Friday, July 26

Altar Semesta Kabut


22 Januari 2023


Nun di sana,
Nanti,
Dini hari datang lagi…
Manakala doa-doa mengembara di altar semesta nan senyap
Lalu kabut perlahan pudar…

Alor Street – Kuala Lumpur, 2012


Oleh: Daniel Kaligis


Gambar: Telaga tua berkabut di lereng Pangalombian


SESEORANG di ruang kedatangan, “Di sini, saya di sini,” kata Pemetik Uke, ukulele. Bersalam jabat erat pelukan, pipi ketemu pipi. Telah tiba dan telepon berdering, panggilan dari seberang, “Tunggu di situ jo ngana, torang so menuju, so dekat bandara,” kata Pemuja Kabut. Iya, saya akan menunggu depan halte, sebagaimana permintaan dia.

Masih di ruang kedatangan, dan masih berdua. Pemetik Uke dan saya melanjutkan kisah perisai, maar, stratovulkano, dst, sambil menunggu Pemuja Kabut. “Begini,” katanya. Mulai dari tanah seberang, ada terminologi ‘Mauna Loa’, orang-orang Hawaii bilang itu pegunungan panjang. Begitu pengertiannya dari bahasa mereka. Mauna Loa satu dari lima gunung berapi yang membentuk pulau Hawaii di Samudera Pasifik. Pegunungan itu diteliti dan dicatat telah pernah erupsi sekitar tujuh ratus ribu tahun silam. Areanya menyelimuti hampir setengah Pulau Hawaii, membentang sepanjang 120 kilometer, luas sekitar 5.270 kilometer bujur sangkar. Mauna Loa kedua terluas di bumi sesudah Tamu Massif di barat laut Samudera Pasifik.

Terdiam. “Apa yang kamu suka dari obrolan Mauna Loa, perisai, maar, stratovulkano,” tanya saya membuyarkan lamunan Pemetik Uke. “Kabut,” jawab Pemetik Uke cepat. Tangannya merogoh tas, menggeluarkan tissue, kemudian membasuh wajahnya yang mulai berkeringat. Ajak minum. Mengeja sajak, matahari di langit bergerigi, noktah kabut berseliweran hamburkan kelabu, jingga, lalu ungu tua, laksana warna di dasar samudera.

Menerawang dia, Pemetik Uke. “Ingat ‘morpho rhetenor helena morphine’, terkenang jalan angin badai. Suka dengan quotes Jonathan Lockwood Huie yang bilang bahwa terkadang kita membutuhkan kabut untuk mengingatkan diri sendiri bahwa semua kehidupan tidak hitam dan putih.”

Hmmn. Mengingat, skeptis, membuang langkah mendekat dan bertanya saya, “Jonathan Lockwood Huie, siapa dia?” Ringkas dikomentari Pemetik Uke, “Dia penulis. Nanti, bila bersua Pemuja Kabut, kalian akan bicara segala macam tentang kabut.”

Pemetik Uke bersemangat sekali, “Itu dia, mobil mereka sudah kelihatan. Saya ke dalam, sudah checkin, tinggal angkat ransel, berangkat. Salam hormat voor Pemuja Kabut.” Bergegas dia memamerkan senyum lebar lalu hilang di keramaian.

Ahk, morpho rhetenor helena morphine itu cerita lama sekali. Membathin saya. Cerita penghuni rimba yang jatuh cinta. Ya, itu dia morpho rhetenor helena morphine. Diskusi tajam, merekam wajah kering pucat di bawah bayang lampu jalan tengah ibukota negara. “Eh, nae jo,” teriak Pemuja Kabut. Kemudian debat seru bersambut sambil melaju tinggalkan gate. Kami berdua saja dalam mobil sepanjang jalan menuju wanua. Di sana altar kabut itu real, dan kekal.

