam tidur kita terjaga, dalam saat-saat yang mestinya kita terjaga badan dan pikir tidur menghambur di jalan-jalan. Membikin macet, membuat khawatir, menyebar isu, memaki peran.

Peradaban kemudian menafsir masa depan dengan bantuan-bantuan: beras, mie instan, telur, minyak, garam, dan lain-lain.

Sekarang, sorak menggema memagar lorong dan jalan-jalan, semua harus pulang: ke rumah, jangan-jangan saya atau anda menjadi penular atau tertular C-19.

Pandemi menjadi sorak setiap orang, derasnya masih berlangsung hingga Mei ini.

Hujan Peluru

Dari wanua kita mendengar kabar reformasi. Lama mendekam berita itu, sekitar dua puluh dua tahun silam.

Ini kisah sorak-sorai negara yang sekian puluh tahun dicekam kuasa otoriter, kemudian sempoyongan oleh gerak mahasiswa mengumandangkan perubahan di tanah air.

Waktu itu, dua puluh dua tahun lalu, 12 Mei 1998: Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, tewas tertembak. Luka di bagian vital tubuh, kepala, tenggorokan, dan dada. Penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti digambarkan detail dan akurat dalam ‘Langit Merah Jakarta’, ditulis jurnalis Anggie D. Widowati.

Media dua tahun silam, 12 Mei 2018, Bayu Galih menulis di KOMPAS: ‘20 Tahun Tragedi Trisakti, Apa yang Terjadi pada 12 Mei 1998 itu? “Tragedi Trisakti menjadi simbol dan penanda perlawanan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru. Setelah tragedi itu, perlawanan mahasiswa dalam menuntut reformasi semakin besar, hingga akhirnya memaksa Presiden Soeharto mundur pada 21 Mei 1998.”

Pada sub judul, sorak berita itu menjadi jelas: hujan, Bayu Galih membahasakannya dengan ‘dihujani peluru tajam’, “Penembakan terhadap mahasiswa diketahui tidak hanya berasal dari aparat keamanan yang berada di hadapan peserta demonstrasi. Dalam berbagai dokumentasi televisi, terlihat juga tembakan yang dilakukan dari atas flyover Grogol dan jembatan penyeberangan. Aparat keamanan tidak hanya menembak dengan menggunakan peluru karet. Pihak kampus pun menemukan adanya tembakan yang terarah, dengan menggunakan peluru tajam.”

Tentang reformasi dan peristiwa Trisakti, Akhmad Muawal Hasan, di Tirto.id, mencatatat, “Tanpa diketahui pemicunya, aparat keamanan tiba-tiba menyerang mahasiswa dengan tembakan dan gas air mata. Rombongan mahasiswa panik berlarian menuju kampus. Penembakan semakin membabi buta dan melibatkan sejumlah penembak jitu. Peluru karet maupun peluru tajam berhamburan. Aparat – tanpa senjata api – memukuli mahasiswa dengan pentungan atau memakai tangan kosong, disertai tendangan, injakan, dan melemparkan mahasiswa ke sungai.” Seperti itu ditulis Hasan, 12 Mei 2017, dalam tajuk ‘Tragedi Trisakti dan Keadilan yang Tak Kunjung Tiba’.

Saya membaca judul-judul yang dikira purba. ‘Petang Mencekam di Kampus Trisakti, 12 Mei 1998’, ditulis Rinaldo, 12 Mei 2017 di Liputan6.com.

Terkait kasus kekerasan pada perempuan, Andy Yentriyani, Komisioner Komnas Perempuan, dalam konfersi pers secara online, menyebut penuntasan kasus Mei 1998 masih terkendala baik di aspek substansi, struktur, maupun kultur. Akibatnya kemajuan yang telah diperoleh masih bersifat parsial dan adhoc, sehingga belum mampu memperbaiki kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan kriminal terutama tindak kekerasan perempuan. “Kondisi ini merintangi perempuan korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual, mengakses hak-haknya sebagai korban dan sekaligus pada hak konstitusionalnya, terutama hak atas rasa aman dan keadilan.”

Negara di mana? Deras hujan masih ada di mana-mana dengan nada radikal. Soal lama yang mengekal dalam ingat. “Komnas Perempuan mencatat bahwa selain aspek budaya dan pilihan personal, sikap membungkam korban sangat dipengaruhi oleh dinamika politik yang tidak menunjukkan keberpihakan pada korban.” Seperti itu dicetus Andy Yentriyani, di TEMPO.CO, 13 Mei 2020.

