Thursday, April 25

Alam, Sampah, dan Hukum Alam


28 Juni 2021


Oleh: AKBP Purn. Kamaluddin, M.Si


KITA adalah sebuah perjalanan, setapak, atau bertapak-tapak. Demikian saya mengurai pengalaman dari alam dan hukum alam dengan contoh-contoh soal sederhana yang kita jumpai sehari-hari.

Minggu pagi, usai menyapa sahabat dan kawan, saya bersama keluarga dan kerabat mengunjungi ‘titik sunyi’.

Datang di alam dan merenung, menyepi dari bisingnya kota. Ternyata, tidak ada ruang kosong di alam. Di mana-mana ada aktivitas manusia. Begitu kenyataannya.

Minggu pagi, 27 Juni 2021, melintasi jalan berliku dan mendaki. Mata awasi kiri dan kanan dari jendela kaca kendaraan yang saya tumpangi. Menuju Timbuseng, di Pattallassang, Gowa. Sempat mampir makan siang di rumah kerabat, kemudian menemu ‘titik sunyi’ itu, Rumah Hobbit di bukit Bollangi.

Di titik itu saya mengulang: “Semua manusia adalah sama di depan hukum, tanpa membedakan kelamin, kulit, agama dan status sosial.” Seperti itu Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang diterima dan diumumkan Majelis Umum PBB, 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A.

Kutipan deklarasi itu saya pakai pada artikel yang saya tulis sebelumnya, ‘Hukum Sarang Laba-Laba’, 07 Juni 2021. Lalu muncul pertanyaan: mengapa semua manusia sama di depan hukum?  Jawabannya menurut saya ringkas saja, sebab kita semua sama-sama manusia.

Saya ulangi yang sudah saya sebutkan dalam artikel itu. Memperhatikan gerak sekecil apapun di sana. Menembangkan lagu, melihat laba-laba membangun sarang di antara semak belukar dan pepohonan, jaring-jaringnya nyaris tak terlihat. Ada serangga melintas, terjebak lalu dimangsa.

Namun, di sini saya lebih tertarik dan terusik melihat sampah. Atau dalam benak masih mempertanyakan, mengapa hukum menjadi seperti sampah? Bekas kemasan, plastik-plastik terserak di sembarang tempat, kertas-kertas, sisa bungkus makanan, lempeng logam berkarat, bekas bangunan.

O, ternyata sesuatu pemukiman dan tempat yang didatangi manusia tidak selalu baru. Sudah pernah ada peradaban sebelumnya, yang juga turut menyumbang sampah dan bekas.

Padahal lokasi ini punya kisah menarik tentang keindahan alam. Angin semilir tidak pernah henti bertiup menerpa pepohonan dan semak belukar, mendebarkan dingin di ambang pagi, senja, dan malam.

Tempat ini punya latar cerita dunia fiksi Dunia Tengah. Dalam cerita film, bangunan-bangunan yang ditampilkan di sini mengikuti perjalanan hobbit Bilbo Baggins yang diberi tugas penyihir-penyihir Gandalf untuk menemani tiga-belas kurcaci yang dipimpin Thorin Oakenshield dalam perjalanan merebut kembali Pegunungan Sunyi dari naga Smaug.

Dari sejumlah situs online saya mengutip informasi terkait ‘The Hobbits’. Misalnya apa yang ditulis di ‘The Hobbit, 2012: Cast, Credits & Awards. The New York Times’. Ada juga dari sumber ‘Composer Howard Shore to Score The Hobbit, Collider’. Berikutnya di ‘100,000 expected at Hobbit premiere’.

Di sana disebutkan bahwa ‘The Hobbit’ merupakan seri tiga film epik fantasi-petualangan yang disutradarai, ditulis, dan diproduseri Peter Jackson dan didasarkan pada novel fantasi karya J. R. R. Tolkien berjudul The Hobbit (1937). Film-film ini diberi judul sesuai subjudul dalam novel, An Unexpected Journey (2012), The Desolation of Smaug (2013), dan The Battle of the Five Armies (2014).

Sebagaimana disebutkan dalam Composer Howard Shore to Score The Hobbit, Collider, seri ‘The Hobbit’ merupakan prekuel dari trilogi film ‘The Lord of the Rings’. Beberapa aktor The Lord of the Rings akan muncul kembali, termasuk Ian McKellen, Andy Serkis, Hugo Weaving, Cate Blanchett, Christopher Lee, Ian Holm, Elijah Wood, dan Orlando Bloom. Turut serta dalam pembuatan film ini adalah penulis Fran Walsh dan Philippa Boyens, ilustrator John Howe dan Alan Lee, pengarah seni Dan Hennah, dan sinematografer Andrew Lesnie.

Fantasi itu ada di negeri kita sekarang, salah satunya ada di Bollangi, Gowa.

Tempat yang senantiasa sejuk, ufuk dan pegunungan di seberang terlihat biru membias warna kabut. Di sini mata bebas memandang awan-awan dan langit biru sepanjang siang hari. Malamnya seperti pada lokasi lain di bumi, namun bintang gemerlap selalu menghias angkasanya.

Matahari terik ujung Juni ketika kami mampir di bukit Bollangi. Pikiran menggelayut pada sejumlah kejadian dan pengalaman. Ada ketika rintik lalu hujan menderas, menghanyutkan sisa-sisa, yang lainnya mengekal menyatu dengan tanah dan endapan.

Memandangi sampah dan sisa-sisa, mengingat peristiwa berapa hari silam di Pasar Malino, Tinggi Moncong. Soalnya sama. Sampah dan sisa-sisa ada di sejumlah tempat di pasar itu, dan tampak sengaja dibiarkan, tidak terurus.

