Sunday, December 22

Morpho, Utopia di Ladang Jagung


17 April 2022


Kami menamai tualang itu sebagai Morpho, spesies yang daur hidupnya sangat singkat di alam. Domain semacam sajak memerangi huruf teks mencipta soul, diri sendiri, tempat menyendiri: Rumahnya jalan angin, gulita manakala senja baru saja lalu. Malam itu teramat panjang, pemain ukulele memetik senar, mencari cahaya di pucuk gunung hitam, gerimis meleleh di daun-daun, jatuh pelan, melubangi tanah air…


Oleh: Daniel Kaligis
Penulis adalah jurnalis penulis


MORPHO rhetenor helena morphine, terbang dari Benua Selatan nan dingin. Di lima kakinya bersarang madu, kaki lainnya koyak dihempas Kenna-Storm, sayapnya memlastik.

Suatu pagi di Chang Wat Chon Buri, menyendiri. Laut menderu. Berjam-jam saya habiskan di Pattaya Jomtien beach, mendengar deru angin, decak gelombang, menunggu tiada.

São Luís 2013: seorang kawan menyapa, “Buenos dias amigos,” cetus dia dari Port of Itaqui – the cargo port in Brazil, near the city of São Luís, Maranhão.

Dobro jutro prijatelji, have a nice day buddy,” sahutku.

Semi tiba, sepasang melopsittacus-undulates jatuh cinta, menunggu tua menderita dan mati.

Duhai belantara nyaris punah, nyanyikan saja: How long has it been since you woke with the dawn and felt this day is worth living? can you call him your friend? how long has it been since you knew that he cared for you?

Sepucuk kabar tiba, duduk berhadapan. Semangkuk organic-greengrocery, tandas bersama cabai hijau diiris berbumbu nam-pla. Sang Morpho bertutur, pelayaran dari North Pacific Ocean, memandang Luzon di kejauhan, Santa Ana, Aparri, Nena’s Beach, Pasaleng Bay. Merapati Fuga, Dalupiri. Seminggu di Kaohsiung, berapa jam di Macau. Mengintai Paracel, lontar rocket di South China Sea, dan tiga malam silam ia sudah di Qui Nhon. “Penjagaan di Tan Son Nhat International Airport tidak seketat tahun lalu,” ujar Morpho sambil menyeruput sisa soup pesanannya.

Tahun-tahun berlalu, seperti mimpi.

Situasi ini seperti kenang di Pinang Ranti 2010, saya menginap berapa lama di hunian Jeps. Di sana berdiskusi tajam. Hari menjalar senja, pijar cahaya merekam wajah kering pucat di bawah bayang mercury. Warna-warni berkilau samarkan kedegilan. Sebentuk cemas membingkai gaduh yang sering tak terrekam. Kawan-kawan menyebut keberadaan saya di Pinang Ranti sebagai ‘pelarian’. Perseteruan calon-calon di daerah dalam ‘merebut kue kekuasaan’, juga bikin keluarga dekat saya naik pitam, dan saya dituduh menjebakkan diri dalam lingkaran itu.

Kawan dari wanua, itu dia Jeps, melintas saat-saat riuh dan sunyi. “Strategi blusukan sudah berakhir, dan basi, yang terpenting adalah kecerdasan masyarakat membongkar kebusukan supaya hasilkan wakil rakyat representative.” Bersua Agustus 2018 di Senayan City, ngobol panjang lebar visi misi. Gizi kita memandangi orang-orang berjalan di bayang megah tembok dan kaca. Taman sore itu di penuhi pengunjung.

Wakil rakyat representative, kalimat yang ditekan Jeps. Saya masih membatin, 2010 ke 2018, sekian tahun berlalu secepat membalik lembar buku. Sejumlah even pilih pemimpin di berbagai lokasi masih menyisah soal rusuh perkara. Majas tua kami ulangi untuk mengenang Wanua.

Pada beberapa teman perantau – Denny, Wailan, Evert, dll – saya tuturkan, bahwa, medio 2000 saya membuat kalawarta di Wanua. Lalu menulis catatan Kupu-Kupu Rimba. Sepenggal catatan, “Deru Perang Dunia sementara membadai, ia menyeberang Pacific, menyasar Vietnam, Cambodia, Hong Kong, China, bersua di Singapore, di River of Dareh. Kupu-Kupu Rimba bertarung, Kawi Mountain, Perak, Tulehu, Buru Island.” Catatan itu disuruh berhenti oleh petinggi Permesta, entah apa alasannya saat itu.

Media ala Wanua punya cerita panjang. Bersama Welly, Arthur, Sornes, kami menggagas Tonaas. Di 2010, idea dipertajam. Denny, mengusul Fotonesia, dan tanpa berpaling kami rutin brainstorming, samakan persepsi, membangun langkah tindak. Bersua di Jl. Kerinci. Diskusi hingga lewat midnite di Thamres, bersua di tanah leluhur. Memories selalu menyatukan kita.

Pagi berikut saya bercerita tentang ladang jagung. Kebun leluhur kami ada di berapa tempat di wanua: Thampati, Sangian, Sinuian, Wali, Wuwun; Dan Thampati selalu saya datangi pada masa kanak-kanak.

