02 September 2022
Oleh: Benni E. Matindas
Penulis adalah budayawan
Editor: Parangsula
SEKELOMPOK sarjana usia belia meminta saya bicara tentang ‘Rasionalisme’ dalam webinar. Tahu mereka bukan dari jurusan filsafat, saya langsung mafhum maksud mereka sebetulnya: bukan tentang ‘Rasionalisme’, melainkan cuma tentang kritik populer terhadap rasionalitas. Saya cepat menangkap maksud mereka sebab topik itu sendiri amat akrab dengan saya sejak 30-an tahun lalu dan sejak itu terhitung intens saya geluti.
Pada 1990-an banyak aktivis LSM pro-lingkungan yang sedang latah dengan tema itu merasa terlucuti pegangan filosofisnya bila saya jelaskan yang sebenarnya. Awal kedekatan saya dengan Prof. Liek Wilardjo, seorang Kristen saleh yang pakar fisika nuklir, epistemolog, pakar bahasa — pun karena memihaknya saat ia mendebat Pdt. Sumarthana yang sedang latah dengan tema ini –[ikut latah dengan Dewan Gereja-Gereja se-Dunia yang juga sedang latah ikut mode ekoteologi Timur melalui konsep ‘Keutuhan Ciptaan’ dalam rumus ‘Peace, Justice, and Integrity of Creation’]. Saya sering menyisipkan itu dalam bahan kuliah, kendati bukan bagian silabus minimum, hanya sebab populernya. Saya ingat, Sinyo Sarundajang, kelak Gubernur Sulawesi Utara, pernah meminta saya menerangkan ini dengan bahasa sederhana.
Dalam webinar tersebut, saya pura-pura tak perhatikan ketidaktepatan istilah ‘Rasionalisme’. Karena saya memang ingin masuk dari Rasionalisme (khususnya Descartes), untuk mengefektifkan komunikasi saya uuntuk menemplak ‘salah kaprah pop’ itu. Jadi, saya membuka dengan penjelasan betapa tetap mutlak pentingnya rasionalisme. Apalagi rasionalitas!
Tetapi bagaimana bisa timbul pemikiran — bahkan sangat banyak sampai menjadi gelombang mode — yang menista rasionalitas? Bagaimana mungkin bisa sampai berkembang maha-ironi berupa pemikiran (buah pikiran) mengafkir pikiran itu sendiri?! Berikut tinjauan sejarah sekilas ihwal terbentuknya ironi melantur tersebut.
Bermula dari, tentu saja, reaksi kalangan pemimpin tertentu dalam agama-agama terhadap pemikiran kritis dari orang-orang yang mulai akrab dengan perkembangan sains. Bentrok yang lumrah, alamiah. Lebih delapan ratus tahun sebelum otoritas gereja memberangus Galileo dan bahkan menghanguskan tubuh Bruno karena temuan sains mereka yang menabrak kepercayaan suci, ilmuwan muslim seperti Abu al-Hasan Ahmad ibn Yahya ibn Ishaq al-Rawandi, Abu Bakr Muhammad ibn Zakaria ar-Razi dan sebagainya sudah lebih terbuka bersikap skeptis [jadi gejala ateisme dalam lingkungan Muslim sudah sejak seabad usia agama itu].
Ada dua jenis reaksi dalam kalangan agama itu, yang semuanya sama penting dicatat sebagai latar belakang sejarah anti-rasionalitas: Pertama, reaksi terhadap orang-orang yang berbekal logika-logika rasional beserta pengetahuan ilmiah mengkritik tradisi suci keagamaan bahkan berani mengusik teks kitab suci. Sempat ada reaksi bersifat keras dan bahkan kekerasan dari pihak agama yang di zaman dulu itu didukung otoritas feodal, pemberangusan bahkan penghangusan tubuh orang-orang tersesat dan terkutuk; namun kemudian pihak agamalah yang justru lebih banyak memberangus tudingannya sendiri karena sudah sangat meluasnya penerimaan khalayak kepada sains seiring dengan pembuktian kebenaran teori-teorinya yang serba mengagumkan sekaligus terbuktinya aplikasi teknologi dari teori-teori tersebut dalam menyejahterakan umat manusia — dalam bidang kedokteran, teknologi pangan, transportasi, mesin-mesin untuk produksi konsumsi massal, energi listrik untuk penerangan yang menunjang pendidikan, produktivitas, sampai fasilitas ibadah keagamaan.
