Medio 2007
Refleksi Kemanusiaan
Oleh: Emmy Sahertian
Editor: Daniel Kaligis
Gambar: Grasberg open pit – Mining Technology
…Akan sangat sulit bagi masyarakat Papua yang sederhana mengakses segala kemudahan ini, kecuali hanya menonton sebagai orang asing…
Sejak Kontrak Karya Pertama, tahun 1967, misteri eksplorasi ini selalu dipertanyakan masyarakat, terutama orang-orang Amungme yang saat itu tidak memahami apa yang sedang terjadi dengan gunung-gunung sucinya yang selama ini diakui sebagai ‘Kepala Mama’.
MEMASUKI area konsesi PT Freeport Mac Moran di Mimika, Papua, kita akan menyaksikan sebuah pentas tekhnologi eksplorasi tambang yang komprehensif, canggih dan mendunia di mulai dari area pendukung yakni pengembangan kota Kuala Kencana, di daerah dataran rendah, bersisian dengan kota Timika, area Hiding Valley yang rapih dan indah di ketinggian 1000-an meter, dan kota Tembagapura yang eksotik dengan barisan rumah dan barak karyawan yang rapih.
Sistem dan tata kota yang canggih serta modern terutama model perumahan karyawan yang rapih, bersih, penggunaan alat rumah tangga modern dengan sistem digital, juga pekarangan berwawasan lingkungan yang asri.
Proteksi keamanan daerah ini sangat ketat, bahkan ketika ingin belanja ke Supermarket kita perlu menebus kartu identitas yang rata-rata berharga Rp. 300.000. Oleh karena itu akan sangat sulit bagi masyarakat Papua yang sederhana mengakses segala kemudahan ini, kecuali hanya menonton sebagai orang asing.
Menuju ke ketinggian Tembagapura, pembangunan jalan dan sistem pengaspalan yang menggunakan tailing telah mencapai puncak Grassberg di ketinggian 4000-an menjadi petanda bahwa alam Papua yang sulit ditembus itu ternyata dapat ditaklukan melalui sentuhan tekhnologi yang sangat canggih ini.
Sesuatu yang ironis bila kita harus membandingkannya dengan kehidupan sederhana masyarakat Mimika yang berjejal di rumah-rumah sederhana, dan kehidupan kota Timika yang sistem transportasi dan jalannya masih banyak berlubang serta tata ruang kota terkesan asal bangun.
Lalu, di kota ini hidup seorang teman Papua asli dari daerah Paniai, tinggal bersama keluarga pada sebuah rumah sewaan di perkampungan kota yang sempit milik seorang pendatang, menyadarkan kita bahwa keterasingan masyarakat Papua telah membuat mereka tertinggal jauh di belakang dalam mengejar dan merebut kehidupan yang mestinya bisa dicapai setara dengan para karyawan Freeport dan para pendatang.
Untuk apa, dan untuk siapa pertambangan ini?
Mungkin ini sebuah pertanyaan konyol, dan pertanyaan yang sangat terlambat muncul, karena eksplorasi sejak tahun 1967 – 1991, Kontrak Karya I dibuat untuk eksplorasi Tembaga dan Kontrak Karya II 1991-2021 untuk emas, perak, dan tembaga dengan luas lahan 2,6 juta ha, telah berlangsung dan sedang berlangsung.
Eksplorasi Estberg sudah selesai dengan menghabiskan satu gunung penuh, kemudian Gunung bijih Timur dengan Deep Or Zone dan Intermediate Or Zone (DOZ & IOZ), Big Gossan, Grassberg Pit dan Grassberg Underground, Deep Or Mining (DOM) dan daerah Kucing Liar sudah diexplorasi.
Dari semua eksplorasi ini telah dibuktikan bahwa kandungan yang berkualitas adalah Grassberg — baik yang open pit, maupun undergound.
Eksplorasi di Grassberg sudah mencapai kedalaman kira-kira seribu meter membentuk spiral raksasa dengan diameter lebih dari 2-4 km, mendekati dinding Cartens dan sangat dekat dengan gletser, puncak salju Nemangkawi abadi yang agung itu, menyasar 160 juta ton ore (tanah tambang) dengan kandungan emas 1.27.ppm, 2,90 ppm perak dan 1.o6% tembaga. Juga eksplorasi underground yang menyasar 670.846 ton dengan kandungan emas 1.09 ppm, perak 3.81 ppm dan tembaga 1.22%. Masih banyak misteri yang terkandung dalam konsentrat yang digerus dari Grassberg.
Sejak Kontrak Karya Pertama, tahun 1967, misteri eksplorasi ini selalu dipertanyakan masyarakat, terutama orang-orang Amungme yang saat itu tidak memahami apa yang sedang terjadi dengan gunung-gunung sucinya yang selama ini diakui sebagai ‘Kepala Mama’.
Setelah tiga puluh tiga tahun masa eksplorasi, barulah ada ‘A Special Voluntary Trust Fund Agreement’ antara PT-FI dengan masyarakat Amungme dan Kamoro yang daerahnya berada pada daerah konsesi eksplorasi. ‘A Special Voluntary Trust Fund Agreement’, total nilainya $ 2.5 juta, di mana sekitar $ 1 juta sudah dikucurkan.
Ada persoalan kultural yang belum selengkapnya diselesaikan yakni persoalan tanah ualyat yang telah menimbulkan konflik dan kekerasan. Pemahaman kultural menempatkan masyarakat sebagai pemilik tanah berhadapan dengan pemahaman politis, bahwa ini adalah aset negara.
