Monday, May 6

Pemilihan Umum a la Republik Wanua


Medio, April 2019


Oleh: Daniel Kaligis


PILIH UKUNG di Wanua, orang-orang berbaris di belakang para kandidat. Barisan mana paling panjang, maka otomatis kandidat tersebut jadi Ukung, Pemimpin Wanua, Kepala Kampung. Ini riwayat tua Makatana yang tak ada dalam prasasti, dan jadi hikayat manakala Minahasa berindonesia hari ini.

Jika demokrasi adalah tujuan bersama, mengapa kita tidak mengevaluasinya? Jangan-jangan negeri kita ini sementara mengidap paradox democracy yang membikin begitu banyak kegilaan baru.

Tajuk lama kurang evaluasi, kita selalu memilih pemimpin, lalu rakyat terpecah karena konflik. Wajah politik Indonesia, dari pusat kuasa hingga carang-carangnya di daerah merona banyak warna. Tak kenal malu pada perpecahan anak bangsa yang terus bertikai karena berbagai sebab, salah satunya karena sengketa bertajuk pemilihan kepala kampung, pemilihan walikota, pemilihan bupati, pemilihan gubernur, dan pemilihan kepala negara.

Entah kegilaan sebab belajar proses berdemokrasi ini akan jadi permanen. Sementara gerak pencederaan demokrasi oleh sebagian elit negara sangat kentara dalam praksis saling rampas kursi kekuasaan.

Dalam tulisan ini saya memilih gunakan kata wanua’, kata yang setara dengan ‘desa’. Bukan untuk mengelak dari alasan, bahwa di bagian lain dunia ada kata ‘desa’ beda makna. Di California sekitar tahun 2005 ada grup band terkenal bernama DESA. Band rock dari Oakland ini bergenre punk rock dan alternative rock. Saya menyukai sajak-sajak Persia yang mereka nyanyikan dari album ketiganya, The Ocean and the Sun.

Terminologi ‘wanua’, pilihan kata yang saya gunakan dan akrab di kampung saya. Wanua adalah wilayah administratif yang di negara kita disebut desa. Di Indonesia, struktur desa berada di bawah kecamatan. Kepala pemerintahannya disebut Kepala Desa, di Minahasa disebut Hukum Tua, biasa dipanggil Kumtua.

Desa adalah kumpulan beberapa unit permukiman kecil yang disebut kampung. Istilah ini dikenal di Banten, Jawa Barat, dan sekitarnya.

Lain wilayah menyebutnya dengan istilah berbeda. Di Yogyakarta dan beberapa lokasi di Jawa Tengah disebut dusun. Orang Bali menyebutnya banjar. Di Sumatra Barat dibilang jorong.

Kepala Desa disebut dengan nama lain. Orang Cirebon menyebutnya Kuwu. Di Madura disebut Klèbun. Di Kalimantan Selatan disebut Pambakal. Di Kalimantan Timur dibilang Kepala Kampung atau Petinggi.

Pengalaman di Wanua

Saya mulai dari Wanua, suatu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem negara ini.

Ingat suasana pemilihan HukumTua di wanua-wanua di Minahasa. Orang-orang menyanyi bersorak, ‘Apitoria, apitoria | ence rewe rewer bombom | apitoria, apitoria | ence rewe rewer bombom’.

Tembang ‘Apitoria’ itu sering saya dengar. Kadang lagu ini dibuat semacam sindiran ketika ada kampanye pemilihan Hukum Tua di masa Orde Baru. Semisal ada dua kandidat bersaing di satu wanua, umpamanya kandidat pertama Denni Pinontoan, kandidat kedua saya, Daniel Kaligis. Maka, pendukung dan kerabat Pinontoan akan menyanyi seperti berikut ini:

Pinontoan jadi kumtua | ence rewe rewer bombom | Kaligis jadi meweteng | ya hura hura | apitoria nona | apitoria, apitoria | ence rewe rewer bombom”.

Artinya, Pinontoan saja yang jadi Hukum Tua, dan Kaligis cukup jadi pembantunya: Meweteng, tukang bagi, tukang ukur tanah, dan pelaku tugas-tugas di bawah Hukum Tua.

Jabatan Hukum Tua memang segalanya di wanua. Hukum Tua selalu menerima undangan dalam tiap pesta wanua, diberi tempat duduk khusus sebagai ‘kepala meja’. Pihak keluarga penyelenggara pesta akan memulai acara bila Hukum Tua sudah datang.

Meweteng bekerja di bawah Hukum Tua, tugasnya mengukur tanah dan mendistribusikan tugas-tugas di bawahnya terkait penyelenggaraan proses pemerintahan sederhana di wanua.