Pihak agama meredam reaksinya, tapi itu lantas tersedimentasi membeku dalam prasangka yang dikekalkan sekekal permusuhan kekuasaan Tuhan terhadap Iblis.
Kedua, reaksi terhadap orang-orang yang berbekal logika-logika rasional beserta pengetahuan ilmiah membangun sistem ajaran teologis yang lebih kritis, rasional, liberal, skolastis, sampai ternilai sudah tak sesuai dengan suasana imanat yang semestinya menyala-nyala.
Reaksi dari sejumlah elite dalam komunitas agamanya adalah penghayatan religiositas yang menitikberatkan pada praktik olah-batin, meditasi, mistikisme, sufisme, esoterisme, sampai idealisasi kondisi extasi. Dua jenis reaksi tersebut di atas, di kalangan masyarakat luas, saling beririsan, saling memperkuat penentangannya — tepatnya: penentangan latent — terhadap bukan saja ekses sains berupa saintisme serta intelektualisme yang sangat mendurhakai agama, melainkan permusuhan berdasar prasangka kekal terhadap sains dan intelektualitas itu sendiri.
Sejarah mencatat, serangan berikutnya terhadap intelektualisme dan saintisme datang dari Montaigne, pujangga berpandangan tajam dan memiliki kepekaan moral yang tinggi. Michel Eyquem de Montaigne (1533-1592) bereaksi terhadap budaya dan sistem pendidikan yang berkembang dalam semangat Humanisme menyusul Reformasi Gereja abad XVI. Ia dengan tegas mengatakan, pendidikan yang hanya mengutamakan pembelajaran ilmu pengetahuan (pedantic learning) tidak saja pasti akan gagal mencapai tujuan tertinggi pendidikan itu sendiri, melainkan pula membawa ke dalam kejahatan besar karena sejumlah ilmu pengetahuan merupakan bahaya bagi manusia yang tidak memiliki cukup pengetahuan tentang kebaikan.
Kemudian datang reaksi lebih radikal dan lebih gencar terhadap ekses sains, rasionalitas dan intelektualitas. Kali ini datang dari para filsuf dan pujangga besar yang disebut kaum Romantik.
Serangan berupa kritik budaya ini memperoleh sasaran yang terbukti nyata sejak akhir abad XVIII dan terlebih abad XIX, sejak industrialisasi menunjukkan akibat-akibat buruknya dalam budaya manusia. Kaum Romantik bereaksi sangat keras terhadap budaya industrialisme serta borjuisme yang menista kemanusiaan, penuh kosmetik kepalsuan, mendangkalkan kemanusiaan, juga terhadap akar budaya dangkal itu yang mereka tunjuk pada saintisme, teknologisme dan intelektualisme.
Kredo kebudayaan Romantikisme memperoleh rumus sempurna dari Rousseau yang luar-dalam pribadinya romantik-abizzz. Ia bereaksi terhadap science, ia mencemaskan tergusurnya keunggulan-keunggulan asli alami manusia (yakni daya intuisi, kepekaan) oleh sistem pendidikan yang mengutamakan metode scientific yang kaku. Bersama dengan itu para seniman bereaksi terhadap seni Klasik, mereka menolak harmoni yang dibangun dengan aturan-aturan ketat dan terlalu mengandalkan teknik rasional dalam kesenian Klasik, untuk kemudian berpaling pada luapan emosi spontan, spirit murni, mengandalkan intuitif, imajinasi, dan ekspresi subyektif — [perhatikan keselarasan kredo kesenian ini dengan reaksi kaum mistikisme atau spiritualisme terhadap teologi yang terlalu diilmiahkan atau skolaktisasi dalam agama].
