11 November 2021
Sebagai bangsa beradab dan berkemanusiaan, negara dan kita semua wajib melindungi dan memastikan setiap orang bebas dari ancaman dan tindakan kekerasan seksual.
Oleh: Sulistyowati Irianto
Penilis adalah Co-founder Mata Kuliah Gender dan Hukum
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Sumber Gambar: sexual violence
UNIVERSITAS di Indonesia tidak henti-hentinya dirundung malang. Belum selesai urusan semakin merosotnya kebebasan akademik dan demokrasi di kampus dengan segala dampaknya, sekarang mencuat isu kekerasan seksual yang korban umumnya adalah para mahasiswi.
Lembaga paling terhormat, penjaga gerbang kebenaran di hati masyarakat, ternyata menyimpan kejahatan yang paling memalukan: kekerasan seksual, yang begitu disembunyikan, tertutup rapat bisa puluhan tahun. Mengapa?
Pelakunya umumnya dosen pengajar, pembimbing skripsi atau disertasi, pembimbing akademik, termasuk profesor. Mereka memiliki kuasa amat besar terhadap mahasiswa, bisa menentukan kelulusan, dan berapa nilainya. Mahasiswa ini bisa S-1, S-2, bahkan S-3.
Lalu apakah para pelaku ada yang dihukum atas perbuatannya? Amat jarang, bahkan yang sampai ke meja hijau hampir tidak ada. Mengapa? Karena tidak ada instrumen hukum yang mengaturnya. Secara politik, pengakuan terhadap terjadinya kekerasan seksual di kampus bisa memalukan institusi.
Menyembunyikan dan membiarkan adalah jalan aman yang umumnya ditempuh. Para orangtua menguliahkan anaknya agar menjadi pintar, tetapi ada saja yang malah jadi korban. Ternyata kampus bukan tempat aman bagi mahasiswa. Survei Jakarta Post, 2019, menunjukkan 96 persen korban mahasiswi. Predator seksual ada di setiap sudut kumpus, bersembunyi dalam selubung etika moralitas yang palsu dan hipokrit.
Negara adalah institusi yang paling bertanggung jawab melindungi korban kekerasan seksual, termasuk mahasiswa di kampus. Sampai sekarang tak ada perlindungan hukum memadai bagi korban. Hukum pidana tak cukup, karena menempatkan kekerasan seksual hanya sebagai tindak kejahatan kesusilaan.
Kejahatan kemanusiaan
Kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan karena korbannya bisa kehilangan nyawa, cacat atau trauma seumur hidup. Hukum Acara Pidana tak mendukung korban, membebankan pembuktian kepadanya; dan sulit dipenuhi karena korban biasanya baru berani melapor lama sesudah kejadian, dan bukti sudah hilang.
Terdapat ribuan korban setiap tahun, dan Komnas Perempuan melaporkan tahun 2020 saja terdapat sekitar 8.000 kasus — yang tidak dilaporkan jauh lebih banyak. Sekitar 5.000 di antaranya dilakukan pelaku yang seharusnya melindungi korban, seperti ayah, abang, paman (inses), selain juga guru sekolah, guru agama, dosen, dan polisi. Masa pandemi korban inses meningkat.
Belum lama ini terbit Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 30 Tahun 2021 yang bertujuan melindungi para mahasiswa dari kekerasan seksual. Kondisi zero tolerance kekerasan seksual di kampus, yang digagas permendikbud ini sangat ditunggu. Setidaknya pada 2019 terdapat 174 kasus di 79 kampus di 29 provinsi.
Pelakunya dosen, mahasiswa, staf, tokoh agama di kampus, dokter di klinik kampus, dan warga lain. Korbannya 96 persen adalah mahasiswi. Sebanyak 20 persen tak melapor dan 50 persen tak menceritakan pada siapapun (Vice Indonesia, Tirto, Jakarta Post, 2019).
Namun, apa yang terjadi? Ada saja yang menolak permendikbud ini, padahal ia satu-satunya perisai hukum bagi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Penolakan digemakan disertasi tafsir dan sentimen politik identitas yang merugikan korban. Marilah kita membaca apa yang dirumuskan dalam peraturan ini.
Pengertian Dasar
Kita mulai dari pengertian dasar kekerasan seksual di Pasal 1 (1); dan penjelasan rinci tindak kejahatan kekerasan seksual di Pasal 5 (1-5). Pasal 1 (1) merumus kan kekerasan seksual sebagai: “Setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan atau menyerang tubuh dan atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.”
