Tuesday, April 30

Seabad Debat Einstein – Bergson


19 April 2022


April 1922 – April 2022


Oleh: Benni E. Matindas
Penulis adalah budayawan
Editor: Parangsula


PERDEBATAN paling akbar sepanjang waktu, debat tentang ‘waktu’. Perdebatan yang mempertaruhkan harkat ‘sains’ dan ‘filsafat’. Debat antara Albert Einstein dan Henri Bergson. Ilmuwan genius, penemu sederet hukum fisika modern, berhadapan langsung dengan filsuf paling berpengaruh sejagat masa itu.

Diskusi tentang hakikat ‘waktu’ yang membenturkan teori Bergson dan teori Einstein sudah ramai dan tajam sebelum hari-H debat itu, 06 April 1922 di Paris. Sampai-sampai ketika Einstein beberapa bulan sebelumnya dianugerahi hadiah Nobel bidang ilmu fisika tapi yang dinilai ‘hanya’ penemuannya tentang Hukum Efek Fotolistrik, justeru bukan teori terbesarnya yakni Hukum Relavitas yang mengenai ‘waktu’, semua kalangan langsung mengatakan bahwa para ahli fisika yang terlibat dalam penilaian untuk Nobel itu sudah digoyahkan oleh kritik dari Bergson terhadap teori ‘waktu-nya’ Einstein. Albert Einstein sendiri dalam orasinya pada malam penganugerahan Nobel itu mengatakan, “Bukan rahasia lagi bahwa filsuf terkenal Bergson di Paris telah menantang teori saya ini…”

Dapat dimaklumi, ide-ide filosofis Bergson memang sudah merasuk pelbagai lapisan masyarakat sedunia sejak seperempat abad terakhir, sejak bukunya ‘Waktu dan Kehendak Bebas’ terbit tahun 1889 dan disusul karya-karya berikutnya.

Sehingga ketika tahun 1905 Einstein mempublikasi teorinya tentang ‘waktu’ dalam esai ‘Relativitas Khusus’ itu, langsung dianggap seperti lalat yang mengusik macan tidur. Para filsuf penganut Bergson segera melayangkan tantangan kepada Einstein, ia diundang ke Paris untuk menjelaskan teorinya, di mana sang macan sudah menunggu!

Henri-Louis Bergson (1859-1941) memang amat diagungkan. Sejak masuk era modern belum pernah ada filsuf seperti dia, langsung dianut oleh kalangan sangat luas dengan penuh semangat, karena langsung merasuk, tidak seperti kebanyakan filsuf kontemporer yang menjadi sangat tersohor hanya karena kemajuan teknologi komunikasi dan semaraknya industri informasi walaupun filsafat mereka sangat sulit diterima bahkan terlalu sukar dipahami. Setiap buku Bergson langsung mengalami cetak ulang dan ulang terus, tidak sebagaimana lumrahnya karya pemikiran filsafat. Ketika Bergson diundang berceramah di Amerika Serikat, pengunjung tumpah-ruah, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah jalan raya Broadway terjadi macet total.

Sejumlah terminologi khas Bergson — seperti ‘élan vital’ — sangat gemar diandalkan dalam pidato banyak negarawan, termasuk Bung Karno di Indonesia. Sutan Sjahrir, politisi Indonesia yang kecerdasannya sampai melegenda itu, bahkan seutuhnya dirasuk Bergson. Sudah di tahun 1990-an, Begawan Ekonomi Prof. Sumitro Djojohadikusumo dengan bangga mengaku penganut permanent Bergsonisme.


‘Waktu’, menurut Bergson, bukanlah terutama seperti yang umum dimengerti berupa ruang statis abadi yang kemudian oleh manusia diberi tanda-tanda kronometer yang berkategori kuantitatif: detik, menit, jam, hari, bulan, dan seterusnya, untuk menandai semua gerak dan aktivitas yang ada dalam ruang itu. Waktu yang terutama dan terpenting ialah apa yang menurut Bergson memang adalah waktu real, durasi, yang baru terjadi bersama gerak atau peristiwa. Peristiwa dan gerak – termasuk gerak manusia dan peristiwa tindakan manusia – bukan sesuatu yang baru hendak diisi ke dalam ruang waktu yang sudah tersedia sejak keabadian sampai keabadian. Waktu real atau waktu murni ini tidak bisa terkategorikan secara kuantitatif, sebab ia bersifat murni kualitatif dan tidak ditentukan oleh spasialitas. Sebagai sesuatu yang bukan kuantitatif, waktu real tidak dapat dibagi-bagi atau dipotong-potong menjadi sejumlah kepingan atau sejumlah titik sebagaimana yang biasa kita lakukan terhadap ruang.

