Thursday, November 21

SJAHRIR


Medio 2014


Sutan Sjahrir – Kepala Pemerintahan RI [1945-1947] yang penggila susastra: Saya bisa tambahkan, keberanian Sjahrir itu sungguh kebajikan (virtue) yang ideal – persis sama dengan yang dicontohkan pribadi Socrates, yang dicatat Plato dan diteorikan dengan hampir sempurna oleh Aristoteles – sifat yang terbentuk tepat di titik tengah yang jauh dari ujung kutub takut dan ujung kutub nekat. Titik bijak itu, saya sangat yakin, terbentuk berkat tekad mewujudkan kasih sayangnya pada sesama melalui caranya yang penuh hikmat, yakni hikmat yang pembentukannya didasari kasih sayang dan dibantu oleh arahan pengetahuan amat luas yang dimilikinya melalui [terutama:] sastra dan filsafat.


Oleh: Benni E. Matindas
Penulis adalah budayawan
Editor: Parangsula


Gambar: Sjahrir at KNIP plenary session, 1947 in Malang – sumber wikipedia


SJAHRIR adalah satu dari para bapak pendiri negara ini yang sohor sebagai pribadi yang sangat cerdas penuh hikmat dan memiliki keberanian luar biasa. Kecerdasan serta hikmatnya yang cemerlang terlihat jelas pada karya-karyanya yang telah berperan sangat besar sebagai pedoman perjuangan bangsa ini pada setiap tahapan zamannya. Bahkan oleh sejumlah ahli dinyatakan harus tetap berperan memedomani bangsa kita sampai di masa-masa sangat jauh mendatang bila Indonesia ingin memiliki peradaban tinggi menjulang dan perkasa.

Daya cerdas berhikmatnya itu terbentuk berkat sifat dasar kepribadiannya yang sangat perduli pada sesama, dipadu dengan usahanya untuk terus-menerus belajar secara benar di sepanjang hayatnya. Proses pembelajaran dengan cara benar itu ialah menemukan sendiri ilmu pengetahuan melalui alam raya di sekitar kita dan dari dalam kehidupan nyata sehari-hari, dengan menjadikan ilmu-ilmu dasar kehidupan sebagai arahan awal dan rambu-rambu jalan dalam proses pencarian kebenaran itu. Ilmu-ilmu dasar yang mesti diutamakan itu bukan seperti anggapan banyak professor pongah dan bebal di universitas-universitas kita sekarang yakni yang mereka sebut pure science, melainkan seperti yang jauh di kemudian hari diungkap a.l. oleh filsuf Jurgen Habermas: terutama filsafat dan susastra. Dan keseluruhan niat serta semangat pencarian pengetahuan secara demikian itu hanya didorong oleh, tidak bisa lain, cinta kasihnya pada sesama. Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang dicari secara tidak tepat yang bisa dicapai hanya berdasar dorongan sempit seperti ingin berprestasi, mengejar popularitas, atau sekadar punya gelar akademis strata tinggi buat penyesuaian jabatan di kantor.

Rasa kasih Sjahrir pada sesama dimaklumi oleh semua orang yang pernah dekat dengannya. Tapi sejarah pun tak kurang mencatat beberapa lakunya yang fenomenal mengenai sifatnya itu. Pada masa pembuangannya di Banda Neira, Sjahrir tak menahan dirinya untuk mengangkat beberapa orang anak, salahsatunya masih bayi yang perlu perawatan sangat intens dan telaten, juga selalu ringan tangan menolong tetangga dan penduduk yang serba kekurangan, kendati di tengah kondisi sangat sulit bagi dirinya sendiri sebagai orang buangan, di tengah kesibukannya untuk dengan segala cara melangsungkan terus perjuangan bangsa a.l. gencar terus melakukan misi pendidikan politik rakyat melalui tulisan-tulisan di media massa dan surat-menyurat [sejumlah surat buat kekasihnya kemudian dibukukan dan hanya dalam tempo singkat telah terbit dalam tiga bahasa saking hebatnya mutu pesan dan bahasanya].

Keperdulian Sjahrir terhadap sesama manusia adalah dasar ideologi politiknya. Ketika diminta oleh Hatta untuk pulang dulu ke tanah-air buat bantu membenahi gerakan kebangsaan yang jadi morat-marit akibat dipenjarakannya Bung Karno dan dibubarkannya PNI sebagai partai kebangsaan terbesar dan militan – karena Hatta sendiri mau merampungkan studinya yang sudah hampir 10 tahun tak selesai lantaran tersita aktivitas pergerakan politik – Sjahrir rela berkorban meninggalkan studinya – yang tak akan pernah lagi dapat ia lanjutkan lantaran ditangkap masuk penjara Cipinang (1934), dibuang ke Boven Digul dan Banda Neira (1935-1942), masuk gerakan politik bawah tanah (1942-1945), sibuk mengemudikan negara baru di tengah kecamuk perang (1945-1947), memimpin PSI di tengah kemelut masa pancaroba (1948-1960), dipenjarakan sampai mati sebagai tahanan dalam negaranya sendiri yang ia justru perjuangkan kemerdekaannya (1962-1966). Tapi Sjahrir memang dengan tulus menyayangi bangsanya. Barangkali itulah sebabnya, dengan keadilan Tuhan dan hukum alamNya, Sutan Sjahrir adalah satu-satunya pejuang dan pemimpin bangsa ini yang langsung dianugerahi status pahlawan nasional sebelum dikebumikan, bahkan masih pada tanggal tepat di hari wafatnya itu juga, 9 April 1966. Sekadar perbandingan, Bung Karno baru diberi gelar Pahlawan nanti pada hampir 20 tahun setelah meninggal, bersama Bung Hatta yang juga baru diberi pada hampir 10 tahun sesudah meninggal, sementara Jenderal Besar Soeharto sampai hari ini masih diperdebatkan kelayakannya memperoleh status Pahlawan.