Definisi ini menjelaskan dengan sangat terang tindakan kekerasan seksual yaitu (a) merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan atau fungsi reproduksi seseorang, (b) dalam kondisi ketimpangan relasi kuasa atau ketimpangan gender, (c) berakibat menderitakan korban secara psikis, fisik, mengganggu kesehatan reproduksi dan kesempatan belajar dengan aman dan optimal. Definisi ini nampak dikonsepkan berdasarkan berbagai kasus dan pengalaman korban di lapangan, yang jumlahnya ribuan itu.
Berikutnya Pasal 5 (1-5) yang memuat (a) ruang lingkup, (b) rincian tindak kekerasan seksual, dan (c) kondisi ketika tindak kekerasan seksual harus tetap dianggap sebagai kejahatan dengan mengabaikan unsur consent ketika korban di bawah umur, sakit, tak berdaya, rentan karena berbagai alasan yang dijelaskan.
Pertama, tindakan mencakup kekerasan verbal, non-fisik, fisik, dan yang dilakukan melalui teknologi digital di Pasal 5 (1). Kedua, rincian tindakan kekerasan seksual di Pasal 5 (2) meliputi: (a) menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan atau identitas gender korban; (b) memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban; (c) menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan atau siulan yang bernuansa seksual pada korban; (d) menatap korban dengan nuansa seksual dan atau tak nyaman; (e) mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban.
Kemudian, (f) mengambil, merekam, dan atau mengedarkan foto dan atau rekaman audio dan atau visual korban bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; (g) mengunggah foto tubuh dan atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; (h) menyebarkan informasi terkait tubuh dan atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; (i) mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan atau di ruang yang bersifat pribadi.
Selanjutnya, (j) membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban; (k) memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual; (l) menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban; (m) membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban, memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual; (o) mempraktikkan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan yang bernuansa kekerasan seksual.
Kemudian, (p) melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi; (q) melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin; (r) memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi; (s) memaksa atau memperdayai korban untuk hamil; (t) membiarkan terjadinya kekerasan seksual dengan sengaja; dan atau melakukan perbuatan kekerasan seksual lainnya.
Jelas bahwa rincian tindakan yang dirumuskan dalam Pasal 5 (1) dan Pasal 5 (2 huruf (a-q) didasarkan pada kasus-kasus nyata pengalaman korban.
Bahkan, perkembangan kejahatan seksual masa kini melalui digital, dimasukkan di dalamnya. Para pendamping korban, penekun studi perempuan, hukum dan ilmu sosial lain, dokter serta ahli forensik sangat mengerti betul, memang tindakan semacam itulah yang terjadi dan dialami korban. Terutama tentu saja korban dan keluarganya yang dapat merasakan semua penderitaan.
Persetujuan Korban
Ketiga, soal persetujuan korban, khususnya pada Ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal korban dalam situasi: (a) memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (b) mengalami situasi di mana pelaku mengancam, memaksa, dan atau menyalahgunakan kedudukannya; (c) mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan atau narkoba; (d) mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur; (e) memiliki kondisi fisik dan atau psikologis yang rentan; (f) mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan atau (g) mengalami kondisi terguncang.
Bagian ini yang paling menimbulkan kegaduhan. Padahal, maksud pasal itu adalah tindak kejahatan seksual ini harus tetap dianggap terjadi, dan persetujuan korban harus diabaikan, ketika ia berada dalam kerentanan. Bukankah semua ini memang benar-benar terjadi?
Kerentanan korban karena dia di bawah umur atau karena dieksploitasi pelaku yang lebih berkuasa atas dirinya, diancam, dan tak berdaya karena berbagai tipu daya pelaku, termasuk diberi obat agar mabuk, kehilangan kesadaran, sakit, tertidur, memiliki kondisi fisik dan psikologis rentan, kecacatan sementara, atau dalam kondisi terguncang. Banyak laporan dicatat oleh organisasi pendamping korban, bantuan hukum, dan tersiar di media masa dan sosial tentang situasi korban saat tindakan terjadi.
Barangkali yang diinginkan adalah agar peraturan ini dilengkapi larangan terhadap tindakan seksual di luar institusi perkawinan. Tentu saja tak bisa diatur di sini, karena peraturan ini khusus ditujukan secara khusus untuk korban kekerasan seksual di kampus.
Lagi pula tindakan seksual di luar perkawinan sudah lama diatur di hukum pidana kita yang umurnya sudah 150 tahun.
Mari kita bertanya kepada diri masing-masing dengan jujur, apakah kita memerlukan permendikbud ini untuk tujuan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang menimpa anak-anak kita di kampus? Karena kejahatan ini bisa menimpa siapa saja, termasuk anak-anak dan keluarga kita sendiri setiap saat.
Sebagai bangsa beradab dan berkemanusiaan, maka negara dan kita semua wajib melindungi dan memastikan setiap orang bebas dari ancaman dan tindakan kekerasan seksual. (*)