10 April 2023
Situs-situs mungkin saja ada yang dirombak-punahkan manusia, diganti sesuai peruntukan kebutuhan, keinginan, nafsu, nafsi. Namun, goroho tetap tumbuh, dikonsumsi sebagai kenikmatan…
Oleh: Daniel Kaligis
Editor: Rikson Karundeng
REGHES leos itu angin sejuk segar, kabar berita menggembirakan. Begitu reghes membahana, menebar aroma, membawa sejuk. Di meja, ada cangkir-cangkir, ada sejumlah hidangan. Tatakan oval seukuran piring terbuat dari anyaman bambu dan rotan beralas kertas kraft untuk alas makanan, di atasnya kripik goroho. Ada lagi gorengan tipis-tebal, dipotong kotak berbaku goroho, wanginya membuat tangan refleks merogoh isi sajian di tatakan.
Jos, Eden, Anastasia, Gerald, Rikson, Rinto, Reinard, dan saya. Duduk melingkar, kami di gazebo beratap rumbia. Memandang gunung, pepohon, bunga-bunga liar, tawaang, langit, samudera dan pulau-pulau ada di seberang, di Kimuwu.
Kawan-kawan duduk berkelompok. Tamu-tamu berfoto, memesan penganan, santai dalam bincangnya masing-masing. O, iya. Mari kita ulangi. Reghes leos itu berarti kabar baik, aroma nan wangi, angin yang menghantar sejuk segar ke badan dan jiwa.
Di ruang lain, depan tungku. Tuamabo mengupas goroho, mengiris seturut perasanan, tipis tebal. Lalu, lengan lincahnya memindah goroho yang sudah siap ke penggorengan. Api menyala, ditunggu. Tangan cekatan masih membersihkan, mengupas, seraya menjaga. Tunggu gorengan menguning cerah merona, diangkat dan siap disajikan.
Tuamabo itu ingatan tentang lelaki yang menggoreng pisang, saya menyebutnya begitu. Sambil mengunyah goroho mengenang legenda. Ratusan zaman silam, dewa dewi pemberi hidup telah turun ke bumi membawa ramuan penyembuh, pula menabur benih-benih. Angin badai mendesau dari timur, benih-benih berhamburan, ucap deras hujan musim tanam, dewa dewi mampir di Kimuwu, hinggap di bebatu Marengke. Mantera sudah genap, tangan terentang dikepal, ancang-ancang diangkat naik turun. Telapak mengencang di depan dada, genus Musa famili Musaceae dihembus berhamburan sekitar lereng, menembus kabut manakala separuh semesta bergerimis.
Dikultivasi sejak 10.000 Tahun silam
Jenis Musa acuminafe, sp, yakni goroho, telah lama terdomestikasi. Tercatat sudah dikutivasi lebih dari sepuluh ribu tahun silam. Diketahui goroho mengandung antioksidan, indeks glikemik goroho diduga rendah, sangat cocok sebagai makanan pengganti bagi pengidap diabetes mellitus.
Di buku ‘Penyakit dan Hama Penting pada Tanaman Pisang’ ditulis Prof. Dr. Ir. Ika Rochdjatun Sastrahidayat, 2015, disebutkan yang mana pisang adalah tanaman lokal di kawasan Asia Tenggara sebagian besar berpusat di wilayah Indonesia. Sejak lima ratus tahun sebelum Masehi, pisang telah menyebar hingga ke Pulau Madagaskar. Sedangkan wilayah Afrika lainnya telah mengenal dan membudidayakan pisang sejak seribu tahun sebelum Masehi. Pada masa yang sama, Hawaii telah mengenal dan membudidayakan pisang melalui pengiriman dari Kepulauan Canaria.
Sekali waktu para dewa dewi turun ke bumi, mereka mengonsumsi goroho. Sampai sekarang goroho masih sedap dan berguna bagi manusia.
Di Padie’s Kimuwu, sambil menikmati kripik goroho, saya bilang ke Reinard, Rikson, Bode, dan kawan lainnya, bahwa, buah pisang goroho itu, sedari bakal pisang, muda, hingga siap dikonsumsi, warnanya tetap hijau. Rikson menimpali, “Lembar daun pisang melambangkan karakter orang-orang di wanua. Senantiasa terbuka dan transparan bagi siapa saja yang datang dengan niat baik,” ujar dia, ketika kami berdiskusi, 19 Januari 2022, silam.
Di wanua saya, goroho disebut sebagai ‘mara’ambas’, artinya ‘berjatuhan’. Jenis buah pisang ini memang sampai matang dan berjatuhan, warnanya senantiasa hijau, cerah, dan berguna. Bila matang, boleh langsung dimakan, ada yang berselera membakarnya lebih dulu, ada yang merebusnya, ada yang menggorengnya. Begitu adanya.