Orang-orang bersuka bila ada pemilihan Hukum Tua. Kandidat memasang bangsal besar di rumahnya. Saban malam ada pesta, siapa saja boleh datang berkunjung ke rumah dan bangsal para kandidat yang mencalonkan diri ingin jadi Hukum Tua. Keluarga dan kerabat si kandidat menyiapkan makanan, kueh, kopi, teh, saguer, cap tikus, dan lain-lainnya.

Di bangsal itu orang-orang berdiskusi, mereka menyebut akivitas diskusi itu sebagai ‘bacirita’. Ada yang bermain kartu, duduk berkelompok-kelompok, berdiri berkelompok-kelompok, bernyanyi, berjoget, baku tunjung jago, kadang ada juga yang berkelahi.

Walau, tentu masih ada orang-orang baik yang menanam kepedulian dan praksis ‘memberi’ sebab kesadaran sebagai manusia mahluk semesta yang punya keniscayaan saling bantu, ide dan materi.

Sa kouw pa’ar mamuali kumtua, tumanen pola lake-laker,” tutur Marthen G. Warbung.

Mendiang Marthen G. Warbung adalah tokoh yang saya hormati di wanua. Puluhan tahun dia memerintah sebagai Hukum Tua di wanua Paslaten, Remboken, tanah Minahasa. Di pertengahan era 90-an, ketika berkuliah dan kemudian ‘nganggur’, saya meluangkan banyak waktu di wanua. Di sana bercengkrama dengan kerabat dan kawan, berorganisasi, mendatangi acara-acara di mana Warbung dan para tetua di wanua hadir.

Warbung akrab dengan siapa saja. Dia senantiasa melibatkan anak-anak muda di Wanua dalam berkegiatan. Kami sering berdiskusi, jalan bersama, beracara bersama. Tutur dia tentang pemimpin, menurut saya, adalah filosofi yang dalam: “Sa kouw pa’ar mamuali kumtua, tumanen pola lake-laker.” Kalimat itu berapa kali saya dengar diucapkan Warbung, terjemahan bebasnya seperti ini: “Jika kau ingin menjadi kepala desa, maka tanamlah tebu sebanyak mungkin”.

Sesuatu yang ‘manis’, jadi bermakna bila dibagikan pada orang lain. Bagi Warbung, tanaman tebu adalah lambang kebaikan. Dalam sejumlah pertemuan saya merekam setiap pernyataannya. “Mo jadi kumtua so musti orang yang rela ba kase, memberi bagi semua warganya. So itu tuh makna ‘tumanem pola’, ba tanam tebu. Kalu so banyak tuh tebu torang berbage pa birman, berbage pa orang yang perlu, bahkan menjadi pemimpin torang memberi walau di saat torang nyanda punya sesuatu.”

Rindulah kenang di wanua. Suatu pagi, 05 April 2019, saya bercerita dengan Deicy Warbung lewat telepon. Deicy adalah anak Marthen G. Warbung. Dia bilang, “Sebe so jadi kumtua dari taon tujuh puluhan. Pertama menjabat dua periode, kemudian pemilihan kumtua berikutnya kalah pa Warouw. Maar, jadi kuntua ulang sesudah itu, kong Kasenda ganti, sampe sekarang masih Kasenda,” kata Deicy.

Saya memetik banyak kisah tua dari Marthen G. Warbung, tentang pencari ikan di danau Tondano, tentang tutur turun temurun para penggarap tanah, tentang banyak kearifan yang dikerjakan orang-orang di wanua. Saya melihat dia bekerja, bergaul dengan nelayan dan petani, menolong orang, menjamu pejabat, dan lainnya.

Era 1990-an ketika Warbung kembali mencalonkan diri sebagai untuk menjadi pemimpin wanua, saya menyaksikan prosesnya. Dia mendatangi para kerabat, mengakrabkan kekeluargaan di wanua. Meski tensi politik tentu saja meninggi dengan saingannya sesama calon kumtua di masa itu.

Anak-anak muda berkumpul, berbagai kreasi dibuat. Saya dan Pecun menggambar simbol-simbol kampanye di atas triplek, membentuk huruf-huruf dengan cat minyak, menuliskan visi dan misi sang calon kumtua dengan huruf-huruf menarik dan besar yang mudah ditangkap mata masyarakat.

Lain di masa sekarang, orang-orang dengan gampang membuat desain di komputer dan mencetaknya.