Waktu real adalah perubahan kualitatif, di dalamnya berlangsung ‘proses menjadi’. Sifatnya progresif abadi, keajekan adalah sifat yang terbentuk oleh progresivitas itu. Gerak yang menghasilkan ‘waktu’ itu tak lain adalah memanifestasinya ‘élan vital’, yakni daya hidup, vital impetus. Élan vital adalah dasar dan poros dari seluruh gerak alam semesta.

Tindakan kita yang berdasar ‘élan vital’ beserta intuisi itu jelas adalah sepenuhnya bebas, yang terbuktikan dengan antara lain sifat kreatifnya tindakan kita. Tindakan manusia niscaya bebas bila itu merupakan ekspresi dari kepribadian utuh kita yang di dalamnya ‘élan vital’ berperan. Bergson dengan tepatnya melukiskan kualitas kebebasan tersebut dengan hubungan antara seniman dan otentisitas karyanya. Hubungan yang pula menurut Bergson tidak selalu terjadi, hanya kadang kala, terutama pada seorang maestro seni yang menjalani proses kreatifnya dan kesenimanannya secara total utuh.


Filsafat Bergson bertolak dari penolakannya terhadap model pemikiran intelektual yang sudah mendominasi segenap atmosfer filsafat modern, model penalaran yang serba mekanistik, yang meniscayakan pengetahuan sebagai hasil analisis menjadi potongan-potongan yang harus berurutan kaku pada satu garis linear dalam hubungan kausalitas yang homogen ketat.

Bagi Bergson, itu sebetulnya hanyalah khayalan melantur yang diberi gaya sains. Yang sebenarnya, realitas hadir dan berlangsung berupa multiplisitas, serba-beragam, heterogen, yang saling tembus-menembus membentuk kesatuan dan keserentakan. Sedangkan keping-keping keterpotongan yang lantas tersusun berurutan kaku itu – yang kalau pun keping-keping itu dapat terkumpul ‘lengkap’ tetap masih memiliki cacat mendasar – karena tidak meliputi pokok-pokok yang justru mendasar, dan yang terpenting yakni waktu real dan dimensi kualitas, itu hanya terjadi sebagai keharusan lantaran keterbatasan dan serba sempitnya nalar ilmiah mengandalkan analisis yang membekukan realitas.

Akibatnya, pengenalan serta pengetahuan manusia sebetulnya harus seperti yang diungkap oleh Zeno dari Elea pada abad 5 SM: realitas dipecah serta dipisah menjadi potongan-potongan yang kemudian diurut kaku di atas satu garis, jauh dari lengkap, jauh dari benar. Padahal realitas serba dinamis, cair, bahkan sering berlangsung dalam kreativitas yang menerjang-terjang dengan lompatan-lompatan tanpa arah yang sudah digariskan.

Penegasian oleh Bergson terhadap sistem filsafat yang hanya mengandalkan intelek — penalaran rasional ‘ilmiah’ yang konvensional, sehingga hasilnya sempit, hanya terikat pada ruang, serba mekanistis, homogen, hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat kuantitatif — itu ia perkokoh dengan upaya positifnya berupa pengandalan pada metode intuisi dan daya hidup.

Bergson menista pengetahuan filosofis yang hanya mengandalkan intelektualitas itu dengan terminologi ejekan realité-superficielle, cuma mengenai realitas dangkal, cuma di kulit permukaan, yang ia lawankan dengan filsafat pengetahuan yang mengandalkan intuisi yang mencapai realité-profonde atau realitas mendalam.

Filsafat Bergson langsung menginvasi serta memformat sistem nalar dari sedemikian banyak ilmuwan dalam sedemikian beragam disiplin sains. Terlebih lagi dalam bidang filsafat, juga filsafat seni, dan tentu saja dunia susastra – di mana Bergson sampai dianugerahi Nobel. Kesemuanya itu seakan membentuk sebuah mazhab yang mirip gelombang air bah sangat besar yang membanjir masuk ke dalam pelbagai bidang, membentuk para filsuf, ilmuwan, sastrawan, seniman, teolog, politisi, antropolog, sosiolog, psikolog, dan lain-lain, dan semuanya menjadi eksponen Bergsonisme yang penuh gelora: Alfred North Whitehead, William James, Jacques Maritain, Gabriel Marcel, Emmanuel Levinas, Jean-Paul Sartre, Maurice Merleau-Ponty, Gilles Deleuze, Liang Shu-ming, Émile Bréhier, Vladimir Jankélévitch, Michel Aflaq, Guy Debord, Emmanuel Mounier, Anna-Teresa Tymieniecka, Alfred Schutz, Edouard Le Roy, Jean Piaget, Virginia Woolf, T.S. Elliot, George Bernard Shaw, William Faulkner, Gertrude Stein, Nikos Kazantzakis, Marcel Proust, Wyndham Lewis, Robert Lee Frost, Ahmet Necip Fazil Kisakürek, Henry Miller, Vladimir Nobokov.

