Thursday, April 25

Berjuang untuk Hari Cerah, Melawan Hantu Tertuduh


19 April 2022


Hantu yang dinarasikan sistem bisa siapa saja: PKI, Setan Gundul, ditunggangi Taliban, ditunggangi ISIS, teroris, pokoknya yang dianggap menghambat rezim, atau suatu gerakan kritik, dapat jadi tertuduh. Namun, gerakan sosial kaum muda akan selalu muncul di setiap zaman, meski dihambat dengan cara apa pun oleh penguasa…


Oleh: Linda Christanty
Penulis adalah penulis dan sastrawan
Editor: Parangsula


TEMAN-TEMAN tercinta, mungkin sebagian dari kalian sedang sibuk mengurus orangtua atau keluarga yang sakit. Mungkin sebagian lagi sedang beribadah menurut agamanya masing-masing. Mungkin sebagian lagi masih sibuk bekerja dan berada di jalan-jalan di berbagai tempat di mana pun. Tapi saya ingin berbagi cerita dan cerita ini bisa dibaca saat kalian ada waktu. Tidak harus hari ini membacanya, bisa besok atau lusa. Kita akan hidup seribu tahun lagi.

Belum lama ini seorang buzzer rezim dipukul massa dalam aksi protes pemuda dan rakyat terhadap kenaikan harga kebutuhan-kebutuhan pokok dan masa jabatan presiden tiga periode.

Di masa Orde Baru, cuak (intel) atau informan yang ketahuan oleh massa terkadang dikejar dan dipukuli beramai-ramai. Tentu saja, pelaku pemukulan bisa terkena jerat hukum pidana. Itu tindak kriminal. Tetapi tidak pernah terdengar di masa itu cuak atau informan yang dipukul melapor kepada polisi. Mungkin dianggapnya sudah risiko pekerjaan atau akibat ulahnya sendiri, orang-orang sedang melakukan aksi protes terhadap rezim, eh dia malah ikut aksi sebagai pendukung rezim.

Namanya juga cuak, ya harus kuat jiwa dan raga dalam mengabdi kepada junjungan.

Tentu saja, lebih banyak lagi pemuda dan warga yang dipukuli aparat, disiksa, atau bahkan, dihilangkan paksa akibat melakukan aksi-aksi protes melawan rezim berkuasa. Mereka itu adalah korban pelanggaran Hak-Hak Asasi Manusia.

Provokasi-provokasi terhadap massa juga sering dilakukan kaki tangan rezim untuk mengacaukan aksi dan mengubah isu. Semua orang mengetahui hal ini.

Pola pengalihan isu yang dilakukan rezim masa lalu dan masa kini untuk menghadapi tuntutan rakyat juga menarik diamati. Di masa Orde Baru, Syarwan Hamid dan konco-konconya — rata-rata sudah pindah ke alam baka — mengeluarkan pernyataan di koran atau televisi dengan menuduh aksi-aksi mahasiswa itu ‘telah ditunggangi PKI’ atau ‘telah disusupi PKI’.

Karena tuduhannya sama terus, PKI lagi PKI lagi. Suatu hari Soeharto yang mungkin merasa jenuh sendiri dengan kata ‘PKI’ dan ingin sesekali ada variasi lalu menuduh gerakan mahasiswa telah ditunggangi ‘Setan Gundul’. Setan menjadi tertuduh.

Kegundulan menjadi ciri yang dimusuhi rezim. Di masa kini, aksi pemuda dan rakyat yang memprotes rezim akan dituduh ‘ditunggangi Islam radikal’ atau ‘ditunggangi Taliban’ atau ‘ditunggangi ISIS’ atau ‘ditunggangi teroris. Silakan ditambahkan sendiri.

PKI yang dulu dijadikan momok nasional disebut ateis, tidak bertuhan. Sekarang momok nasional itu adalah sebuah agama.

Kawan saya Dwi ‘Lucas’ Hartanto berpendapat bahwa gerakan sosial kaum muda akan selalu muncul di setiap zaman, meski dihambat dengan cara apa pun oleh penguasa. Gerakan itu adalah respons terhadap keresahan umum dan pembelaan terhadap rakyat jelata. Pemicunya ketidakadilan.

Ketika kekuasaan dirasakan semakin semena-mena, kesenjangan sosial makin meluas, dan krisis ekonomi atau apa saja telah membuat orang makin sulit bertahan hidup.

Dia mengatakan, “Gerakan-gerakan itu dalam syarat-syarat tertentu selalu muncul, apakah lebih terprogram dan teroganisir, ataupun berupa respons-respons yang bersifat pragmatis-spontan terhadap isu-isu yang ada seperti aksi-aksi BEM beberapa waktu lalu. Semua gerakan itu harus didukung, karena menyuarakan apa yang dirasakan dan dialami rakyat.”

Kaum tua, seperti si buzzer itu, buzzer-buzzer pro status quo lainnya dan para oligarkh di setiap zaman ya pasti akan berusaha menghambat perubahan-perubahan sosial dan gerakan kritik yang bertujuan agar negeri ini lebih baik.

Apa yang baik untuk rakyat akan merugikan oligarki. Hutan-hutan dibabat untuk diambil kayunya oleh perusahaan kayu, tanah-tanah warga dirampas untuk dijadikan wilayah tambang atau kebun sawit perusahaan, dan banyak lagi. Inilah faktanya. Lagi-lagi ini menurut Lucas. Saya hanya notulen.

Gerakan-gerakan protes juga mengalami pasang-surut, tetapi kondisi tersebut bukan hal buruk, karena lagi-lagi merupakan respons dari kondisi yang ada.

Serangan-serangan masif terhadap kaum muda, anak-anak muda, atau pemuda yang berjuang itu, menurut Lucas, khas wacana kekerasan pascakolonial, yang di masa lalu justru diproduksi oleh para intelektual pro kolonial dan kemudian diadopsi serta dipraktikkan oleh ‘intelektual tukang’ di masa Orde Baru, lalu diadopsi dengan pemutakhiran oleh rezim ini.

Oh, oh, sungguh ngeri.

Hantu ‘Islam Radikal’ misalnya sengaja dinarasikan dan digemukkan untuk menutupi praktik kekuasaan yang compang-camping di sana sini, untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan-kegagalan pemerintah memperbaiki taraf hidup bangsa, kegagalan-kegagalan menegakkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia, kegagalan-kegagalan melawan korupsi — karena itu artinya melawan diri mereka sendiri, dan banyak lagi. Saya hanya menyalin kalimat-kalimat Lucas.

Di masa sekarang, saya kadang merindukan Romo Mangun, seorang rohaniawan, budayawan, dan sastrawan yang kritis dan berpihak kepada rakyat tertindas, juga seorang pendidik yang mengenalkan konsep tentang pendidikan pemerdekaan. Saya juga merindukan Pramoedya yang selalu menyandarkan harapan kepada pemuda atau kaum muda.

Tidak ada lagi orang-orang berani seperti mereka, yang tidak bisa disetir, diprovokasi, dan dimanipulasi oleh rezim dan buzzer-buzzernya. Ini adalah masa kegelapan. Semoga pemuda: mahasiswa, pelajar, dan kaum muda lainnya – dan rakyat tidak menyerah untuk memperjuangkan hari cerah atau terang untuk kita. (*)

1 Comment

Comments are closed.