Nanti di musim hujan, alam dan hukum alam bicara: Apa yang kita buang, boleh jadi kembali lagi pada kita, got dan saluran tersumbat, banjir, erosi dan sebagainya.

Saya tak hendak bicara moral hukum, walau ketika datang di alam sesungguhnya saya menyadari hukum yang bersifat universal adalah hukum alam, yang dengannya prinsip-prinsip yang tidak tertulis diakui oleh semua umat manusia.

Boleh jadi kita akan bertanya, berapa unit mobil sampah yang ada di wilayah kita, berapa banyak petugas pengangkut dan pembersih sampah yang sudah ditugaskan dan dibayar oleh uang negara, yakni uang yang ditagih dari masyarakat.

Sampah tak hanya ada di Bollangi. Demikian perenungan di titik sunyi tentang sampah, alam, dan hukum alam.

Kita punya regulasi terkait sampah di Gowa. Ada kebijakan dan strategi daerah untuk pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga yang ‘katanya’akan ditangani secara berkelanjutan.

Apa kabar regulasi itu? Arah kebijakan pengurangan dan penanganan apakah sudah manjur dan telah jadi praktik yang dikerjakan semua masyakarat sehari-hari?

Saya membaca ‘Evaluasi Pengelolaan Sampah Kabupaten Gowa, Studi Kasus Kecamatan Somba Opu, ditulis Syahriar Tato, dipublikasikan tahun 2015, menyebut bahwa dengan bertambahnya penduduk dan beragamnya aktivitas maka timbulan sampah di Somba Opu semakin banyak, yaitu 261 M3 per hari.

Disebutkan Tato, yang mana penduduk yang terlayani ada di sebelas kelurahan dari empat-belas kelurahan yang ada di Somba Opu. Jadi ada 115.615 jiwa terlayani dari jumlah 130.126 jiwa ketika itu. “Daerah layanan sampah perkotaan yang rendah dan tidak jelasnya strategi pengelolaan sampah berdampak negatif terhadap lingkungan perkotaan,” begitu ditulis Syahriar Tato.

Sudah diselenggarakan, Dialog Interaktif Sinergi Kepala Daerah dalam Pengelolaan Sampah di Kawasan Strategis Nasional — Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar (Mamminasata) — yang dilaksanakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sulawesi Selatan, 23 Maret 2021, silam. Pada kesempatan itu, pemerintah kabupaten Gowa menyatakan siap bersinergi dan mendukung kegiatan itu. “Berkaitan dengan sinergitas, maka kami di kabupaten Gowa siap menempatkan TPA Regional Mamminasata di wilayah Gowa,” Adnan Purichta Ichsan, bupati Gowa, sebagaimana diberitakan sindonews.com.

Lalu, apakah kita hanya menunggu regulasi untuk mengurus sampah? Mengurus sampah nanti ketika alam dan hukum alam sudah bicara dan mengembalikan sisa-sisa yang kita terlantarkan dan buang di sekeliling kita, datang lagi dalam bentuk bencana: got tersumbat, bau busuk, banjir, pemukiman terendam air, penyakit, dan seterusnya.

Sampah urusan global, jadi soal universal, dan ada di wilayah terdekat, yaitu di diri kita sendiri. Di wilayah kita, ada sejumlah lokasi strategis justeru dihiasi sampah.

Menurut data World Bank, setidaknya terdapat 2,01 miliar ton sampah padat yang dibuang setiap tahunnya. Disebutkan yang mana ada tiga puluh tiga persen dari jumlah sampah yang dibuang tidak dikelola dengan baik sehingga mencemari lingkungan. “Apabila kondisi ini terus berlanjut, diperkirakan pada 2050 jumlah sampah global akan mencapai 3,40 miliar ton. Jumlah yang cukup untuk meningkatkan berbagai macam masalah lingkungan dan kesehatan,” demikian ditulis Yonada Nancy di tirto.id, 25 Februari 2021, dalam tajuk ‘Bencana Akibat Sampah, Banjir hingga Longsor Sampah’.

Sampah di alam bukan hanya soal di ruang sekitar kita, sampah dapat menjadi bencana bila dibiarkan. Lalu bagaimana memperlakukan sampah di sekeliling kita, ada solusi?

Mestinya para tokoh memberi contoh dan solusi. Kebersihan diajarkan dari rumah, dihimbau di rumah ibadah masing-masing keyakinan, dilakukan setiap saat dengan penuh kesadaran.

Dari titik sunyi ini, perenungan itu memang tentang alam dan hukum alam. Sebagaimana saya sebut di atas tadi, bahwa hukum yang bersifat universal adalah hukum alam, yang dengannya prinsip-prinsip yang tidak tertulis diakui oleh semua umat manusia.

Datang di alam, bagi saya adalah mengunjungi rumah kita sendiri. Alam dan hukum alam, seperti itu dalam sepenggal artikel ini saya menyinggung sampah, dengan pertanyaan yang saya ucapkan di atas mengapa mempersoalkan sampah, alam, dan hukum alam? Jawabannya ringkas juga, sebab kita semua sama-sama manusia.

Menaruh sampah pada tempat yang tepat adalah budaya manusia. Urusan sampah, alam, dan hukum alam berlaku sama pada semua manusia tanpa membedakan kelamin, kulit, agama dan status sosial. Seperti itu.

Kiranya bermanfaat bagi pembaca sekalian. (*)


Editor: Parangsula


Hak jawab selalu diberikan kepada semua pihak bila pemberitaan bertolak belakang dengan fakta dan data.