Sebetulnya masih banyak lagi pemikir besar yang membangun gagasan besar mereka dengan bertumpu pada Bergson. Heidegger, misalnya.

Bahkan Husserl. Meski mereka tak seperti Merleu-Ponty yang terbuka mengaku, atau seperti Sartre yang bahkan mengaku mulai berminat pada filsafat karena membaca buku Bergson. Gelombang besar Bergson mengalir ke semua benua, dan ke semua kutub politik.

Di anak benua selatan Asia, Jawaharlal Nehru dan Mohammad Iqbal yang kendati berbeda haluan dalam keyakinan dan politik, sama menyerap Bergson. Di Indonesia, Presiden Sukarno dan Sutan Sjahrir beserta ekonom Prof. Soemitro Djojohadikusumo yang kendati berbeda haluan ideologi dan politik, sama menyerap dan mengandalkan teori Bergson.

Tetapi yang ditantang Bergson bukan pemikir biasa. Albert Einstein (1879-1955), oleh banyak ahli sejarah peradaban, dihitung sebagai satu dari beberapa makhluk dengan daya pikir paling perkasa yang pernah lahir di planet kita. Dikatakan, taraf kecerdasan Einstein hanya dapat dijajarkan dengan Aristoteles dan Pascal.

Sejak 1905, mulai usia 26, Einstein mempublikasi bertubi-tubi sejumlah penemuan hukum fisikanya yang serba dahsyat, semuanya mengenai dasar-dasar hakiki alam raya ini. Dan semenjak itu, seluruh sejarah perkembangan science yang paling signifikan tidak lebih dari rangkaian kisah gemilang pembuktian kebenaran ide-ide Einstein.

Selasatunya baru terjadi belum lama ini, yakni terbuktinya teori Einstein tentang gelombang gravitasi yang bahkan dapat dicerap secara langsung. Bahkan pula, selasatu temuan lainnya, yakni yang membawanya pada anugerah Nobel, yaitu Hukum Efek Fotolistrik yang sempat menimbulkan tanda tanya di banyak kalangan mengapa bukan teori-teori temuannya yang lebih spektakuler, ternyata kemudian adalah rintisan penyempurnaan yang paling menentukan bagi teori yang justru jauh lebih dahsyat lagi, yaitu Teori Quantum. Bahkan pula, karena sedemikian pentingnya Hukum Efek Fotoelektrik itu sehingga Robert Milikan, fisikawan Amerika yang semula menilai remeh temuan Einstein tersebut dan selama sepuluh tahun melakukan penelitian untuk membuktikan bahwa itu keliru, justru sampai dianugerahi Nobel karena jasanya membuktikan bahwa teori Einstein ini benar. Cahaya adalah, selain gelombang, aliran partikel.

Relativitas Einstein, sederhananya: Ukuran waktu kecepatan gerak setiap benda tergantung pada masing-masing pengamat, dan siapapun atau apapun boleh memposisikan diri sebagai pengamat yang tak bergerak untuk bisa menjadi patokan pengukuran kecepatan gerakan. Walau tak bergerak atau diam itu cuma ilusi, karena tak mungkin, karena segala sesuatu berada dalam proses, berada dalam gerakan.

Berkenaan dengan pengamat yang bergerak, kecepatan geraknya akan dijumlahkan atau diselisihkan dengan kecepatan benda yang diamatinya (sesuai teori Newton). Tetapi dalam hal benda yang diamati itu adalah cahaya, dan kecepatan cahaya (menurut teori Maxwell) konstan adanya, hasil pengukurannya pun pasti konstan.

Inilah luar-biasanya Einstein, ketika teori Maxwell yang kendati seorang new-comer bertabrakan dengan Newton yang sudah selama dua abad dipuja setara dewa, Einstein tak hanyut dalam opini umum yang condong menyalahkan Maxwell, kendati bahkan Maxwell sendiri sempat bimbang mengingat teori Newton yang sudah ditakzimi kewibawaannya setara kitab suci. Tapi juga, di saat yang sama, teori umum Maxwell tentang cahaya ditepiskan Einstein, dan mengukuhkan pandangan dunia Newton.