Para filsuf dan pujangga besar Schelling, Goethe, Schiller, William Blake, Friedrich von Schlegel, William Wordsworth, Samuel Taylor Coleridge, Alphonse Marie Louis de Lamartine, Thomas Carlyle; para perupa seperti Caspar David Friedrich, Joseph Mallord William Turner [expresionisme, dadaisme, dsb, tumbuh dari akar ini]; para composer Carl Maria Friedrich Ernst von Weber, Louis Hector Berlioz, Felix Mendelssohn, Frederic Francois Chopin, Franz Liszt, Richard Wagner (komposer Jerman yang memberi pengaruh besar pada Nietzsche, sastrawan Romantik dan filsuf yang memberi amunisi positif penting bagi gerakan Romatikisme).
Budaya industrialisme dan borjuisme, kata Carlyle, sudah memprodukasi manusia-manusia yang otak dan perutnya seperti kerbau, sedungu dan serakus kerbau. Para filsuf Romantik memastikan dengan sangat cemas, bahwa budaya saintisme, intelektualisme serta teknologisme membentuk sistem mental yang serba mekanistis sehingga membunuh sel-sel hidup kreativitas dan kemanusiaan sejati yang mensyaratkan iklim kebebasan dan spontanitas sukma.
Serangan terhadap intelektualitas dan pendekatan scientific kemudian datang secara sangat radikal dari filsuf Henri Bergson. Pemikiran-pemikirannya, sebagai alternatif — yang mengandalkan intuisi dan bukan rasio, daya hidup yang spontan meluap-luap dan bukan bersifat mekanistis serba terhitung, kreativitas dan bukan rutinitas, memuliakan kebebasan dan eksistensi manusia individual — yang dipublikasi sejak akhir abad XIX, langsung disambut masyarakat seantero dunia, bersama persetujuan sedunia pada semua kritik radikalnya terhadap sistem ilmiah dan intelektualitas yang disimpulnya sebagai dunia realitas yang dangkal. Bergson bahkan menantang teori fisika Einstein. Dua peraih Hadiah Nobel ini beradu dalam duel debat terbuka di Paris tahun 1922.
Serangan selanjutnya terhadap saintisme, intelektualisme dan modernisme datang dari Alfred North Whitehead dalam karyanya ‘Science and the Modern World’ yang terbit 1925. Gagasan-gagasan kritisnya langsung mengguncang.
Dibanding semua kritik atas saintisme dan intelektualisme sebelumnya yang umumnya datang dari para pujangga, filsuf ataupun pemimpin keagamaan yang kurang mendalami science, Whitehead justru berasal dari kedalaman dasar dunia science itu sendiri — sejak 1910 sudah menulis (bersama Bertrand Russell) karya agung dalam sains murni Principia Mathematica yang terdiri dari 3 volume. Whitehead, dengan sejumlah karya selanjutnya, memengaruhi seluasnya masyarakat sedunia, menjungkirbalikkan konsep-konsep dasar pendidikan yang ada selama itu.
Kritik Whitehead terhadap saintisme dan seluruh pendekatan ilmiah, dan sistem pendidikan dunia modern, didasarkan pada pembedahannya atas filsafat sains yang dominan beserta dampak buruknya dalam budaya masyarakat modern.
Jika sekarang kita sudah sangat biasa mendengar wacana yang mengkritik Cartesianisme, Whitehead-lah sumber awalnya. Kata Whitehead, sains telah memformat sistem pemikiran manusia modern menjadi absolut individualistis, persis seturut pemisahan mutlak oleh Descartes atas badan dan jiwa sebagai substansi individual.