Tentang pengalaman pemilihan hukum tua di Minahasa pada masa lampau, menurut Denny Ramagiwa Ratulangi, tidak jauh beda dengan masa sekarang. “Jumlah keluarga sangat menentukan, kalu banyak sudara di kampung itu, noh so pasti gampang mo jadi kumtua. Doi kwa faktor kadua,” kata seniman Minahasa yang tinggal di wanua Lemoh itu, manakala kami berdiskusi.

Saya sepakat dengan apa yang dibilang kawan Ratulangi ini ketika kami bercerita dan berdiskusi, bahwa basis massa untuk pemilihan kumtua sangat dipengaruhi oleh berapa banyak jumlah saudara di wanua tersebut.

Praksis itu saya amati dan temukan di wanua Paslaten, Remboken dan berapa kampung di Minahasa seperti di Lemoh. Kandidat yang punya keluarga besar cenderung menang dalam ajang pemilihan kumtua. Seperti itu juga yang disebut Ratulangi, “Rupa nyaku misalnya, torang pe keluarga masih ada hubungan dengan sudara-sudara dari fam Malonda, Gigir, deng Warouw, dari situ so dapa gambaran berapa banyak kekuatan suara. Kalu banyak yang tabaku ika, amper pasti itu mo untung, kurang sontong sadiki jo,” kata dia.

Musyawarah Pinawetengan dan Ratulangi

Di berapa literature saya membaca praksis demokrasi Minahasa. Riset Johann G. F. Riedel menyebut ‘musyawarah Pinawetengan’ sebagai model proses pengambilan keputusan ‘unik’.

“Tahun 670 di Minahasa telah terjadi suatu musyawarah di Watu Pinawetengan yang dimaksud untuk menegakkan adat istiadat serta pembagian wilayah Minahasa. Di sana mereka mendirikan perhimpunan negara yang merdeka, membentuk kesatuan dan tinggal bersama dan akan memerangi musuh jika diserang, Ratahan nanti bergabung dengan perserikatan Minahasa ini sekitar tahun 1690. Pakasaan Tou-Ure kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di Pinawetengan untuk berikrar satu keturunan Toar dan Lumimuut di mana semua Pakasaan menyebut dirinya Mahasa asal kata esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam cerita tua Minahasa,” tulis Riedel.

Kisah tutur dan tafsir. Pemimpin-pemimpin Pakasaan di Minahasa mempunya tradisi berkumpul, berembuk, dan menunggu ‘tanda’ untuk menentukan siapa dari mereka yang berhak jadi Tonaas.

Ada utusan dari wanua datang berembuk di Batu Pinawetengan. Lalu upacara dipimpin Walian.

Utusan yang dipilih berdasarkan ngaas, yakni berpengetahuan yang dimiliki. Utusan punya hati lurus dan bersih, dibahasakan sebagai loor dan niatean. Utusan punya kekuatan fisik, keter wo ente.

Utusan datang, berkumpul, beritual, menunggu ‘tanda baik dari manguni’, lalu utusan yang adalah calon pemimpin dinyatakan ‘terpilih’, berhak menyandang gelar Tonaas Umbanua.

Tonaas Umbanua menguasaai wanua atau roong. Mereka disaring lagi pada tingkat pakasaan dan pinaesaan untuk menentukan siapa jadi Wali Pakasaan.

Setelah Wali Pakasaan ditetapkan, dia berhak duduk memimpin ‘musyawarah Pinawetengan’, dia mendengar dan mempertimbangkan ide para Tonaas Umbanua. Peserta musyawarah tertinggi Pinawetengan disebut Dewan Wali Pakasaan.

Meidy Yafeth Tinangon saat menjabat Ketua Komisi Pemilihan Umum Minahasa, dalam acara peresmian Wale Pawowasan Pemilu di Tondano, 24 Februari 2017, mengutip pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, Husni Kamil Manik, yang menyebut bahwa Indonesia belajar praktek demokrasi dari Minahasa. Dalam kesempatan itu juga Tinangon menggambarkan proses dan praktek pemilihan pemimpin Minahasa pada masa lampau.

“Di tingkat desa kita telah lama mengenal pemilihan ukung tua, atau hukum tua, atau kepala desa. Struktur lembaga pemusyawaratan tempo dulu di Minahasa telah ada dengan sebutan Dewan Wali Pakasaan yang merupakan forum tertinggi dalam struktur masyarakat Minahasa. Kemudian di masa Belanda dirombak dan diganti Minahasa Raad, di mana anggota-anggotanya dipilih dalam Pemilu. Pemilu di Minahasa pernah juga dilaksanakan di masa RIS dikala Minahasa masuk dalam Negara Indonesia Timur. Setelah itu kita memasuki masa demokrasi dan Pemilu Orde Baru hingga Pemilu di Orde Reformasi,” seperti itu diberitakan situs KPU Minahasa.

