
23 Februari 2025
Gambar yang sementara anda simak di atas itu adalah ciptaan artificial intelligence, dikreasi mesin cerdas tersebut hanya dalam hitungan detik…
Oleh: Denni Pinontoan
Penulis adalah penulis
Mengajar di IAKN Manado
Editor: Dera Liar Alam
TEKNOLOGI AI sedang membuka segala-galanya, pun yang dulunya disimpan rapat atas nama kebenaran agama dan nasionalisme. Demokrasi yang mengagungkan kebebasan dan keterbukaan, tampaknya juga sedang kewalahan. Teknologi AI juga mungkin sedang mendesentralisasi secara radikal apa yang dulunya harus terpusat.
Mari kita amati, misalnya media sosial. Apa yang dulu di zaman TVRI dan RRI harus berbahasa Indonesia yang baik dan benar demi tegaknya bahasa nasional sebagai salah satu instrumen nasionalisme, di era kini, dengan menggunakan gambar atau video buatan AI, para konten kreator di Indonesia misalnya, justru dengan santainya berbicara dalam bahasa atau dialek kampungnya.
Pengetahuan semakin mudah diperoleh. Seorang dosen di depan kelas, baru berbicara beberapa kalimat untuk menjelaskan satu teori yang dipelajarinya dengan membaca buku beratus-ratus halaman, para mahasiswa justru sedang sibuk dengan chatGPT, Gemini, meta, dan lain-lain untuk menemukan teori yang merevisi teori yang sedang dijelaskan oleh dosen mereka. Si dosen hanya bisa membaca literatur bahasa Inggris (dan membuat dia menjadi sombong dan angkuh), eh para mahasiswa yang kreatif dapat membaca literatur yang sama tapi dalam bahasa aslinya, entah Jerman, Belanda atau Perancis dengan bantuan teknologi AI.
Bisa jadi, hal seperti itu jadi cara untuk memerdekakan pengetahuan dari kekuasaan ilmuwan elit yang mengendalikan pasar ilmu pengetahuan.
Pemerintah menjelaskan alasan efisiensi anggaran dengan tidak terlalu jelas, eh para netizen membaca dan melakukan analisa sendiri terhadap banyak sumber bacaan, lalu menemukan informasi atau data yang membuat dia berkesimpulan, bahwa mesti yang dilakukan pemerintah begini, atau begitu. Sekali para netizen memposting kesimpulannya, maka munculah gerakan massa menentang kebijakan pemerintah.
Demokrasi yang dulunya setengah-setengah: setengah bebas, setengah terbuka, setengah adil, setengah setara, kini berhadapan dengan teknologi yang benar-benar ingin masyarakat bebas, terbuka, adil dalam hal akses informasi yang sebenar-benarnya, dll.
Lalu, demokrasi dengan mekanisme pemilunya untuk memilih perwakilan dari orang-orang tertentu, lama-kelamaan tidak lagi relevan jika massa netizen lebih memiliki pengaruh dalam pemerintah menentukan kebijakan. Kalau pun pemerintah cuek, maka kritik, protes dan gugatan akan terus berseliweran di media sosial, dengan bantuan teknologi AI gerakan dunia maya itu akan semakin kuat.
Demikianlah, negara, demokrasi, apalagi nasionalisme yang semakin terasa kuno itu, tampaknya memang sedang kewalahan dengan teknologi AI. Mengapa?
Teknologi AI berbeda dengan bermacam-macam teknologi yang dikembangkan oleh manusia sebelumnya. Misalnya, penemuan mesin cetak memberi dampak pengembangan ilmu pengetahuan, dalam hal dokumentasi dan penyebarluasan. Teknologi transportasi (sepeda motor, mobil, kereta api, pesawat, kapal laut) membantu mempercepat mobilisasi manusia dalam mengumpulkan informasi untuk ilmu pengetahuan. Tapi, teknologi AI memang didesain untuk memiliki kemampuan bernalar seperti manusia, atau, bahkan ada hasrat untuk melampauinya.
Dengan demikian, AI tidak hanya sebagai alat. Ia akan menjadi, bukan hanya mitra tapi juga ‘saingan’ manusia. Bukan tidak mungkin, dan tampaknya sedang terjadi sekarang, demokrasi akhirnya akan benar-benar terdekonstruksi. Bukan lagi kekuasaan dari rakyat – yang sejatinya tidak pernah mewujud – yang akan disebut-sebut, tapi kekuasaan dari mesin pinter. Pemerintahan dari, oleh dan untuk mesin. Tapi, bisa juga sintesa dari semua ini adalah munculnya sebuah bentuk atau model pemerintahan yang seperti mulanya: tidak tunggal, masing-masing negara memilih dan menentukan model dan caranya masing-masing. (*)