Fakta membuktikan bahwa kekayaan alam yang luar biasa berkualitas ini belum menyejahterakan masyarakat sekitar, bahkan lebih banyak menimbulkan bencana bagi mereka ketika terjadi peluapan di danau Wanagon. Dampak limbah tailing yang merusak ekosistem serta semakin ganasnya malaria dan TBC, dan kini HIV dan AIDS.
Mereka teralienasi dari sebuah harmonisasi alam yang mungkin kalau tidak dieksplorasi lebih mensejahterakan dan menyehatkan mereka. Pertanyaannya: siapakah yang paling diuntungkan dan disejahterakan?
Planet Asing
Berdiri di Over Look tertinggi dengan nama asing seperti Puncak Manado dan Puncak Surabaya, anda bagaikan seekor semut kecil di depan corong besar yang meraung-raung karena pantulan bunyi mesin diesel pembangkit listrik yang mensuplai energi bercampur dengan bunyi ratusan mobil pengeruk seperti catterpillar, baik yang ukuran paling besar maupun yang sedang yang bergerak sepanjang lingkaran spiral untuk mengangkut bahan-bahan pilihan atau Or.
Emas, tembaga dan perak merupakan tiga elemen mineral bumi yang diexplorasi secara eksploitatif. Hal yang menakjubkan ketika kita memasuki area mill di mana proses penggilingan or, hingga proses pengapungan tiga bahan penting: emas, perak dan tembaga. Sekitar delapan puluh persen dari hasil eksplorasi diproses menjadi konsentrat sementara dua puluh persen lainnya dibuang bersama tailing mengaliri sungai Aikwa dan Otomona dengan anak-anak sungai lainnya.
Sungai-sungai, yang dalam pemahaman spiritual Amungme adalah ‘Air Susu Mama’ yang mengalir dari dua gunung Erstberg dan Grassberg.
Pentas tekhnologi tinggi ini membuat area konsesi PT-FI ibarat sebuah planet asing dengan populasi pendatang bak terdampar di bumi Amungme yang sangat sederhana. Para pegawai pendatang dan expatriat memiliki wewenang yang besar dalam menentukan kebijakan, ketiban para karyawan asli yang hadir sebagai orang asing di dunia lain.
Dunia yang sangat berbeda jauh dengan kota Timika yang tertinggal itu. Misalnya di Open Pit ekspolrasi, di mile tempat pemrosesan konsentrat, underground eksplorasi, maintenance, domestic affair seperti pengurusan barak dan katering.
Kami sempat menyaksikan saat perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus, hampir semua poster heroik yang dibentangkan tidak ada gambar orang Papua yang mempengaruhi pemandangan yang betul-betul asing bagi masyarakat asli Papua. Sangat terasa bahwa nasionalisme Indonesia begitu asing bagi masyarakat Papua yang ada di dalam area ini.
The Other side of Portsite
Pelabuhan Portsite adalah tempat pengangkutan konsentrat kering dari hasil bersih tambang emas, perak, dan tembaga yang langsung dikapalkan ke negara tujuan. Di depan pelabuhan ini kira-kira lima ratus meter dari pelabuhan terdapat kampung Karaka orang Komoro yang tinggal di rumah panggung sangat sederhana dan miskin di atas laut.
Sekitar lebih dari lima puluh keluarga dengan jumlah populasi lima ratus orang mendiami gubuk-gubuk kumuh yang tidak sehat.
Sebagian besar anak-anak tidak bersekolah dan bermain di rumahnya atau bersampan di sekitar pemukiman mereka. Masyarakat ini pernah ditawari untuk relokasi ke daratan namun mereka menolak karena akses air bersih dan fasilitas kesehatan perusahaan yang dekat dengan pemukiman dapat dimanfaatkan dengan cepat dibandingkan tempat yang disediakan jauh dari kemudahan fasilitas pokok tersebut.
Kesulitan yang lain adalah semua orang Kamoro ini adalah nelayan tradisional yang kultur dan habitatnya adalah laut sehingga sulit berpindah ke daratan dan mengganti mata pencaharian sebagai petani daratan.
Persoalan yang lain adalah terdapat banyak kapal penangkap ikan illegal dari negara Thailand dan negara tetangga lainnya yang tertangkap polisi air sementara berlabuh di dermaga khusus penahanan kapal illegal. Kapal-kapal ini bisa berlabuh berminggu-minggu dan dilepaskan bila sudah ada penyelesaian.
Meskipun para awaknya dilarang turun ke daratan namun masyarakat yang datang untuk menjual makanan dan minuman serta mengadakan prostitusi tersembunyi cukup marak. Interaksi ini diduga merupakan salah satu pemicu tingginya angka HIV – AIDS di Timika, di samping maraknya pelacuran melalui kafe-kafe dan warung-warung yang tersebar di kota Timika dan sekitarnya. Kasus tertinggi HIV-AIDS tertinggi di Papua adalah di kabupaten Mimika atau Timika. Kanwil Provinsi Papua mendatakan jumlah yang terlaporkan tertinggi di Mimika hingga Juni 2006, ada 1.019. 200 kasus.
Dari refleksi ini, bagi saya yang tersisa cuma pertanyaan: Dapatkah mereka sejahtera? Dapatkah orang Papua mengejar ketertinggalan, paling tidak taraf hidup mereka bisa setara dengan komunitas PT Freeport? Bilamana itu terlaksana, ataukah hanya merupakan sebuah kemustahilan? Entah. (*)