31 Januari 2023
Oleh: Dera Liar Alam
Bulan menari,
“Ah, tidak!” katamu menirukan monyong gaya pembawa acara tivi
Awan yang menari dihembus badai angkasa…
Lalu kita tertawa pura-pura senang, bersandiwara seumpama bulan
Kau berdiri, meregangkan tangan ke arah langit kemilauan,
Dan membentuk bulatan di atas kepala…
Aku menirunya, meregangkan tangan, membentuk bulatan di depan badan.
Sajak-sajak gelisah, nubuat bulan sudah ribuan zaman digoda teori dentuman, the oscillating, kuantum, berayun, steady state…
“Aku bulan, bulan-bulanan,” begitu desismu di kuping, menempel di pipi, di rambut tergerai diterpa badai nafsi dan ego…
Merekah merah, tapi bulan jingga, perlahan bulan-bulan kita retak. Cerita pendaratan didongengkan perang dan pendarahan. Bulan buyar…
Kita dituduh ahli nujum. Ah, tertawa saja kita. Bulan tertawan.
“Aku Wulan. Wulan nan baru, mengintip alang-alang musim panas, kuning kusam dibongkar-bangkir angin badai, kemudian terbakar jadi abu. Jadi kelam asap, kau mendekat, hangatkan kenangan bulan madu…
Wulan, nama pacar di negeri seberang. Pernah ketemu waktu masih sekolah dulu. Lampau sekali, puluhan purnama sudah pecah digantikan sabit-sabit mengayunkan bisa pertikaian, perang…
Dia kelam, dan berdiam di belakang panggung. Orang-orang bersandiwara, membagi jarahan. Lalu, berbulan-bulan diurus petugas Lapas…
Kita bergandeng, sambungkan bulan, telapak dengan telapak, kaki-kaki terbuka di atas bukit tandus selama musim buah. Tangan yang menyambung di telapak-telapak kita membikin lingkaran semakin gembur dan subur…
Bulan menari, itu anak-anak kita mengitari tanah airnya yang terjajah dogma. Menari mereka semau drama perkawinan raja. Surat-surat nan mahal untuk kempung kita mengurus tanah dan sekolah.
Bulan berlari, menjauh malam. Anak-anak kita tidur berbantal gadget, mimpinya terbantai…
Sambungkan bulan, kita bergandeng, mengulang bulan bertualang. (*)
Sajak ini terinspirasi saat membaca #Rev 6:12