18 Januari 2022
Peradaban seperti sungai, seperti udara, mengalir. Di bagian-bagian tertentu, di kelok sunyi dia memantulkan kekinian, fatamorgana. Tiang-tiang, menara, pepohon dihempas badai, bergoyang-goyang, mungkin diam. Awan, langit, tanah, lumpur, debu, darah. Ruang kosong itu ada dalam benak, diisi para pembela…
Peradaban ditahan-tahan, berganti, mengalir, ditanam, dipunahkan, digoyang-goyang: perang, isu, kertas berharga, digit-digit, digigit kode, dikunyah lapar, dihisap haus, serakah…
Oleh: Daniel Kaligis
Editor: Parangsula
Gambar: Anak-anak di Borgo, Tombariri, bermain lompat karet gelang riang gembira.
KETAKBENARAN itu juga jalan berduri. Entah jalannya sepi, entah ramai. Walau dianggap tak berselaras dengan jalan dan cara yang diduga difatsir benar — jalan sunyi kebenaran: sama-sama menjadi tenar, sekarang atau nanti.
Pembela-pembelanya selalu ada, ketakbenaran, kebenaran: tafsir. Pembela ketakbenaran, di masa mendatang boleh jadi juruselamat atau jurukhianat. Ketakbenaran, kebenaran, sama-sama punya pembela, punya pengikut. Mungkin juga sama-sama punya sponsor.
Bercermin pada orde di negeri yang sangat politis teoritatis, penuh teror mengiris-iris. Kejatuhan Orde Lama, disusul kebangkitan Orde Baru. Kuasa para pemenang perang, unjuk rasa para penentang — suara-suara tak bersuara, suara dibungkam sudah biasa. Orde Reformasi jangan sampai jadi basi.
Mungkinkah bertanya pada generasi tradisionalis? Orang-orang zaman The Great Depression rata-rata sudah rontok. Jejak mereka masih ada, dalam tulisan, dalam kesaksian. Terdeteksi masih ada lima puluh juta Silent Generation usia di atas delapan puluhan, siapa mendengar mereka? Mungkin anda. Di istana, di gedung, di rumah, di gubuk-gubuk sepi, pergulatan menjuang kebutuhan, siapa membela generasi ini terhadap ‘needs’ nafas dan keinginannya jika sebagian dari mereka telah jadi tertuduh atas ketakbenaran, mungkin saja mereka menerima kebencian dan pembiaran. Meski, di antara lima puluh juta generasi itu tentu ada yang bernasib baik.
Berapa ketika silam, seraya menulis artikel ini, saya membaca starting topic dari Ko Tan, kawan di Banjarmasin. Dia bilang, “Orang yang sangat buruk itu adalah orang-orang yang menghujat, merendahkan, dan menghina bahkan mensyukuri orang-orang yang bernasib buruk.”
Keburukan, kebaikan, bukan tentang nasib tentunya. Tiap orang sama-sama menerima hujan-panas-kemarau, dan segala musim. Saya tak hendak membenturkan tesis Ko Tan dengan isu ketakbenaran – kebenaran, malahan saya setuju dengan tulisannya itu. Tesisnya hadir sebagai pembelaan pada mereka yang bernasib buruk, sekaligus interupsi pada mereka yang sudah merasa paling benar dalam praksis hidupnya.
Balik pada isu ‘orang-orang zaman The Great Depression’ yang membela needs-nya. Tulisan dan kesaksian. Hari ini, 1945. Ghetto Budapest dibebaskan, dibela Tentara Merah.
Ghetto hari ini merujuk pada permukiman kaum minoritas. Di Amerika Serikat, Ghetto dihuni masyarakat kulit hitam. Ghetto di pinggiran kota besar Chicago, Los Angeles, New York, San Francisco. Kumuh, bobrok, tak terawat, pajak bangunan dan biaya sewa murah. Apartemen kecil, rumah kecil, gang sempit, lapangan basket, skateboard, BMX, jalanan retak rusak, graffiti, dan vandalism.