Doktrin yang mengagungkan pikiran individu sebagai substansi ini berlaku sampai ke ranah moral, moralitas hanya dari dan untuk alam psikologis individual semata. Konsep moral tidak lagi selaras dengan nilai harmoni organisme alam dan sosial. Dan ketika moralitas sedemikianlah yang dipraktikkan para pemimpin masyarakat industri, inilah bencana kemanusiaan yang mendorong bencana alam dan celaka manusia. Bencana ekosistemik ini pun masih harus bertambah. Kondisi jiwa manusia kian buruk kualitasnya akibat pemisahan jiwa dan badan dengan penilaian rendah atas badan atau materi, sehingga anak manusia kehilangan kemampuan penilaian estetis yang biasanya terbina di dalam proses interaksi harmonisnya dengan alam.
Manusia sebagai organisme menjadi benda asing yang terdapati disharmonis dengan semua organisme alam makro dan mikro. Manusia memandang alam sebagai obyek-obyek yang tak memiliki nilai intrinsik yang perlu dilestarikan. Maka bencana kehancuran biosfer dan kepunahan spesies manusia hanya tinggal soal hitung-hitungan rencana investasi bisnis.
Tapi, menurut Whitehead, tidak itu saja. Proses yang mengerdilkan dan mencacatkan keutuhan manusia masih bertambah lagi dalam aktivitas sains dan budaya industri masyarakat modern, yaitu melalui apa yang justru selama ini dibanggakan sebagai ‘profesionalisme’.
Profesionalisasi atau spesialisasi fungsi sosial memang terlihat mempercepat perkembangan setiap cabang ilmu pengetahuan, terlihat mempercepat kemajuan ekonomi dan bahkan peradaban suatu bangsa, juga seolah-olah menjadi pedoman praktis untuk menjamin keberhasilan puncak karir setiap orang. Tapi sebenarnya tidak, justru tidak bisa mencapai puncak-puncak keberhasilan individu maupun bangsa tersebut. Dan terlebih, keutuhan manusia terkorbankan.
Ahli kimia pada umumnya tidak bisa mempelajari sastra sampai tingkat yang memadai, begitu pula para professional bidang lainnya berkenaan dengan upaya memperdalam bidang-bidang lain di luar profesinya tapi sejatinya dibutuhkan bagi keutuhan manusia. Sebabnya, ungkap Whitehead, pikiran setiap professional tak bisa keluar dari alur khususnya. Karena dipagari oleh struktur abstraksi dalam disiplin ilmunya.
Abstraksi adalah kelumrahan bahkan ideal dalam sistem pembentukan pengetahuan ilmiah, tetapi abstraksi membatasi pemikiran setiap orang pada hanya data obyek yang dibutuhkan — pembatasan yang bahkan sudah berlangsung sejak dari awal pembentukan pengetahuan (perumusan hipotesis) — sehingga semakin jauhlah seseorang dari perhatian dan kepentingannya kepada fakta-fakta dari bidang pengetahuan lainnya, termasuk fakta-fakta kehidupan real yang memang selamanya luas, kompleks, tak terbatasi dalam hanya suatu bidang pengetahuan tertentu saja.
Serangan atas intelektualisme dan pendekatan scientific bertambah lagi oleh Jacques Maritain. Ia berangkat dari reaksi agama – dalam hal ini Katolik – terhadap sains; misalnya serangan dari Ernest Renan, mantan imam Gereja Katolik yang mengembangkan kritik ilmiah atas teks Injil termasuk biografi Yesus; dan yang terbilang menyakitkan hati pihak Gereja yakni penerapan sistem negara hukum liberal-sekular yang sampai mengenakan pajak atas properti gereja bahkan aktivitas gerejani yang berkenaan dengan pendapatan finansial.