Penemuan teori Relativitas Khusus dan kemudian Relativitas Umum oleh Einstein itu langsung merombak pandangan dunia tentang gerak, ruang, masa dan massa. Bersama dengan entitas-entitas mudasir itu, diungkap pula hakikat cahaya, materi, energi, juga gravitasi — penjelasan tentang gravitasi yang lebih mumpuni sekaligus lebih sempurna daripada Newton — lebih tepatnya: sistem Newton dihisab ke dalam struktur Einstein.

Dalam teori Einstein, masa atau waktu tak dipisah dari ruang, menjadi ruang-waktu. Ruang harus terdiri dari empat dimensi, di mana ‘waktu’ merupakan dimensi pasti yang keempat. Segala sesuatu dalam alam ini relatif dalam konteksnya yang ditatap oleh setiap orang dari masing-masing posisinya.

Segala sesuatu di alam ini, kata Einstein, adalah mutlak memiliki massa yang relatif karena berubah di dalam setiap gerak serta kecepatannya. Tiada sesuatu apapun di alam semesta ini, tak kecuali ruang dan waktu pada setiap status tertentunya, yang bisa dijadikan acuan paling benar atau patokan tetap dari segala-gala untuk kita bisa menetapkan massa yang sebenarnya dari suatu obyek. Setiap orang sah sebagai penatap yang menganggap dirinya diam sementara segala sesuatu di sekitarnya bergerak.

Dunia tanpa pusat, setiap sesuatu dapat menjadi pusat.

Di atas setting ini, dengan ‘dihiasi’ sederet persamaan matematika, Einstein melukis peta yang paling akurat-adequat tentang sejarah alam semesta dan sekaligus masa depan beserta akhir riwayat semesta. Di dalamnya ada tambahan ‘hiasan-hiasan’ istimewa, tepatnya: bonus-bonus yang teramat dahsyat, yakni pemanfaatan energi nuklir, explorasi ruang angkasa luar, radar, sinar laser, jam atomic, dan seterusnya, yang dikembangkan dari implikasi-implikasi teoretis beserta aplikasi teknologisnya.

Lalu apa dari pandangan Einstein tentang ‘waktu’ yang tak terbantahkan itu yang membuat Bergson harus naik pitam? Di mana sesungguhnya titik bentur dari teori mereka tentang waktu? Inilah yang sampai hari ini banyak ahli sudah salah kaprah.

Inilah penjelasan sebenarnya perdebatan itu (dalam garis besar):

Pertama, Einstein hanya, sebagaimana diminta pihak pengundang dan penantang, menjelaskan Teori Relativitas-nya yang di dalamnya berbicara tentang ruang-waktu.

Kedua, penjelasan Einstein itu, bagi Bergson membawa rasa dongkol, karena yang dibicarakan adalah sebuah dunia sangat luas, mencakup atau pasti bisa mencakup segala sesuatu, dan ditopang struktur-struktur logika serba kokoh dan dengan bukti-bukti tiada terbantahkan, tapi sama sekali tidak menyentuh apalagi mencakup ‘waktu-nya’ Bergson.

Jadi, ada sebuah dunia, dunia yang real, yang realitasnya diakui sendiri oleh Bergson, tetapi dalam dunia itu teori Bergson sendiri tidak ada.

Teori Bergson tidak relevan dalam dunia realitas. Teorinya tidak masuk hitungan. Maka, bagaimana mungkin ia tak naik pitam?! Padahal model teori seperti Einstein inilah yang dalam sistem filsafat Bergson digolongkan dalam kutukan sebagai ‘realité superficielle’ alias cuma mengenai realitas dangkal.

Ketiga, Einstein masih sempat dengan sabar menjelaskan bahwa hanya ada dua penjelasan yang mendalam tentang ‘waktu’: fisiologis dan psikologis. Dirinya termasuk pada yang pertama, waktu-fisika, sedang Bergson pada yang terakhir, waktu-psikologi. Dua jenis ini tak bisa terdamaikan.

Keempat, Bergson selanjutnya jadi serba salah: ia menuding Einstein berteori di atas dasar filsafat yang salah, tapi ia juga menuntut Einstein harus melihat kemungkinan kebenaran teori waktu filosofis.

Dengan tudingan pertama ia mengakui Einstein bekerja atas dasar filsafat; dan itu benar, Einstein yang keliru jika tak mengakui kefilsafatan teorinya, sesungguhnya ia sedang menerapkan meta-fisika Aristotelian.