Kawan aktivis perempuan yang bermukim di London, United Kingdom, Soe Tjen Marching, terkait peristiwa 12 Mei 1998, menyebut, “Jangan lupa: 22 tahun yang lalu, ribuan rumah dan toko dibakar, ratusan perempuan diperkosa bahkan dirusak organ reproduksinya dengan pecahan botol. Polisi dan militer tak bergerak sama sekali. Tak seorang pun terkena sanksi. Semua pelaku lolos, tanpa bekas,” urai dia, 13 Mei 2020, kemarin.

Bertemu orang-orang dan bercerita pengalaman Indonesia. Kenangan diulang. “Aksi kita sebagai mahasiswa saat itu tidak berhenti pasca-Tragedi Trisakti, 12 Mei 1998. Hanya istirahat saat kerusuhan 13-14 Mei 1998, setelahnya lanjut hingga pecahnya peristiwa Semanggi I & II. Dan belajar dari pengalaman aksi demi aksi, maka jelang memasuki puasa Desember 1998, kita beri cindera mata paling berharga untuk pemerintah, dengan strategi dan taktik, akhirnya kita berhasil menerobos paksa tiga batas, yaitu Barisan Polisi, kemudian barisan PHH TNI dan akhirnya menjebol pintu gerbang DPR/MPR sekaligus. Dalam satu ritme gerak serentak maju, gelombang demi gelombang, seperti ombak tanpa henti, merebut peralatan hingga yang tersemat di seragam mereka — kemudian dikembalikan, sebagai tanda kemenangan. Setelahnya kita dan aparat saling bersalaman, sebagai tanda segala aksi telah berhenti sekaligus saling memaafkan jelang puasa. Saat peristiwa itu, saya tidak berada di garis depan, tetapi di sebuah mobil, memegang alat komunikasi yang intens berhubungan dengan kawan-kawan di garis depan dan belakang.” Demikian dicatat Ronas Pardianto Isnianto, 13 Mei 2020.

Ronas dan saya berkawan di ‘Sahabat Pancasila’. Saya membaca statusnya mengenang perlawanan di era 98. “Dulu, pagar depan DPR/MPR tidak seperti ini, dan pagar tol belum dipasang beton tinggi. Tiap saya melewati daerah ini, tiap kali saya bertanya dalam hati: Ini gedung wakil rakyat atau wakil siapa ya? Mengapa dipasang pembatas sedemikian rumit? Karena dari bahasanya yang saya tangkap hanyalah wakil rakyat berjarak pada rakyatnya sendiri bukan? Pesan saya hanya satu, perjuangan itu bukan seibarat lari sprint, tetapi lari marathon, dan bila diperlukan hingga generasi selanjutnya. Namun, yang terpenting adalah jangan terputus, jangan tertidur dan tetap tegak lurus.”

Sejarah dalam pandangan kita, ada sejumlah tafsir mengendap dalam benak.

Bertahun lewat, kita ada pada realita hari ini. Selasa, 12 Mei 2020, boleh dinikmati webinar series perempuan dan Covid-19: Urgensi Pendekatan Berbasis Gender dalam Menangani Pandemi –Pembebasan Narapidana Kasus Kekerasan Seksual dan Dampaknya bagi Korban.”

Apa yang anda bayangkan tentang hujan? Kenang seperti penjaga. Juang yang belum selesai. Dan peluru yang pernah menghujam belum tentu diam.

Hujan Tak Selalu Air

Adalah hujan yang bukan air. Saya pernah membahasnya dalam sajak dengan kawan Jamal Rahman ketika kami sama-sama menulis untuk harian Swarakita. Lalu, berdua kami memeta sejumlah terminologi: hujan debu manakala gunung meletus, hujan makian, hujan batu dalam perang kampung di banyak lokasi.

Wah, ini memang seru. Hujan batu itu menampar saya pada dua kenangan sekaligus: pertama, ketika tawuran pelajar SMA di Salemba, Jakarta. Kedua, perang antarkampung di wanua. Soal kedua ini sama dengan yang pertama, batu selalu bercampur unsur lain, boleh jadi penggaris besi, pisau, rantai, bolpoin, dan alat apa saja yang boleh digunakan untuk melukai melumpuhkan lawan. Teman saya dari Oetama Tiga di Jakarta, malah bawa granat waktu tawuran. Untung saja granatnya kosong, “Cuma buat nakut-nakutin,” kata dia sambil bersorak.

Hujan lainnya, informasi dan isu yang bercampur-campur dengan kebohongan, memengaruh orang banyak, membentuk opini yang menggerakan emosi massa. Hujan seperti ini sudah melintas waktu, membentuk sejarah.

Sejarah seperti apa?