Apa itu Ghetto Budapest? Sama nasib dengan ghetto lainnya. Ghetto adalah pemukiman Yahudi, padat, kumuh, simbol diskriminasi abad 16 – 17. Pemukiman itu hanya punya satu pintu masuk satu pintu keluar, masyarakat Yahudi dipaksa hidup dalam Ghetto.
Sebagaimana dicatat United States Holocaust Memorial Museum, 2014, dan Moment Magazine, 2014, ada ghetto terbuka, ada ghetto tertutup, ada ghetto penghancuran. Ghetto terbesar ada di Polandia bernama Ghetto Warsawa. Sekitar seribu ghetto dibangun Jerman di negara jajahannya. Ghetto di Piotrków Trybunalski, Polandia, pertama dibangun, Oktober 1939. Penduduk di sana wajib mengenakan ban lengan bergambar ‘Bintang Daud’. Penguasa menerapkan larangan pendidikan dan perkumpulan dalam ghetto.
Ghetto Budapest dibangun seiring Operasi Margarethe, Maret 1944 – menyusul dekrit kerajaan Hongaria, November, 1944. Tempat itu dikelilingi tembok batu yang tinggi, dijaga supaya taka da barang seludupan masuk. Makanan minuman tak diizinkan masuk, sampah limbah terserak di segala tempat, gedung-gedung sesak, penyakit, dibom, mayat-mayat tergeletak menumpuk di jalan.
Perang, isu, penegasian, peminggiran, dikejar-kejar setan pencabut nyawa, siapa pembela? Mengenang ghetto, seperti tembang perih mengiris fakta-fakta yang mana peminggiran atas nama apa saja masih terus berlangsung sampai sekarang. Ingatan tentang Ghetto Budapest mencatat sejumlah nama pembela, semisal Raoul Wallenberg, juga yang gambarnya tertera di halaman ini, Carl Lutz.
Carl Lutz menjabat Wakil Konsul Swiss di Budapest, Hongaria, dari 1942 sampai akhir Perang Dunia II. Ia dikenal karena menyelamatkan lebih dari enam puluh dua ribu orang Yahudi. Lutz, oleh Yad Vashem diberi gelar ‘Righteous Among the Nations’.
Ghetto Budapest terkait peristiwa Holocaust Nazi Jerman dan Fasis Hongaria pada masa-masa akhir Perang Dunia II. Dicatat Yad Vashem dalam ‘A Swedish Rescuer in Budapest’, Raoul Wallenberg menyelamatkan sepuluh ribu orang Yahudi di wilayah pendudukan Jerman di Hongaria. Dia menjabat duta istimewa Swedia di Budapest antara Juli dan Desember 1944, Wallenberg mengeluarkan paspor-paspor perlindungan dan menempatkan Yahudi dalam bangunan-bangunan yang dirancang sebagai teritorial Swedia.
Agnes Mandl, masih remaja manakala Holocaust. Di Ensiklopedia Holocaust menyaksikan bahwa para fasis memerintahkan untuk mengeksekusi orang-orang Yahudi di tepi Sungai Danube. Warga Yahudi diikat berkelompok, bertiga-tiga. Orang di tengah ditembak mati sehingga mereka terjatuh dan tenggelam. Di Budapest, 1944, Agnes bekerja untuk Raoul Wallenberg, berjuang menyelamatkan orang-orang Yahudi.
Tidak panjang kisahnya, Wallenberg adalah arsitek, pengusaha, diplomat dan humanitarian Swedia. Ia menghilang pada 17 Januari 1945.
Hari ini, tercatat dalam sejarah, 18 Januari 1945: ‘Pembebasan Ghetto Budapest oleh Tentara Merah’.
Sekilas Tentara Merah: Mereka direkrut Dewan Komisaris Rakyat secara eksklusif dari kalangan pekerja dan petani secara sukarela. Unit-unit pertama, bertarung dengan semangat revolusioner, melawan Jerman di Narva dan di Pskov. Pemerintahan Soviet, 22 April 1918, mengamanatkan wajib militer untuk pekerja dan petani. Ini awal dari Tentara Merah. Pendirinya Leon Trotsky, komisaris untuk perang sejak Maret 1918, hingga ia kehilangan jabatan pada November 1924.