Dalam mobil sang Pemuja Kabut, pikiran saya masih menggelayut. Hari seperti tanggal yang sekarang mengunggah foto perjalanan di Orchard Rd. Orang-orang berdandan tentara Roma dan rombongannya dengan berbagai atribut, menyeruak dari kota penuh cahaya namun berkabut. Mereka berkeliling, memasuki pusat-pusat perbelanjaan, menyibak kerumunan di selasatu pusat bisnis di Asia dan menyerukan damai. Saya menera resume untuk kegiatan itu, “Christmas on Orchard promises to be an extremely festive affair and there will be a wide variety of activities and performances taking place throughout the season.” Iya. Itu gambar yang ditera sesuai tanggal hari ini, 22 Januari bertahun lalu. Membayangkan damai sepanjang musim, walau hidup senantiasa diliputi kabut persoalan, pertikaian, dan iri hati yang tak pernah berhenti.

Ketika itu, di Orchard hari hampir tengah malam, saya baru tiba dari Kuala Lumpur. Linknya boleh lihat di halaman sosial media saya: yang ini dan di sini.

Kenang selalu berulang. Waktu dalam ingatan seperti hadir dan bersulang sesama teman.

Dalam trip kami itu, Pemuja Kabut mengulang kata-kata orang di wanua tentang Mahawu, gunung yang di kakinya ada hutan, huma, pemukiman dan sawah. “Sejuk kekal di sana. Bikin adem suasana,” urai Pemuja Kabut. Global Volcanism Program – Smithsonian Institution dan beberapa sumber menyebut Mahawu pernah meletus tahun 1789. Berikutnya medio 1994 dan 1999, mengeluarkan letupan lumpur fumarol dan aktivitas geiser terjadi sepanjang danau kawah kehijau-hijauan.

Saya bilang, dulu, sering ke Mahawu. Dari Pasar Extreme Tomohon berjalan tidak terlalu jauh, kita dapat meraih lokasinya. Disebut, meski sekarang sudah tidak pernah erupsi, aroma belerang masih tercium di sekitar situ. Kawahnya bertanah, berbatu klastik, ada sedikit perdu dan rerumputnya tampak penuh misteri. Di sana, ambang pagi membaui aroma belantara. Embun di rumput berpindah ke kaki yang bergegas di setapak. Terompet Mapalus — yakni suara pemanggil yang mengajak orang-orang di wanua untuk bergegas bangun dan kerja bersama — terdengar dari kejauhan.

Kabut, pernah dalam ingatan orang-orang di sana diucap sebagai ‘maha’, boleh jadi ‘mbaha’ atau api yang membara berkobar. Mahawu seusia bumi, sama dengan Mauna Loa di Samudera Pasifik, ratusan ribu tahun sudah eksis dan kemudian jadi cerita. Perjalanan, waktu, menemu hue tak pernah sama dari waktu ke waktu, inilah yang bikin surga kaya warna dan cinta.

Lebih enam puluh menit menerobos macet dari port, kami – Pemuja Kabut dan saya – telah tiba di pegunungan. Kabut ada di mana-mana, karena senja telah turun di tanah permai. Di sini, di wanua, altar semesta kabut. Dari sini leluasa memandang Lokon dan Soputan, dua gunung-gunung yang dipuja di negeri kami. Wawo lebih dekat, juga Pangalombian, deretan bukit berkabut tersambung Lahendong. Ladang jagung dan lokasi berburu para tetua ada di sana dan di sekitarnya.

Seperempat masa edar hitungan Gregorian di 2012, datang di altar kabut, fotonya saya taruh di atas sana. Menyambungkan teks-teks yang ditenun Pemetik Uke dan kenang perjalanan manakala di Orchard bertahun lalu: Damai sepanjang musim, walau hidup senantiasa diliputi kabut persoalan, pertikaian, dan iri hati yang tak pernah berhenti. Setuju dengan Jonathan Lockwood Huie yang menyebut bahwa terkadang kita membutuhkan kabut untuk mengingatkan diri sendiri bahwa semua kehidupan tidak hitam dan putih.

Selamat merayakan Tahun Baru Lunar yang tiba hari ini. Teruslah berdamai dengan sesama. Demikian. (*)