Sjahrir memang dengan tulus menyayangi bangsanya. Sebagaimana ungkapan dalam kata-kata Sjahrir sendiri, “Aku mencintai bangsa ini, barangkali karena mereka kukenal sebagai orang-orang yang selalu kalah….”

Sutan Sjahrir menekuni sastra secara tak kepalang. Bukan hanya di masa remajanya di mana ia memang memilih jurusan sastra dan budaya klasik Barat dan ia sampai berusaha memperlancar sejumlah bahasa asing demi menikmati serta memetik hikmat dari karya-karya susastra dunia [penguasaannya pada bahasa Jerman, Inggris dan Prancis, di samping Belanda, kelak sangat bermanfaat saat memimpin negara, memimpin Kementerian Luar Negeri, dan kemudian perannya yang gemilang saat memimpin Delegasi RI di PBB tahun 1947]. Sjahrir pun belajar bahasa Yunani, meski drama-drama Sophocles, epos Homer dan dialog-dialog Plato yang ia gemari itu sudah tersedia terjemahan Belanda dan Prancisnya namun dengan mengerti bahasa aslinya akan makin mampu menangkap makna terdalamnya. Ia dalami bahasa Latin buat melahap Seneca, Cicero, sampai Petrarca, serta menikmati tamasya batin melalui rangkaian baris-baris puisi Chaucer dan Montaigne. Sudah menjabat Perdana Menteri, di tengah kesibukannya yang luarbiasa untuk mengemudikan bahtera bangsa di tengah badai serba besar, ia tetap bisa berjam-jam diskusi puisi, novel, juga kritik sastra. Wartawan dan sastrawan Mochtar Lubis mencatat betapa PM Sutan Sjahrir bisa mengulas secara amat teknis tentang “Ulysses” karya James Joyce, hingga “Forty Second Parallel”-nya John Roderigo Dos Passos. Apalagi karya tersohor dari para penyair, novelis dan penulis drama yang sudah klasik seperti Sophocles, Plutarkus, Chaucer, Dante, Montaigne, Rousseau, Schiller, Goethe, Moliere, Balzac, Gogol, Shakespeare, Pascal, Tolstoy, Dostoyevsky, Milton, dua sastrawan ayah-beranak “haram” senama Alexandre Dumas, Nietzsche, Pushkin, sampai yang lebih kemudian seperti Kafka, Maxim Gorki, Marcel Proust, Aldous Huxley, Andre Gide, DH Lawrence, Emile Zola, dan sebagainya, dan pastilah Multatuli. Juga sastrawan kontemporer yang tenar di era Sjahrir, semisal Roger Martin du Gard (penulis Prancis yang pada 1937 memenangkan Hadiah Nobel Kesusastraan), Jules Romains (penyair, novelis dan penulis drama asal Prancis yang bernama asli Louis-Henri-Jean Farigoule), Theodor Plivier (novelis Jerman), Julien Benda, Andre Malraux, Thomas Mann, Upton Sinclair, Hemingway, Ignazio Silone, dan banyak lagi. Dan sudah barang tentu ia amat akrab dengan karya-karya sastrawan Belanda – seperti Arthur van Schendel (penulis novel dan cerpen yang lahir di Jakarta), J. van Oudshoorn (pen name dari Jan Koos Feylbrief), Ferdinand Bordewijk, Jan Slauerhoff, Edgar du Perron (penyair keturunan Indo yang lahir di Jakarta), Menno ter Braak, Simon Vestdijk, Henriette Roland Holst, Willem Elsschot (penyair dan esais Belgia) – yang buku-buku mereka lebih mudah ia dapatkan di Hindia-Belanda ini dan apalagi saat berada di Belanda. Bahkan beberapa dari mereka bersahabat dengannya. Seperti juga Sjahrir berteman karib dengan penyair Chairil Anwar.

