Tuesday, May 7

Shutter Speed, dan Cahaya di Fakfak


2018


Oleh: Dera Liar Alam


Kenang di West Nieuw Guinea. Diskusi foto, cara, dan kegunaan: gambar-gambar dan kenangan di segala lokasi. Memandang langit, lalu ilusi buyar, cahaya menerkamnya…


TRAIL LIGHT pernah kita saksikan di rembang malam ketika Monas, Jakarta, masih dipenuhi sudut gelap. Ibukota kadang manis, kadang berduri. Kita tertawa, marah, memendam, berkelahi. Punya pengalaman semobil-omprengan dengan para rampok dari Blok M ke Cempaka Putih.

Lupa saja, mari kita menertawai masa silam. Mau memotret bulan? Silakan, asal hp-mu punya fitur long exposure. Saya mulai catatan malam ini dengan seberkas sajak lama:


love like rain, like the smell of a tangerine, like a surprise found in your pocket


Pada gulita malam, obrolan yang panjang, lalu dawn mengusik, tanyamu kujawab: tak semua kamera smartphone dapat dipakai memotret bulan, optical zoom terbatas.

Berteman adalah saling berbagi. Itu menurut saya! Kami berteman sejak SMA di Jakarta, bersua lagi saat kuliah dan tercerai jarak. Saya dan Jemmy, yang pada zaman itu dia tinggal di Cempaka Putih, saya di Kebayoran Baru. Tadi, dia memberi gambar yang saya suka: Senja di Sorong.

Di musim lain, bakudapa di airport, makan, ngobrol menunggu pagi di resto, menunggu pesawat melontarkan kita ke sebuah destinasi.

Ingatan ada di sana sebelum membela langit SOQ – FKQ. Landing di Torea Airport. Teluk Berau, Pulau Tugu Seram, Pulau Panjang, Karas, Bomberay, Laut Arafura. Angin selatan Papua menghentar kabut-kabut bertengger di atas ubun-ubun.


Port of Torea, Fakfak. Foto by DAX

Sekedar berbagi copasan: Aperture adalah seberapa besar lensa terbuka saat foto diambil. Shutter Speed adalah rentang waktu saat shutter di kamera anda terbuka.

Tombol shutter diklik berkali. Gambar direkam per sekian detik. Fotografer memanah slow speed, gambar berseni, panning, laut bergelombang seperti bersalju. Batu-batu, jurang, ladang, sawah, hutan, seperti dalam lukisan.

Ilusi cahaya, pagi merekah di Tugu Seram. Saya mencatat resume: “Orang-orang Key datang ke Fakfak. Mereka mengembara ke gunung-gunung. Tapi, itu sudah lama sekali, dulu, saya tidak tahu tahun berapa waktu lalu. Pokoknya orang-orang tua di sini menyebut begitu.” Terkutip, interview saya dengan Ade Indra. Dia, Ade Indra, seorang pekerja di kedai bakso, di jalan D.I. Panjaitan, kota Fakfak.

Ade Indra Irianto Liasa, nama lengkap pekerja kedai bakso itu. Ibunya China Madura, bapak campuran Kokas – Banda. Sedari kecil dia sudah menetap di Fakfak, lahir di Fakfak. Di kedai itu ada temannya, orang tua mereka asal Buton, teman yang satu dari Bandung, satunya lagi dari Bugis, Sulawesi Selatan. Mereka semua lahir di Fakfak.

Usai interview saya turun ke dermaga. Melihat buruh angkut hilir-mudik di tangga kapal. Orang-orang menyemut kemudian sepi. ‘Kapal putih sandar’ ada kisahnya sendiri. Sebab ia tak datang saban hari. Beberapa dari penumpang turun menenteng koran dan majalah, itu salah satu bentuk informasi masuk ke kampung-kampung yang jauh. Sehari kemudian.

Senja di Teluk Patipi, mengutip sinar benderang turun di samudera. Memandang Bintuni di seberang. Malam tiba, kami telah kembali. Saya mengunyah kripik pisang, membolak balik majalah lama dekat bilik informasi hotel. Di seberang ruang, satpam bolak-balik, senyum-senyum. Tukang pijat menambah gincu di bibirnya. Saya ke lantai tiga, memesan juice, merapat ke jendela, memandang cahaya berpendar di laut hitam kilauannya laksana perak.