Melewati jalan berbongkah batu dari Weren ni Meong, Kinaris, berbelok ke Patalingaan, lurus ke arah Teneman, ada setapak ke kiri melewati sebatang royal poinciana, kanan-kiri setapak menjalar mimosa-pudica dan berbagai rumput liar. Di timur Thampati ada dua pohon mangga tumbuh berdamping. Bila senja, Tekukur-hutan dan sorit beterbangan hinggap di pucuk-pucuknya. Sorit itu burung khas di wanua, siulnya panjang, “rrtriiiiiiiiitttt.”

Di sana, ambang pagi membaui aroma belantara. Embun di rumput berpindah ke kaki yang bergegas di setapak. Terompet Mapalus terdengar dari kejauhan. John, mengatur lajur bajak, membentuk bedeng-bedeng. “Ciaaah, ciiaaah,” teriaknya sambil memecut sapi. John itu anaknya teman ayah saya.

Ayah saya pernah berkisah suatu ketika, yang mana, dulu, opa dari John itu orang yang terlibat pertempuran Ratatotok. Katanya, si opa lincah bermain kelewang. “Mereka adalah turunan pemberani, lihatlah anak-anak dan cucunya mewarisi etos dari leluhur mereka, suka bekerja keras dan rajin,” kata ayah. John lahir dari keluarga Manurip-Rumeser, ayahnya dipanggil Om Buang. Saudaranya yang akrab dan saya kenal adalah Rin.

Rumput-rumput ditimbun tanah atau disingkir. Sementara, benih-benih jagung ditaruh tiga empat butir selubang dan ditimbun tanah gembur, jaraknya selangkah-selangkah, atau sekitar lima puluh centimeter. Jelang siang menabur sudah selesai. Di utara kebun ini ada rumpun bambu, dekatnya ada dua pohon kelapa tidak terlalu tinggi, dan pohon enau. Di bagian selatan ada pohon alpukat dan nangka. Kami berteduh di sisi utara yang rindang.

Saat makan siang memang ditunggu-tunggu. Makanan minuman ditaruh di atas daun pisang di tempat yang rata dekat pondok. Ada Wurukus digoreng garing dibumbu spicy sauce ala Minahasa, Pinerah, kuah bening, nasi campur beras-jagung, dan dabu-dabu. Ada kelapa muda setandan. Kuah bening favorite saya. Ini penganan diolah sederhana: daun kunir, kemangi, serai, cabai hijau, bawang, tomat, ikan roa, dimasak dalam air, setelah mendidih ditaruh sayuran dan garam secukupnya. Aroma bumbu-roa-sayur-nya bikin lapar menjadi-jadi. Kami makan seraya bersila di bawah rindang pohon, ada yang duduk di atas batu.  Orang tua membincang visi, mendiskusi masa silam: pergolakan. Anak-anak mendengar, menuntas makan.

Morpho, entah mendengar saja, entah merekam.

Saya bilang, wanua saya di tepi belantara. Jelang matahari terbenam, saya dan ayah pulang dari ladang. Ayah selalu mengganti rute perjalanan, mengajar saya navigasi, menunjuk tempat-tempat di mana ia mengembara selama Permesta bergolak, mengajar berbagai terminologi pasukan, commando battle, jenis senjata, ukuran peluru.

Dahulu kala wanua hanya rimba. Ada rumah panggung dari bambu, ada rumah panggung dari kayu, ada pondok-pondok beralas tanah.

Kisah yang dipulung dari jalan. Pada sebuah dekorasi ruang, saya memulai interview: Pagi baru saja berganti. Rumput, pepohon, bunga-bunga musim semi jadi bahan cerita, mereka yang tersadar dari tidur kemudian mengganti status. Doa-doa panjang lebar tumbuh di media sosial.

Becak terparkir berderet di jalan Kartini, penunggunya sia-sia mengharap siapa yang hendak numpang, karena pejalan kaki sibuk menguras keringat, berpacu di sisi tanah lapang dengan berbagai gaya berbagai imajinasi menggelayut di setiap tatap mata mereka.

Pete-pete melambat, harap anak-anak berseragam bercengkrama dalam bilik persegi berjendela kacanya, kini sepi. Ojek, motor dan mobil pribadi sudah menggantikan fungsi penghentaran anak-anak sekolah. Pete-pete itu angkutan kota yang sekarang kurang diminati lagi di Makassar, sebab angkutan online semakin massif.

Para buruh bergegas, di tepi jalan mereka menanti kendaraan. Tapi, beberapa dari mereka sudah punya motor sendiri meski dengan judul kredit. Itulah mengapa sopir pete-pete sering kekurangan penumpang. BBM tak menentu harganya, dan rakyat masih terbingung-bingung pada method of decreasing abstraction yang mengiris putting the flesh on the bones, seperti catatan Kwik Kian Gie seputar kontroversi kenaikan harga BBM.

Mengertikah rakyat di negeri ini jika mindset BBM-nya selalu dikendalikan value berdasarkan ketentuan NYMEX di New York? Lupakan saja!

Catatan ini sebagai ulangan, mengenang harga yang bertahan singkat seperti sang Morpho, kenaikan sementara membayang. (*)

1 Comment

Comments are closed.