Dalam bidang filsafat, Maritain dirasuk oleh teori Bergson yang menunjuk payahnya dan sangat terbatasnya intelektualitas serta pendekatan scientific; meski kemudian ia mengaku meninggalkan Bergson dan menganut teologi-filsafat St. Thomas Aquino serta mengembangkan filsafatnya sendiri. Sistem dasar ilmu pengetahuan yang selama ini mendominasi sistem kesadaran umat manusia, menurut Maritain, merupakan metode yang sangat sempit. Itu disebut Maritain sebagai akibat reduksi filsafat pengetahuan dari metafisika menjadi hanya metode epistemologi rasionalistis, dan Descartes ditunjuknya sebagai contoh tipikal kecelakaan filosofis itu.
Sembari Maritain, dalam seluruh karya pemikirannya yang banyak itu, mendemonstrasikan metafisika yang sebaliknya sangat luas, sangat andal, termasuk lebih jelas dibanding pendekatan Descartes yang kita tahu mengandalkan kejelasan.
Metafisika yang mengandalkan intuisi eksistensial, pengandalan intuisi yang berlangsung dalam penghayatan eksistensial seorang subjek manusia konkret. Intuisi ini adalah persepsi aktif langsung, pemandangan yang amat sederhana dan alamiah tapi lebih unggul daripada penalaran diskursif, juga lebih unggul daripada metode fenomenologi. Metafisika yang di dalamnya inheren prosedur kritik. Metafisika yang lebih otentik dan sekaligus lebih praktikal. Eksistensialisme otentik, kata Jacques Maritain, menegaskan keunggulan eksistensi (sesuai perspektif Bergson) namun tetap melestarikan esensi kodrati (sesuai filsafat Thomas Aquino), dan secara demikianlah terwujudkan kemenangan tertinggi intelek serta kejelasan. Jadi, bahkan lebih pasti dibanding jalan rasionalnya Descartes dalam mencapai kejelasan pengetahuan.
Tapi lebih dari semua serangan terhadap rasionalitas, modernitas dan intelektualitas yang pernah diajukan, serangan dari filsafat Teori Kritis adalah yang paling radikal, paling ganas, serangan yang paling besar-besaran, dan paling penuh amarah untuk mencincang hancur. Gembong utamanya, Max Horkheimer (1895-1973), menggunakan ide Lukacs yang mengaitkan antara, di satu sisi, teori Max Weber tentang rasionalisasi yang oleh umumnya masyarakat dipersepsi sebagai kondisi yang membawa kebaikan sifat-sifat efisien dan obyektif, dan dari sisi lainnya, teori Marx tentang fetisisme.
Di dalam proses rasionalisasi itu, menurut Lukacs, sudah berlangsung ideologisasi atau pengenaan kesadaran palsu: manusia merayakan rasionalisasi sebagai prestasi budaya unggul humanisme tetapi yang sebetulnya terjadi tidak lain daripada dehumanisasi, reifikasi, hubungan antar-manusia yang sudah direduksi menjadi sama persis dengan hubungan antar pelbagai spare part kecil dalam suatu mesin industri.
Apa yang disebut Weber Zweckrationalität (rasionalitas bertujuan), dalam pengertian nilai yang boleh netral, oleh Horkheimer dilihat sebagai keniscayaan prosedur rasio yang tidak untuk lain kecuali untuk tujuan penimbunan laba dalam struktur dunia kapitalisme. Samasekali tidak mempertimbangkan kepentingan manusia dan kemanusiaan demi tercapainya tujuan materialistis itu; manusia dan kemanusiaan bahkan sudah dikomoditisasi, sudah seutuhnya menjadi obyek perdagangan.
Fasisme, tragedi Auschwitz, maupun eksperimen Komunisme, yang sama melumat berjuta-juta nyawa manusia, adalah sama-sama konsekuensi logis dari rasionalitas itu.
Horkheimer mengurai sangat rinci apa semua yang berlangsung di dalam proses rasionalitas. Di antaranya, pengetahuan rasional ternyata tidak ditujukan untuk perubahan menuju kebaikan. Sesuai amanat Descartes bahwa kejelasan adalah ukuran keberhasilan pembentukan pengetahuan, seperti dalam pengetahuan alam obyektif, bahkan sebagaimana amanat Bacon bahwa manusialah yang harus menyesuaikan diri dengan sifat-sifat alam obyektif itu agar manusia dapat memanfaatkan alam bagi kebutuhan manusia. Tetapi penerapan prinsip tersebut dalam ilmu sosial dan ilmu pengetahuan mengenai manusia, menurut Horkheimer, membuat kita hanya mengafirmasi realitas yang ada.