Dari tempat pembuangannya, Sjahrir melakukan polemik sastra di media massa dengan J.E.Tatengkeng – eksponen Pujangga Baru asal Kepulauan Sangihe-Talaud, Sulawesi Utara. Namun begitulah, karena Sjahrir melakukan segala sesuatu dengan tulus tanpa sedikitpun niat menghantam pribadi orang, Jan Engelbert Tatengkeng (penyair yang pula pernah menjabat Perdana Menteri NIT) di kemudian hari malah jadi eksponen partainya Sjahrir, PSI, bahkan secara lebih konsekuen dalam garis politik formal yakni dengan menjadi penanda tangan Piagam PERMESTA, 2 Maret 1957. Dibilang “lebih konsekuen dalam garis politik formal” dibanding Sjahrir sendiri karena PRRI/Permesta memang didukung segenap jajaran PSI sampai ke daerah-daerah, tetapi Sjahrir sendiri tidak. Namun itu tak boleh juga kita nilai ia tidak konsekuen secara substansial, apalagi takut memberontak pada rezim penguasa saat itu. Penolakan Sjahrir mesti dilihat sebagai manifestasi ideologi politiknya yang setia ia pegang teguh sejak awal hingga akhir hayatnya: anti-militerisme dan bebas dari blok Barat yakni Kapitalisme maupun Timur yaitu Komunisme. Meski PRRI anti komunis, tapi karena dianggap Sjahrir kerjasama dengan Blok Barat/AS maka ditolaknya. Ia pun mencemaskan adanya kecenderungan militeristik dalam gerakan yang dipimpin sejumlah perwira militer itu.

Sjahrir terkenal pemberani. Berkali-kali menghadapi ancaman maut dengan amat tenang, bahkan selalu dengan senyum. Ketika Ibukota RI dipindah ke Yogya, PM Sjahrir dengan berani menetap di Jakarta, alasannya untuk memperlancar misi perundingan serta tugas diplomatik lainnya sebagai Menteri Luar Negeri RI (jabatan yang memang dirangkapnya pada masa itu), dengan konsekuensi ia sangat sering nyaris dibunuh oleh tentara musuh yang berkeliaran di mana-mana. Dan ia tak pernah sedikitpun mempermasalahkan kondisi penuh ancaman maut itu. Di Jakarta, di tengah ancaman maut, PM Sjahrir menyempatkan diri membuka pameran lukisan  – event yang terbukti sangat strategis mengangkat citra Indonesia sebagai bangsa beradab tinggi di kancah internasional, menghapus kampanye kolonialis bahwa Indonesia cuma dibentuk oleh para bandit ekstremis binaan fasisme Jepang.

Suatu hari, saat Sjahrir sedang memimpin rapat di Yogya, tiba-tiba terdengar gemuruh tembakan. Semua panik ketakutan, ada serangan musuh. Para tokoh masyarakat dan pejabat tinggi dalam sidang langsung lari berhamburan, lainnya tiarap di bawah meja. Setelah tembakan mereda, semua balik ke ruang rapat, mereka dapati sang Perdana Menteri tetap santai sendirian di meja pimpinan rapat. Pernah lagi, saat pesawat-pesawat Belanda membombardir kediaman pemimpin RI, semua panik cari tempat berlindung, Sjahrir dengan tenangnya menyantap nasi campur. Begitulah ketenangannya telah berperan penting dalam mengemudikan bahtera negara di tengah badai. Sebelumnya, ketika umumnya tokoh pergerakan Indonesia bisa dipaksa tentara Jepang untuk berkolaborasi, Sjahrir dengan berani melangsungkan gerakan politik bawah tanah yang padahal setiap detik menyerempet maut di ujung bayonet tentara Dai Nippon.

Sampai beberapa tulisan Romo Y.B.Mangunwijaya, juga kesaksian Dr. A.Halim (mantan Perdana Menteri RI), hanya berfokus pada pemujaan atas keberanian Sjahrir. Sjahrir sendiri gemar mengutip kalimat dari puisi Friedrich Schiller, pujangga Jerman tiga abad silam yang sohor dengan puisi dan dramanya, “Hidup yang tidak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan!”

Saya bisa tambahkan, keberanian Sjahrir itu sungguh kebajikan (virtue) yang ideal – persis sama dengan yang dicontohkan pribadi Socrates, yang dicatat Plato dan diteorikan dengan hampir sempurna oleh Aristoteles – sifat yang terbentuk tepat di titik tengah yang jauh dari ujung kutub takut dan ujung kutub nekat. Titik bijak itu, saya sangat yakin, terbentuk berkat tekad mewujudkan kasih sayangnya pada sesama melalui caranya yang penuh hikmat, yakni hikmat yang pembentukannya didasari kasih sayang dan dibantu oleh arahan pengetahuan amat luas yang dimilikinya melalui [terutama:] sastra dan filsafat.

Hari ini, manakala kita mengenang Sjahrir, itu adalah kerinduan eksistensial kita pada kehadiran pribadi-pribadi pemimpin yang penuh hikmat dan tak kenal takut memperjuangkan kebenaran serta keadilan demi kasih sayangnya pada rakyat banyak. Negara kita hari ini, dari tingkat pusat sampai daerah dan desa, adalah padang gersang tanpa ditumbuhi tunas-tunas dengan kepribadian seperti Sjahrir. (*)