Bergson menuntut, sesuai teorinya tentang ‘waktu’, waktu filosofis, yang lebih dalam, yang menurutnya justru adalah waktu real.

Kelima, tapi Einstein yang sudah habis sabar, langsung menembakkan mortir pamungkas: ‘Waktu’ dari para filsuf itu tidak ada!

Keenam, statement pamungkas Einstein itu jelas tidak betul. Teori Relativitasnya itu sendiri jelas adalah buah dari praktik filsafat, tepatnya filsafat alam atau meta-fisika dalam arti seluasnya.

Ketujuh. Sebaliknya Bergson, jika saja tak terlanjur naik pitam, ia akan bisa dengan jernih melihat keselarasan antara teorinya dan teori Einstein. Misalnya teori tentang jam-atomic — bahwa bahkan atom-atom secara individual dapat menjadi penentu waktu karena memiliki frekuensinya masing-masing — apa bedanya dengan waktu sebagai durasi yang dicipta oleh tindakan manusia kreatif-nya Bergson?

Bahkan penjelasan Einstein tentang waktu dalam teori relativitas pun, bahwa waktu relatif, jelas adalah waktu yang bukan tentang rentang keabadian yang di dalamnya para subyek pengamat ataupun atom-atom hanya bisa berfungsi sebatas pemberi notasi jarak tempuh alias waktu-arloji.

Kedelapan. Gara-gara sudah terlanjur emosional pula sehingga Bergson tidak tepat menilai ‘waktu psikologi’, dinilai sebagai sesuatu lebih rendah dibanding yang ia sebut ‘waktu filsafat’. Waktu psikologi, sebagaimana dalam teori Bergson – yang dengan tepat dikonstatasi oleh Einstein, itu real dan penting dibutuhkan. Banyak filsuf kemudian — Heidegger, Virginia Woolf, Hannah Arendt, dan sebagainya, mengakui kebenaran teori Bergson itu, dan mengandalkannya.

Tapi, terlepas dari kebenaran teori kreativitas Bergson yang berimplikasi pada ‘waktu’, maupun teori gerak Einstein yang berimplikasi mengenai ‘waktu’, waktu sebagai keabadian bukanlah tiada. Ia bahkan ada jikapun ruang tak ada — walau tentu saja keduanya tak mungkin tiada. Tak mungkin ada ruang yang di dalamnya tiada ruang, tak mungkin ada waktu yang tak memberi waktu untuk berjalannya segala waktu.

Bagaimanapun, debat akbar ini telah berakhir dengan Bergson ternilai kalah, bahkan seperti terpental jauh. Tapi, justru di kalangan ahli fisika, banyak yang menilai pemikiran Bergson mengandung sejumlah kebenaran sangat penting.

Kemudian, dan sampai sekarang, sejumlah buku sudah ditulis mengenai perdebatan itu, hampir semua isinya adalah simpati besar ke pihak pemikiran Bergson.

Einstein dan Bergson, kemudian pada sisa usia mereka, sama bergiat dalam gerakan pro-perdamaian dunia. Tapi di sini pun justru simpati kian membesar bagi Bergson. Karena khalayak membandingkan: Einstein hanya aktif – berduet dengan Bertrand Russell – dalam sedikit tahun menjelang wafatnya, dan hanya berupa pernyataan-pernyataan public-expose, juga hanya semacam tebus-dosa lantaran usulannya kepada Presiden USA untuk menerapkan teorinya yang menghasilkan bom nuklir, pencabut nyawa ratusan ribu manusia hanya dalam tempo sekejap, dan sampai hari ini terus berlomba-lomba diproduksi dengan taruhan bukan saja punahnya spesies manusia melainkan pula seluruh biosfer.

Sedangkan Bergson, sejak akhir Perang Dunia Pertama terjun langsung melalui lembaga-lembaga internasional seperti Liga Bangsa-Bangsa. Dan tidak sampai di situ saja, pengalaman serta refleksinya selama dalam kegiatan ini membuahkan teorinya tentang etika untuk kemanusiaan universal — karya yang menjadi rujukan terpenting sampai sekarang — [semua analisis yang beredar bila terjadi konflik bernuansa SARA itu niscaya frasa-frasa dari karya Bergson tersebut].

Bagaimana sejatinya filsafat Henri Bergson? Dan di mana sebenarnya letak kekurangannya? Baca buku ‘Hakikat Etika’ – Penerbit: Pohon Cahaya, 2022. (*)