Sebagaimana khas positivisme, kita manusia hanya berfungsi sebagai pihak yang harus mengamini dan mengagungkan data yang terberi. Misalnya dalam ilmu sejarah, segala yang terjadi di masa lalu, termasuk pelbagai kejahatan kemanusiaan, mesti kita terima sebagai ‘kebenaran’ jika itu memang faktual, tetapi kecenderungan ini lantas menjadi sistem nilai budaya yang laknat, yang justeru sudah bertentangan dengan tujuan manusia mempelajari sejarah.
Dengan rasionalitas yang demikianlah maka, simpul Horkheimer, proyek Pencerahan justru menjadi gerhana yang paling gelap sepanjang sejarah umat manusia. Bahkan dalam Dialektika Pencerahan, karya bersama Horkheimer dan Adorno, diungkap betapa di dalam Pencerahan itu sendiri berlangsung mekanisme yang secara niscaya memustahilkan proses pembebasan manusia. Sistem rasio manusia hanya bekerja untuk mengafirmasi realitas yang ada, memikirkan kemungkinan lain adalah irasionalitas yang harus dibuang jauh-jauh. Malah sebaliknya, dengan watak filsafat positivisme, Pencerahan yang hendak menyirnakan kabut mitis justru mendatangkan mitos baru yang jauh lebih kuat membelenggu sistem kesadaran manusia, yaitu kuasa pasar dan teknik.
Para eksponen Teori Kritis, rekan serta pelanjut Horkheimer — sejak Theodor Wiesengrund Adorno, Herbert Marcuse, Walter Benjamin, Jurgen Habermas dan lain-lain — makin meradikalkan dan memperluas kritik budaya maupun konsep epistemologinya. Kritik budaya, yang sejalan dengan kritik dari para filsuf Romantik, tetapi dengan eksposisi detail yang lebih mengerikan dan menyeramkan, diajukan oleh Marcuse. Habermas menyingkap betapa ilmu pengetahuan dan teknologi sudah menjadi ideologi, sudah membentuk kesadaran palsu semua manusia modern; dan mengajukan jalan pembebasan melalui pemindahan proses rasio dari otak manusia individual ke proses sosial. Sementara epistemology Adorno mengajukan solusi berupa dialektika negatif. Pola kerja Teori Kritis ini diteruskan dengan pelbagai pengembangan radikal oleh para pemikir Post-Modernisme serta Post-Strukturalisme.
Masih ada lagi serangan terhadap saintisme, teknologisme dan rasionalitas-tradisional manusia modern yang penting untuk dicatat. Yaitu gerakan yang beriring dengan reaksi dari filsafat kebatinan Timur terhadap modernitas, sehingga justeru sangat digandrungi oleh banyak warga masyarakat modern Barat yang berbondong-bondong melakukan pengungsian kultural ke dalam pelbagai praktik kebatinan Timur, mistikisme, juga ke beberapa versi spiritualisme agama-agama besar Barat [yang semakin irasional dan bernuansa misteri justru akan makin dinilai tinggi, lantaran mengalami kegersangan batin akibat industrialisme dan saintisme.