Jelang pagi di Fakfak. Mengeja nama-nama asing di benak: Tanehamur, Rumbati, Tawar, Patipi Pasir, Salakiti, Sum, Puar, Tibatibananam, Ofie, Degen, Tetar, Werfa, Patipi Nusa, Mawar, Adora, Gar, Bisa, Muhriri, Kriawaswas, Mambunibuni, Mandoni, Batufiafas, Patimburak, Sekar, Kokas Kota, Kampung Baru, Ugar, Kinam, Andamata, Agruni, Fior, Furir, Darembang, Goras, Waremu, Metimber, Arguni Barat, Wos, Wafus, Mbahamdandara, Rangkendak, Hormorkokma, Kwagas, Kayuni, Ubadari, Kramongmongga, Nembukteb, Kwamkwamur, Kabubur, Mamur, Pikpik, Bahbadan, Wargep, Mananmur, Patukar, dan Gewab. Nama-nama kampung di Fakfak.

Burung-burung putih melintas, karst menggantung di hijau perbukitan terjal. Mendengar kisah Megawati Gaffar, dokter umum di Dinas Kesehatan Fakfak. “Saya setahun PTT di Teluk Patipi. Masyarakat umumnya kurang paham kesehatan, sanitasi, dan berbagai hal menyangkut kemajuan. Ini mungkin terjadi sebab faktor pendidikan kurang. Ada masih percaya pada hal gaib. Penting perubahan cara pandang, pendidikan, mengasah lewat proses supaya masyarakat sadar pentingnya kebersihan lingkungan, sanitasi, dan kesehatan secara luas.” Ada cahaya dalam penuturan Mega Gaffar, demikian asumsi saya.

Tahun 2012 Pusat Data Pembangunan Daerah sudah diwacanakan di Fakfak, kemudian pada akhir 2013 mulai dirintis pendiriannya dengan dukungan dari Bupati Fakfak, Drs. Mohammad Uswanas, M.Si. “Ini bentuk inisiasi positif Australia-Indonesia Partnership for Decentralisation (AIPD) dan disambut baik pemerintah daerah. Fakfak sudah punya Gedung Pusat Data. Hanya saja, dari kami juga ingin menagih janji, pernah diutarakan nanti ada satu line internet di ruang kerja bupati, bila mungkin, line itu segera terpasang,” ujar Hj Ivony Tho, SE, M.Si, Ketua Pusat Data Fakfak. Wawancara ini saya petik pada penghujung 2014.

Orang asli Fakfak diperkirakan berasal dari suku Mbaham, Ma’ta, Mor, Onim, Irarrutu, Kimbaran, dan Arguni. Di masa lalu, suku-suku ini memiliki kerajaan dengan wilayah petuanannya masing-masing. Petuanan Ati-Ati di Werpigan, Petuanan Fatagar di Fakfak, Petuanan Arguni di Arguni, Petuanan Rumbati di Rumbati, Petuanan Patipi di Patipi Pasir, Petuanan Pikpik-Sekar, dan Petuanan Wertuar di Kokas. (Mengasah Satu Tungku Tiga Batu – Praktek Cerdas Di Fakfak – DAX, Januari 2015. Kutipan yang sama ada di dua bait berikut).

History

Di tahun 1898, manakala tanah Papua dibagi dua afdeeling atau keresidenan oleh Belanda, Fakfak dipilih sebagai salah satu tempat kedudukan ibukota – atau dalam bahasa Belanda disebut afdeeling – karena lokasinya dianggap strategis. Kedua afdeeling itu yakni, Afdeeling Noord Nieuw Guinea, berkedudukan di Manokwari, dan Afdeeling West en Zuid Nieuw Guinea, berkedudukan di Fakfak.