Sudahkah kita berpolitik? Benarkah kita demokratis? Apakah kita merdeka berpolitik? Padahal dalam urusan pilih makanan juga kita sudah berpolitik, walau masih banyak yang alergi pada terminologi politik. Bahkan ada masih memperdebat apakah diam adalah bagian dari sikap politik?

Dr. G.S.S.J. Ratulangi dikenal rakyat Minahasa, katanya karena, salah satu terkait jabatannya sebagai Sekretaris Dewan Minahasa. Di sana Ratulangi dalam posisi menguntungkan rakyat Minahasa. Dia mampu memengaruh pengambil kebijakan.

Ratulangi mendirikan yayasan dana belajar. Ia juga berhasil menghapuskan kerja paksa yang dianggap menyengsarakan bangsanya. Tahun 1927 orang Minahasa memilih Ratulangi duduk sebagai anggota Volksrad mewakili kepentingan tou Minahasa.

Sejarah negeri ini mencatat, Ratulangi memimpin misi Sulawesi ke Jakarta untuk mengikuti sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1945. Di sini titik mula sebuah negara-bangsa meletak pijak kesepakatan bersama secara politis mengaku menjadi Indonesia di mata dunia.

Suara dari berbagai perwakilan menggores tinta dan darah yang mengalir di jiwa kita sepanjang hayat di kandung badan.

Front kebangsaan yang dicipta Ratulangi dan kawan-kawan sesama pejuang pada masanya, bertujuan melaksanakan kongres rakyat dan menyelenggarakan tindakan bersama di bidang politik, budaya, ekonomi, sosial. Politik dan demokrasi hakekatnya adalah bergerak, pergerakan, merancang, melobi, menggagas idea strategis untuk kepentingan berbagai needs.

Ratulangi juga terkenal memimpin Partai Persatuan Minahasa dan jadi anggota Gabungan Politik Indonesia (GAPI). GAPI terkenal dengan tuntutanya ‘Indonesia Berparlemen’. Masa perjuangan ternyata menyisa kenangan demokrasi.

Praksis Demokrasi Minahasa dan Indonesia

Coba berkaca di cermin retak demokrasi negeri ini. Hoax menjadi bumbu siap saji dan beredar hingga di kamar tidur kita.

Iklan terkait cara memilih mulai dari pilih pelayan khusus tingkat kaum beragama di institusi berjudul ‘tempat ibadah’, juga pemilihan pemimpin daerah dan pemimpin negara, boleh berujung ricuh di facebook, twiter, whatsapp, dan media sosial lainnya.

Zaman berganti, kelakuan semakin lalim.

Dr Ivan Kaunang, dalam diskusi publik ‘Mewujudkan Pemilukada yang Aman dan Damai’, Februari 2018, mensinyalir demokrasi di Minahasa mengalami kemerosotan. Kaunang menyebut degradasi nilai demokrasi Minahasa dipengaruhi fasilitas yang diberi Belanda.

“Tahun 1950 Minahasa sudah melaksanakan pemilihan kepala daerah. Kala itu ada partai-partai keluarga seperti Partai Walewangko, Partai Supit, Partai Kaunang dan partai-partai lainnya. Orang Minahasa pandai berpolitik, mereka memilih menggunakan hati, tapi sekarang sudah tergeser kemajuan zaman. Tonaas dan tokoh sudah dipengaruhi pangkat, gaji, kuda dan fasilitas lainnya,” beber Kaunang seperti ditulis Berita Manado.

Isu memanas, mengental, lalu dingin lagi.

Pembangunan terbengkalai serta penyelewengan dana-dana untuk membangun wanua, tinggal desas-desus. Kisah ini dengan enggan ditepis berita miring, rakyat ‘bermindset instan’ malas mengusiknya.

Undang-undang Kebebasan Informasi Publik cuma hiasan macan kertas sudah kita robek untuk masa depan yang sudah lewat.

Dalam sebuah artikel opini, menyoal demokrasi pancasila, M Fadjroel Rachman mempertanyakan, “Bisakah pemilihan umum dimenangkan melalui kampanye kebencian? Bisa! Sejarah dunia merupakan diorama perebutan kekuasaan politik dan ekonomi berdasarkan kebencian. Bacalah Mein Kampf karya Adolf Hitler (1999: 296), kitab suci kebencian terhadap ras dan demokrasi.” — All occurrences in world history are only the expression of the races’ instinct of self-preservation.

Tahun 2013 sesama orang Minahasa baku rebut di gedung Mahkamah Konstitusi usai sidang sengketa terkait pemilihan kepada daerah di Minahasa.