Tentara Merah, pasukan yang keras, disiplin, dan hukumannya berat. Ketika Perang Dunia II berkecamuk, ada battalion yang diberi tugas bunuh diri. Itu Tentara Merah, ‘Рабоче-крестьянская Красная армия Raboche-krest’yanskaya Krasnaya armiya’, Tentara Buruh dan Petani Merah atau Tentara Buruh dan Petani Soviet.
Peradaban ditahan-tahan, berganti, mengalir, ditanam, dipunahkan, digoyang-goyang: perang, isu, kertas berharga, digit-digit, digigit kode, dikunyah lapar, dihisap haus, serakah.
Dikabar alam dirusak, siapa yang bela? Sumber air dirusak, siapa yang bela? Gedung dirusak, siapa bela siapa? Perkawanan pertemanan rusak.
Disuruh berperang, disuruh mati, bunuh diri, siapa yang bela? Ketakbenaran – kebenaran, seperti tercampur dalam kolam maha luas. Pemikiran Baby Boomers kawin-setubuhi Generasi X, bukan soal perilaku ‘salah-asuhan’ menduga dongeng tafsir persahabatan langgeng sepanjang zaman, duduk ngopi, ngobrol, kelakar, olok-olok, tertawa pada sejumlah teori ayat-ayat dibantah fakta-fakta hari ini. Dongeng masih diminati. Nikmati saja.
Bait ini tak ada kaitan dengan novel ‘Tales for an Accelerated Culture’. Hari ini anda ada di Johannesburg, sarapan seraya membaca cerita petani. Mengomentari kisah Perang Boer pecah antara Inggris – Afrika Selatan: Republik Afrikaner Transvaal dan Negara Bebas Oranye. Besok lusa tulat tubin, bercengkrama industri baja – elektronika – kertas – galangan kapal – peralatan listrik di Kawasaki, Tokyo, Yokohama. Terus ke Shenzhen, ke Wuhan, ke Jubail dengar cerita mutakhir industri petrokimia, minum air asin menyeruput minyak di Yanbu Commercial Port Laut Merah. Tualang merdeka New York, Washington, Denver, dan seterusnya kembali ke tanah tumpah darah nan molek namun berdarah-darah lantaran bertikai membela tuhan-tuhan. Lupa kemanusiaan.
Padahal, alam dan kemanusiaan masih terlantar.
Di tempat saya, sampah masih jadi soal, segelintir pemukim yang membelanya. Mereka mengangkat, mengumpul, memilah, dan taruh sampah sisa-sisa di tempat peruntukannya. Seperti itu untuk urusan info dan isu yang luas beredar dalam kabar berita. Teman-teman makin pinter, info dan isu dibedakan, dipilah, dibuang ditertawakan yang hoax. Jadi ingat belajar dan berbagi di Momais, 11 – 12 Januari 2022, silam. Itu yang disebut verifikasi oleh Jamal Rahman, kawan penulis di Bolaang Mongondow Timur.
Pemulung melakukan hal sama, verifikasi apa yang hendak diangkutnya. Bila butuh botol dan wadah plastik bekas, dia hanya mengorek plastik. Sayang, kadang-kadang ada yang mengorek menggaruk seperti kucing, diberantakin.
Garong juga demikian. Mereka pilih-pilah sesuai kebutuhan. Berita kehilangan anjing sudah viral, entah siapa yang dapat melakukan pembelaan terhadap kasus-kasus yang kian marak itu. Baca saja tangisan dan doa-doa mereka yang kehilangan di facebook. Semacam isu, banjir longsor didoakan, lupa tanam pohon.
Peradaban dikerubutin Milenial, Generasi Z, Alpha. Semua tergantung pada platform yang terkoneksi pada kode-kode. Entah kelamin apa berkelahi fashion, tetangga saling iri cerita sana-sini, lalu berdoa dan ibadah di ruang sama, internet, meta, zoom, dan seterusnya, doa panjang lebar juga bertaburan di whatsapp dan group-group para pembela.
Saya, menulis sajak, memetik gambar anak-anak bermain karet gelang riang gembira di tepi pantai. Membaca sila kelima, sambil ngopi. (*)