Nanti, pada 10 Mei 1952, terjadi perubahan. Gubernur Van Waardenburg menetapkan Sorong sebagai ibukota Afdeeling West Nieuw Guinea, dan wilayah ini membawahi sembilan onderafdeeling, yakni, Fakfak, Makbon, Raja Ampat, Manokwari, Ransiki, Wandamen, Ayamaru, dan Bintuni. Tahun 1961 berubah lagi. Wilayah di Nieuw Guinea dibagi menjadi enam afdeeling, yaitu, Hollandia, Geelvinkbaai, West Nieuw Guinea, Fakfak, Zuid Nieuw Guinea dan Centraal Bergland. Afdeeling Fakfak membawahi onderafdeeling Fakfak, Kaimana, dan Mimika.

Berapa kali mampir di Papua, tapi saya belum pernah coba makan pinang. Pembangunan bergeliat di sana, orang-orang membantahnya dengan kampanye miring.

Hari ini mereka masih Indonesia. Ada berapa kawan di sana yang saya kenal, pernah ngobrol panjang lebar dengan mereka: Herni Rifani Kabes, Hansen Prafo Eugenius, Peter M. Liem, Engel B. Gewab, dan lain-lain lupa namanya.

News nasional: Jadikan kampung basis mendorong proses percepatan pembangunan nasional. “Caranya, membuat kebijakan Gerbang Kaca atau Gerakan Pembangunan Masyarakat Bercahaya.”

Program ‘Gerbang Kaca’ digagas untuk mengembalikan orang kampung ke kampung. Selasatu fungsi inovasi memberdayakan masyarakat kampung, digagas Bupati Fakfak, dalam rangka mencipta interkoneksitas kampung dengan kampung, dan kampung dengan kecamatan, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah. “Kita jadikan kampung sebagai basis untuk mendorong proses percepatan pembangunan nasional,” kata Mohammad Uswanas, M.Si. Program itu kini sudah memasuki tahun kedua. News nasional ini saya edit dari tulisan di sindonews.com (25/01/2018), menceritakan tentang Indonesia Visionary Leader Jilid II yang diselenggarakan di Gedung SINDO, Jakarta.

Progress Pembangunan

Ketika saya ada di sana, kawan Peter M. Liem, Kabid Pengendalian dan Pendapatan – Bappeda Fakfak, bertutur tentang keunggulan Fakfak, utamanya di bidang pertanian. Buah pala, biji dan bunga, pala Banda, pala Negeri. Ia juga berkisah tentang argropolitan, minapolitan, pusat-pusat pertumbuhan baru, ekonomi baru, Kramongmongga – air yang keluar dari goa berbunyi seperti gong, padi di Bomberay, hingga akses buku data berita yang tersita dan menderita.

Tahun 2013, Tim Klinik diinisiasi di Fakfak sebagai bentuk upaya meningkatkan pelayanan. Peter M. Liem menyebut inisiasi itu sebagai ‘membangun proses yang baik’. Pendekatan pembangunan dipertajam supaya mengena pada sasaran, yakni, masyarakat, di mana pembangunan itu berproses, tumbuh, dan meng’ada’.

Langkah evaluasi terhadap proses pembangunan yang sudah sekian lama berjalan ingin dikuatkan. Mengacu pada Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 mengenai tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi, selanjutnya ada Permendagri Nomor 54 Tahun 2010, “Dari sini ‘benang merah keterkaitan dokumen itu kami tilik. Tahun 2014 keberadaan Tim Klinik sudah didukung Surat Keputusan Kepala Bappeda Fakfak, penguatan Tim Klinik memang kami fokuskan di Bappeda, konsep awal Tim Klinik adalah untuk mendampingi SKPD untuk menyusun Rencana Kerja Anggaran,” papar Peter M. Liem.

Secarik yell sementara diasah, ‘Satu Tungku Tiga Batu’. Efektifitas pemenuh aspirasi dan kebutuhan masyarakat, partisipasi perangkat daerah dan semua pihak mendukung pelaksanaan pembangunan di sana. Cahaya yang tak dapat dikira speed-nya, setapak demi setapak, semoga boleh jadi realita. (*)


Tercatat bagi kawan di SMA PAS ’47, Jakarta, Jemmy Terok; dan kawan-kawan di Fakfak, Herni Rifani Kabes, Hansen Prafo Eugenius, dr Mega Gaffar, Peter M. Liem, Engel B. Gewab, dan Ketua Pusat Data Fakfak, Hj Ivony Tho, SE, M.Si.