Pisang ada di mana-mana, goroho soal lain lagi, buah ini merupakan persilangan Musa balbisiana dan Musa acuminata. Diketahui Musa balbisiana adalah spesies pisang liar berbiji, hasil persilangannya yang dapat dimakan. Goroho memang unik dan ‘mungkin’ hanya ada di Minahasa, Manado, dan di Sulawesi. Litbang Pertanian Sulawesi Utara di situsnya menyatakan goroho sebagai sumber makanan masyarakat setempat sejak zaman nenek moyang dahulu. “Goroho merupakan tanaman khas dari daerah Sulawesi Utara memiliki banyak kegunaan serta memiliki kandungan kimia beragam dan baik untuk kesehatan.” Data itu ditulis bersama oleh Sudarti, Arnold C. Turang, dan Joula M. Sondakh.
Cukup banyak tempat nongkrong yang menyediakan jajanan berbahan baku goroho di kota Manado dan seputar Minahasa.
Di warung-warung gorengan di sisi timur Taman Kota Tomohon, saya bersua penjual gorengan goroho. Di suatu titik ada tiga perempuan saling bantu aktivitas menjual gorengan goroho. Hitma memanggil pelanggan, Tasya, mengupas goroho, Gebby memotong dan menggoreng baku yang sudah disiapkan Tasya. Etalase kaca, di situ goroho dan sejumlah gorengan ditaruh. Hitma memandangi orang-orang yang melintas, seraya menawarkan gandarannya. “Gorengan jo, paket jo,” ujarnya, memanggil supaya ada yang singgah dan membeli.
Hitma, perempuan dari Sumatera Utara, bilang bahwa goroho tidak ada di daerahnya. “Goroho khas daerah ini, tidak ada di tempat kami.” Pernyataan Hitma didukung Tasya Sitepu, “Iya, tak ada goroho di Sumatera,” ujar mahasiswi asal Brastagi yang berkuliah di Universitas Negeri Manado itu. Gebby berasal dari Ambon, Maluku. Dia bilang, “Goroho tidak ada di Ambon.” Seperti Hitma dan Tasya, Gebby berkuliah di Universitas Negeri Manado. Goroho, bernilai ekonomis bagi ketiga perempuan itu.
Saya menemu goroho di luar Sulawesi Utara. Di Pasar Sawah, di Makassar, ada goroho pada hari-hari tentu pada pertengahan minggu. Penjualnya selalu menawarkan kepada saya, “Satu sisir dua puluh ribu,” kata perempuan berusia sekitar 60-an itu. Dia mengerti, saya dari jazirah utara, dan doyan goroho. Saya membelinya untuk direbus, enak. Bila bersua buah lebih besar dan terlihat subur, justeru rasanya tak semanis buah berukuran normal.
Pisang tergolong tumbuhan ‘terna’, yakni tumbuhan yang batangnya lunak dan tidak membentuk kayu. Pisang goroho, sebagaimana ditulis di situs Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara, buah itu berkhasiat bagi ibu hamil, untuk mengobati penyakit usus dan perut, luka bakar, bagi kecantikan, menekan diabetes melitus, menolong pada pendarahan rahim, merapatkan vagina, ambein, cacar air, tenggorokan bengkak, sakit kuning atau lever.
Tercatat di Britannica, pisang atau disebut juga Musa adalah salah satu dari dua atau tiga genera di keluarga Musaceae. Genus ini termasuk tanaman berbunga yang menghasilkan pisang dan pisang raja yang dapat dimakan. Sekitar lima puluh spesies Musa diketahui, dengan beragam kegunaan. Meskipun mereka tumbuh setinggi pohon, tanaman pisang dan pisang raja tidak berkayu dan batang yang tampak jelas terbuat dari pangkal tangkai daun yang besar. Dengan demikian, jenis ini secara teknis adalah tumbuhan herba raksasa.
Lebih jauh disebutkan yang mana spesies Musa digunakan sebagai tanaman makanan larva beberapa spesies Lepidoptera, termasuk ngengat macan tutul raksasa dan spesies Hypercompe lainnya, termasuk H. albescens — hanya tercatat pada Musa, H. eridanus, dan H. icasia.
Demikian cerita ‘pisang khas Sulawesi Utara’ untuk kesempatan ini. Anda konsumsi goroho, tentu sama dengan dewa dewi penyuka sajian itu. Begitu. (*)
Tulisan ini dapat anda baca di kelung.id