Sangat banyak guru spiritual dalam gelombang dari Timur ini, banyak dari mereka adalah pribadi-pribadi dengan integritas yang mengkristal sangat keras nan berkilau, tetapi seorang Krishnamurti sudahlah representasi yang paling memadai untuk kita simak. Selama lebih setengah abad, dan secara sangat intens, Jiddu Krishnamurti (1895-1986) menggumulkan masalah-masalah mendasar dalam pendidikan, hakikat kecerdasan, kesadaran manusia, kebudayaan, pengetahuan, dan kritik terhadap modernitas maupun pelbagai bentuk ajaran tradisional atau agama yang mendangkalkan sistem mental umat manusia. Tepatnya Krishnamurti kita pilih sebagai representasi pemikiran Timur karena ia dengan konsisten bertumpu pada sistem pendekatan asli kebatinan Timur untuk didialektikakan di tengah kehidupan real kontemporer, demi mencapai simpulan-simpulan di taraf tinggi dan lebih tinggi lagi.
Dalam karya-karya pemikirannya mengenai pendidikan yang ia ceramahi dan publikasi secara gencar sejak 1950-an, Krishnamurti mengungkap bahwa akar kegagalan seseorang menjadi manusia seutuhnya, menjadi manusia yang tereduksi, sempit, nalar serba terbatas, lantaran tidak mengembangkan kepekaan. Manusia hidup tanpa perhatian mendalam terhadap segala sesuatu, sehingga mendangkalkan seluruh sistem mentalnya (kesadaran, perasaan, pikiran). Kesukaran untuk mengembangkan kepekaan itu bertambah di zaman modern dimana pengetahuan teknologi, mengejar uang, mengejar status-status formal dalam kehidupan sosial termasuk mengejar status tinggi melalui gelar-gelar akademis formal. Tercetaklah manusia-manusia machinal yang mengagumkan, akibat kekaguman personal mereka sendiri yang berlebihan pada teknologi mesin-mesin. Manusia-manusia sempit, serba terbatas, dan lebih banyak menderita.
Di puncak kematangan pemikiran dan kearifannya, tahun 1983, Krishnamurti melakukan dialog dengan David Bohm mengenai pikiran manusia serta masa depan spesies ini. David Joseph Bohm (1917-1992) adalah ahli fisika modern, penemu sejumlah dalil mekanika quantum, juga penemu beberapa teori di bidang neuropsikologi dan teori sistem pikiran manusia. Diskusi Krishnamurti-Bohm yang saling melengkapi itu sudah berlangsung lebih dua puluh tahun sebelumnya. Ini teori kumulatif Krishnamurti: karena pengalaman manusia selalu terbatas [keterbatasan inderawi, keterbatasan historis dan keterbatasan penelitian] maka pengetahuan pun terbatas; pengetahuan terbatas maka keandalan pikiran pun terbatas; pemikiran terbatas maka sistem kesadaran manusia pun terbatas.
Dalam keterbatasan pemikiran ini, ide yang hendak dilaksanakan hanyalah: pembatasan berupa pemecahbelahan ke dalam keping-keping terpisah, dan pengulangan yang sudah anakronistis. Artinya, ide yang diajarkan atau diterapkan sudah pasti tak memadai kebenarannya, walau dari sudut pandang kepentingan keterpecahbelahan itu bisa ada benarnya.
Ide yang sempit itulah justru dipaksakan bahkan untuk ditotalisasikan. Maka sang makhluk-berpikir, yang selama ini dianggap sebagai makhluk paling mulia karena faktor pikirannya itu, justru menjadi makhluk paling berbahaya!
Kontinutas sejarah munculnya secara bertubi-tubi reaksi filosofis terhadap saintisme serta modernisme ini tidak saja mengendapkan opini di dalam persepsi masyarakat luas melainkan pula secara sangat kuat mendesakkan preferensi kepada para pemikir filosofis dari generasi ke generasi.
