13 Februari 2023
Menaruh tanda, saru peran, kamuflase sebuah tanya dan jawab sendiri – entah nyambung, entah ngambang: mana gelombang liarmu, samudera itu kita.
Oleh: Dera Liar Alam
Gambar: Waiwo di bingkai biru kelam.
SEPENGGAL artikel ini tak sanggup menggambarkan lokasi itu. Maka, datanglah, dan saksikan sendiri, resapi, alam maha elok. Anak manusia menemu tujuh telur: empat di antaranya menetas jadi pangeran, jadi raja di Waigeo, Salawati, Misool Timur dan Misool Barat #Tutur #BukaBuku #Trip #Path15
Medio Januari 2014, manakala kembali dari menulis di Raja Ampat, Fak Fak, Manokwari, Sorong, dan beberapa lokasi di Papua, saya sempatkan mewawancarai perempuan pedagang kaki lima yang memunguti sampah plastik. Dia, mengumpul sisa-sisa dengan dua bocah perempuan lainnya di simpang Maipa.
Merangkum data, mengeja huruf dan kata. Matahari terik, lalu mendung. Ada musim di mana hujan menderas lalu banjir menggenangi kenangan doa kita yang menumpuk tinggi menjangkau di langit-langit ruang peribadatan, menyuruh pencipta menyeka petaka, seakan dia — tuhan buatan kita itu — adalah budak penghibur segala kehinaan yang kita tabur di mana-mana bersama dogma. Sekedar ingatan untuk sampah yang ada di mana-mana: di hadapan kita, di belakang kita, di sisi kita, dan ada di diri kita sendiri.
Di sini laut berdecak bergelombang, syair berulang tak mampu menyamainya, tanya: mana gelombang liarmu, samudera itu kita.
Tercatat ada dua puluh empat kecamatan di Raja Ampat. Misool Selatan, Misool Barat, Misool, Kofiau, Misool Timur, Kepulauan Sembilan, Salawati Utara, Salawati Tengah, Salawati Barat, Batanta Utara, Batanta Selatan, Waigeo Utara, Waigeo Selatan, Waigeo Timur, Waigeo Barat, Waigeo Barat Kepulauan, Kota Waisai, Teluk Mayalibit, Tiplol Mayalibit, Meosmansar, Warwabomi, Supnin, Kepulauan Ayau, dan Ayau.
Senja di Waiwo ada dalam memori, ditera kembali, bahwa di sana alam menantimu. Samudera, pulau-pulau, dan sajak perdamaian. (*)