03 Oktober 2019
Oleh: Bivitri Susanti
Penulis adalah Researcher
Di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
DASAR HUKUM Perppu ada di Pasal 22 UUD 1945, dan sebenarnya sudah sering dipergunakan.
Pasal 22 UUD: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.”
Mahkamah Konstitusi kemudian memberikan penafsiran atas Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010, disebutkan adanya tiga alasan lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Kalaupun undang-undang tersebut telah tersedia, itu dianggap tidak memadai untuk mengatasi keadaan.
Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu cukup lama. Padahal, keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan sesegera mungkin.
Perppu juga bukan anomali. Banyak Presiden pernah menggunakan hak ini. Pada empat periode pemerintahan Presiden Soekarno ada 144 Perppu ditetapkan. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto sebanyak 8 Perppu, Presiden B.J. Habibie sebanyak 3 Perppu, Presiden Abdurrahman Wahid 3 Perppu, Presiden Megawati 4 Perppu, Presiden SBY 20 Perppu dan Presiden Jokowi 2 Perppu (sumber: http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/…/3000-peraturan-pemerint…).
Pak Jokowi sendiri pernah misalnya mengerluarkan Perppu kebiri dan Perppu Ormas (dikenal dengan “Perppu HTI” krn dibuat utk membubarkan HTI).
Ini hanya contoh untuk menunjukkan bahwa ini memang lazim dan sudah digunakan. Jadi janganlah beberapa orang kemudian tetiba merasa bahwa Perppu itu inkonstitusional. Mungkin ‘perasaan’ ini muncul karena kalau soal KPK memang banyak menyentuh hajat hidup para elite politik. Kalau Perppu lain dianggap tidak masalah, begitu soalnya KPK langsung kebakaran jenggot (kayaknya salah satu yang ngomong memang kebetulan berjenggot).
Apakah ada hal ihwal kegentingan memaksa sampai perlu keluar Perppu, itu memang pertimbangan subyektif presiden, yang kemudian akan menjadi ‘obyektif kalau DPR menerimanya sebagai UU. Kok DPR lagi? Ya karena Perppu kemudian harus dibahas oleh DPR untuk diterima atau tidak diterima sebagai UU segera setelah DPR bisa bersidang. Kok begitu? Karena materi muatannya adalah materi muatan UU, ‘logika’nya, harus ada persetujuan wakil rakyat untuk itu.
Yang perlu diingat, ‘hal ihwal kegentingan memaksa’ itu berbeda dengan keadaan ‘darurat’. Itu berbeda lagi kerangkanya dan ada ukurannya di UU 23/Prp/1959, ada darurat sipil, militer, dan perang. Jadi, jangan kait-kaitkan dan berhalusinasi bahwa demo-demo ini sengaja supaya darurat dan keluar Perppu. Bukan itu! Tapi presiden yang baik adalah yang responsif: peka terhadap tuntutan masyarakat dan langsung melakukan tindakan konstitusional yang bisa dilakukannya.
Presiden bisa dijatuhkan kalau keluarkan Perppu? Salah!
Tidak seperti sebelum amandemen UUD 1999-2002, sistem presidensil kita sekarang lebih konsisten, dengan Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dan punya masa jabatan yang jelas, tidak bisa dijatuhkan di tengah masa jabatannya karena alasan politik. Jadi berbeda kerangka konstitusionalnya dengan, misalnya, waktu Presiden Gus Dur dijatuhkan oleh MPR. Presiden hanya bisa dijatuhkan untuk alasan-alasan hukum dan melalui proses panjang.
Saya salin saja di bawah ya pasal-pasalnya, supaya jelas.
Jadi begitu ya, janganlah bikin narasi-narasi yang menyesatkan dan ‘menakut-nakuti’ presiden dan para pendukungnya bahwa kalau Perppu keluar Presiden bisa dijatuhkan. Tidak semudah itu, Ferguso!
Salinan UUD 1945
Pasal 7A UUD 1945
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ***
Pasal 7B UUD 1945
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. ***
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. ***
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat ***
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi. ***
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. ***
(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut. ***
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. ***