Kendati para filsuf yang terdorong untuk menyerang saintisme, intelektualisme dan modernisme itu saling berbeda dalam banyak hal, bahkan perbedaan yang bersifat fundamental, tetapi secara alami setiap pemikir dalam gerakan yang memiliki musuh untuk diserang itu akan cenderung melihat pendahulunya sebagai preferensi penting dari kawan sekutu, sehingga makin melebarkan persekutuan yang berarti menambah juru bicara yang makin lantang. Horkheimer dan Adorno, kendati bertumpu pada Marxisme yang materialistik, tapi ternyata mereka merasa penting untuk menunjuk bukti keterbatasan rasionalitas pada tergusurnya peran roh, mengulangi jalan reaksi awal terhadap sains yang diajukan oleh agama-agama tua. Herbert Marcuse mengulangi jalan pendekatan kritik budaya dari para pemikir Romantik. Krishnamurti menyuarakan ulang tragedi sistem sains dalam pendidikan masyarakat modern yang diungkap oleh Whitehead tentang gejala reduksionisme akibat spesialisasi yang diagungkan sampai menjadi generalisasi, dan kelak diteriakkan lagi oleh ahli psikologi dan filsuf populer Viktor Frankl secara lebih tajam dan lantang. Maritain membangkitkan kembali reaksi umat beragama terhadap arogansi rezim saintisme.
Pembedahan oleh Whitehead atas pengaruh rasionalisme Descartes yang membentuk budaya saintisme yang mengerdilkan kemanusiaan sudah dijadikan ayat-ayat suci yang terus diulang-ulang oleh banyak sampai dalam era pasca-modern.
Saling merujuk antar-para filsuf penyerang saintisme, intelektualisme dan modernisme itu telah membentuk gumpalan besar ideologi. Menjadi sub-kultur besar berupa budaya-kontra yang condong menjadi preferensi utama di sangat banyak kalangan yang kalah dalam arena konkurensi pasar bebas kapitalisme global maupun sebagian terbesar populasi dunia yang tercecer dalam perlombaan penguasaan sains serta teknologi. Dalam gelombang besar ideologis kaum kalah ini, sentiment komunalisme reaktif memperoleh artikulasinya dalam budaya-kontra; termasuk di sini revival pelbagai kepercayaan tribal yang sekarang unsur-unsur irasionalnya terlegitimasi oleh logika iman dari agama-agama besar. Juga termasuk luarbiasa larisnya segala wacana ‘emotional quotient’ dan ‘spiritual quotient” berkat pemosisiannya sebagai lawan diametral dari Intelligence Quotient, bahkan lebih unggul daripada IQ.
Demikianlah semua penentangan terhadap dampak sains, rasionalitas dan intelektualitas sudah menggumpal menjadi satu ideologi besar, yang memperanakkan terus pelbagai teori yang semuanya mesti menjadi ideologis lantaran lahir serta tumbuh dalam spririt reaktif dan permusuhan. Tetapi, sesungguhnya, semuanya salah kaprah. Realitas yang mereka tunjuk sebagai bukti memang adalah celaka kemanusiaan dan yang menjadi kutuk peradaban, tetapi analisis tentang penyebabnya, apalagi akar-akar penyebabnya, tidaklah sesederhana yang mereka teorikan.
Bahkan pelbagai kritik atas semua kritik mereka pun sebenarnya tidak memadai, tidak sesederhana yang selama ini diajukan; bahkan ketika para pengkritik Teori Kritis menyalahkan penolakan terhadap pengandalan rasio serta intelektualitas, itu pun tidaklah sepenuhnya benar.
[Demikian pula filsafat Descartes tidaklah sesederhana, apalagi sesempit dan menyempitkan, sebagaimana selama ini ia dijadikan sasaran kritik, sebagai dosa-asal rasionalitas, sains dan modernitas. Bahkan rasionalismenya tidaklah sesederhana dan sesempit seperti yang selama ini, bahkan sebelum Kant, dikira. Karena dengan memfungsikan materi sebagai substansi dan satu-satunya domain di ruang real, di samping substansi kesadaran — apapun istilah bernilai rendah mengenai itu, seperti “dualisme” — Descartes justru lebih sempurna dibanding umumnya filsuf besar dalam abad-abad dekat sebelum dan sesudahnya.]
Penjelasan lengkapnya dalam buku Hakikat Etika Bab V Sub-Bab Kebudayaan/Pendidikan. (*)