Kampanye deras, masyarakat saling bully.

Sentimen primordial mengekal dalam benak. Tapi negara, penyelenggara kuasa dari pusat hingga di Wanua seperti tutup mata.

Orang-orang sibuk membincang poster diduga porno. Prostitusi online itu hak asasi, media kelebihan gaya mengumbar-umbar dogma, doyan sekali mengumbar moral dan celana dalam. Termasuk tumpul menganalisa data dan fakta, apalagi membongkar pelanggaran hukum pemegang kuasa negara dan para bejat anggaran.

Sementara mindset demokrasi bekerja di otak sadar. Pilih-pilih masih saja beroleh buah busuk, salah satu adalah hasil dari pilihan itu sendiri yang lebih banyak berujung pada kabar ditangkapnya banyak pemimpin karena overdosis menelan anggaran bagi kepentingan pribadi dan golongan.

Kita masih pada mimpi-mimpi lama, membasuh mimpi itu hingga mengkilat, seakan demokrasi-lah segalanya. Padahal ia sendiri, dalam hal ini tubuh demokrasi itu, ternyata luka-luka dan terus dicederai oleh prilaku, entah modelnya seperti apa. Boleh bertanya tentang kertas suara-kertas suara yang boleh disulap berganti warna dan berpindah lokasi?

Demokrasi boleh ditukar penganan instan berapa karton, beras berapa karung, ongkos jalan, uang pulsa, dan entah apa lagi.

Isu seperti asap, mengaburkan cara pandang.

Memilih adalah Tentang Sikap

Wanua punya hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat.

Dalam lembar regulasi wanua disebut berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan kukuh dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat adil, makmur, dan sejahtera.

Kerabat tua saya, oom Henky, saya memanggilnya papa Henky. Dia punya tafsir beda tentang musyawarah di Batu Pinawetengan. “Torang pe tua-tua yang bakumpul di Pinawetengan bukan orang biasa. Tonaas itu tuama, jadi musti tumuama-tuama. Kase tunjung ngana pe ilmu di sana,” kata papa Henky.

Memilih pemimpin, dalam gambaran saya ketika terlibat dalam diskusi itu, bahwa, manakala terjadi ‘musyawarah Pinawetengan’ datang di lokasi itu tujuannya adalah mencari sosok arif dan berilmu. Dia bijaksana dalam pengambilan putusan menyangkut wanua dan pakasaan.

Itu obrolan di rumah tua Mailangkay, lorong belakang GMIM Immanuel. Rumah itu berhadapan dengan kantor desa Paslaten yang lama. Dalam diskusi itu ada Mario, Rudy, papa Henky, dan Marthen G. Warbung.

Kami yang berkumpul dan ngobrol di rumah Mailangkay semua warga Paslaten, walau kami beda usia. Papa Henky seorang guru sekolah dasar. Dia sepantaran Marthen G. Warbung, usia mereka pada waktu itu sekitar 50-an. Mereka, papa Henky dan Marthen G. Warbung sudah kami anggap sebagai orang tua kami di wanua. Rudy, Mario, adalah kakak-kakak saya.

Dalam obrolan itu kami mengulang filosofi, ‘kalu suka jadi kumtua, tanam tebu banya-banya’. Praksis kebaikan itu adalah junjungan kami.

Saya menggambar Minahasa dulu sebagai ‘Republik Wanua’ karena cara memilih Ukung-nya dinilai demokratis. Memilih mereka yang punya hati, niatean. Pilih yang punya kuasa menyejahterakan tou.

Lalu, musim berganti. Modernism menyandra cara pandang. Kita lebih labil dalam keputusan. Kita lalu menjadi diri sendiri yang cinta diri dan enggan mengritisi sistem.

Bagi saya, memilih salah satu juga adalah tentang bagaimana melihat rekam jejak. Saya menafsir, apa yang disebut papa Henky pada kalimatnya, ‘…tumuama-tuama’, — tak hendak menampik praksis dan tutur paternalistik ada di wanua — bahwa benar ‘tuama’ itu adalah lelaki, namun dalam kalimat itu terselip makna ‘bertanggunggugat’.

Memilih adalah tentang kebaikan-kebaikan yang berguna bagi membangun masyarakat yang dibikin sadar hak-hak dia sebagai bagian dari negara.

Memilih adalah hak!

Bagi republik wanua, sebagai kontrol, ujung tombak negara dalam urusan permusyawaratan hak-hak yang harus direalisasikan, kiranya turut jadi penentu garis kebijakan negara pada pilihan-pilihan yang merdeka dari tekanan apa pun. (*)