Terkisah Miki Tikus ingin meniru Charles Lindbergh untuk menjadi penerbang tunggal, lalu ia mengajak Mini Tikus. Selama perjalanan, Miki Tikus mengajak Mini berciuman; namun Mini menolak dan karena Miki terus memaksa, akhirnya Miki terjun bebas dari pesawat dengan parasut. Karena teralihkan perhatiannya, Miki kehilangan kendali pesawat dan akhirnya mendarat darurat. Miki melemparkan sepatu kuda yang diberikan Mini padanya lalu berbalik menghantam dirinya sendiri.

Anda boleh membantah Miki Tikus sebagai bukan sesuatu yang nyata, namun kisah ini ada sejarahnya, hari ini, puluhan tahun silam: Plane Crazy, film animasi pertama kali pada 15 Mei 1928 menampilkan Miki Tikus – film hitam dan putih serta bisu, disutradarai Walt Disney dan Ub Iwerks.

Edwin kawan diskusi saya. Dia masih belia, usia anak sekolah dasar. Selalu menghujani saya dengan pertanyaan. Dia Tanya saya, “Kau tahu Clarabelle Cow.” Tidak mau kalah, saya secepatnya ke mesin pencari, bersua Clarabelle Cow, karakter fiksi Disney yang dibuat Ub Iwerks pada tahun 1928 untuk Walt Disney.

Dalam kisah Miki Tikus ada tokoh nyata, Charles Lindbergh. Dia pilot ulung pesawat Amerika Serikat yang terkenal karena penerbangan solo menyeberangi Lautan Atlantik pada 1927.

Tak mampu menjawab seakan ketakutan bencana. Menjawab sembarang juga menjadi bencana melebarkan ruang bohong dan hoax. Saya penyuka sejarah. Tentu harus memilah mana tokoh nyata, mana tokoh khayalan.

Anda perempuan suka sejarah. Mungkin saja kenal nama Maria Gaetana Agnesi? Siapa dia? Apa hubungan Maria dengan hari ini? Dia filsuf dan matematikawati Italia. Anak tertua dari 21 bersaudara, ia dilahirkan dalam keluarga Italia kaya dan terpelajar dan mempunyai ayah matematikawan. Ia menguasai bahasa Latin, bahasa Yunani, bahasa Ibrani, dan beberapa bahasa lainnya dalam usia 9 tahun. Pada usia 20 tahun ia memulai sebuah karyanya yang terpenting, sebuah buku ajar kalkulus. Maria Gaetana Agnesi lahir di Milan, Italia, 16 Mei 1718.

Mungkin kisah itu tidak penting bagi anda. Kita selalu mengulang. Hujan tak pernah dapat diprediksi. Demikian juga alam, akan terus bergejolak, bergemuruh, berevolusi, berevolusi, menemu baru yang adalah rumus abadi di semesta, walau takada mahluk di dalamnya. Tiap peristiwa hanya disebut bencana bila menyasar mahluk bernama manusia.

Hujan yang bukan air adalah isu yang menderas tanpa kendali. Seperti itu pandemi menjalar. Orang-orang punya sejumlah alasan untuk melawan. Sistem punya sejumlah kiat untuk bertahan dalam kedegilan menutup sejumlah fakta dan data yang mestinya menjadi hak publik sebagaimana diatur regulasi.

Hari ini di negara kita, ada tontonan yang terus diberitakan karena bencana ekologi yang terus melebar. Greenpeace pernah menuding Indonesia sebagai perusak lingkungan hutan, tapi negara kita membantahnya dengan berbagai argumen. Menteri Kehutanan, M.S Kaban, mengatakan bahwa delapan puluh persen kerusakan hutan yang terjadi di dunia selama ini adalah akibat adanya perkembangan industri yang pesat sehingga membutuhkan lahan-lahan produktif. Tulisan saya ini boleh anda baca di mediasulut.

Nun di sana, di ruang entah peradaban. Di mana kita bercengkrama hujan. Di wanua, berita reformasi di tahun itu menjalarkan tarung antarkampung yang meninggi konstelasinya. Para muda dan berani ada di jalan-jalan, di lorong, di setapak, menjinjing alat perang. Para ‘panjaga’ seumpama nyata dalam tindak siap merenggut nyawa.

Jejak sungai, darah, lara, perkara, derita, ada di jalan ingatan. Hari ini, orang-orang boleh bersua dalam cerita. Media sosial menyambungkan seluruh dunia dalam hitungan detik. Siapa punya sorak, boleh kau baca dalam status-status.

Kembali ke wanua. Menaruh kenang, bumbu-bumbu dalam keranjang. Tungku, bara, adab, sistem lokal sistem negara. Hujan belum berhenti, walau anda dapat memprediksinya dengan melihat awan.

Sistem seumpama banjir, cuap-cuap meluap, lalu menguap. Seperti hujan akan berulang, demikian perkara Mei belum selesai. (*)