Tuesday, November 19

Menuju Terminologi Baru


17 Agustus 2021


Oleh: Daniel Kaligis
Foto: Kepik Art Menggambar Indonesia


Seraya mengedit tulisan, saya membaca sesumbar propaganda. Tahun 2011 artikel ini saya muat di Harian Suara kita, sambil mengenang: Saban Agustus orang-orang kita dikampungkan, terbabit ‘panjat pinang’. Tidak dipinang sudah dipanjat, pohon-pohon bertumbangan. Di atas pinang, berkibar bendera-bendera. Merdeka, teriak memekak hak-hak bengkak dijejali peradaban impor.

Terminologi itu digemari, dan ramai di banyak sudut Indonesia. Demikian panjat pinang, dulu dan kemudian bila pandemi sudah usai, boleh berupacara dengan cara-cara. Keinginan dipinang, sekarang keinginan dikekang. Tinggal dalam gua peradaban yang hilang, tersenyumlah walau belum sepenuhnya merdeka…


HARI ini, sembilan tahun silam: “Terminologi baru itu dilakukan negara yang penduduknya bersaing dalam paradigma sebuah kemajuan bersama — Ah, rupanya di tanah pijak kita, seperti debu yang terbang dan hilang,” kata Shinta Miranda pada diskusi di halaman platform impor, facebook.

Seorang kawan nasionalis lewat jejaring sosial pernah mengirim gambar, ‘kibar merah-putih koyak’; Lambang negara tercabik di atas tumpukan sampah kota besar, di sana modernisme memutar roda-roda gila kehidupan bersama asap knalpot serta dentang logam pembangunanisme, industrialiasi, juga keraguan. “Untuk sebuah kemegahan,” dengus nafas memacu neuron yang bersuara produktivitas dan efisiensi.

Kibar itu, memaki kemiskinan; sekian masa pertontonkan kekumuhan. Gambar cabik, berdebu dan pengap. Di situ, seakan hadir aroma lumpur selokan, tajam menusuk hidung. Lumut dan jamur menjalari sekeliling sisa-sisa yang sekian lama tak dibereskan. Bau itu ‘mungkin saja’ mengapung bila hujan datang mengguyur; lainnya hanyut jauh, sisanya kering krontang bersama berkas-berkas hari terik. Cakrawala ibu negara kita terbakar, matahari politik.

Kenangan lama kembali basah di benak, pengalaman masa lalu. Hitung masa edar yang sudah berulang puluhan kali. Di dapur berlantai tanah persiapan itu dimulai. Sarapan sesudah membasuh badan kerempeng. Nasi mengepul dari belanga yang masih berada dekat perapian, berpindah ke atas piring. Lauk sisa semalam: teri goreng dengan saus pedas, disendok ke atas nasi yang masih hangat. Lemak tidur menjingga itu meleleh, aromanya membuat lapar jadi lengkap. Smokol, supaya siap berangkat ke sekolah. Seperti biasa di tiap Agustus, ada upacara dan berbagai atraksi di ibukota kecamatan.

Beberapa menit menjelang pukul sembilan. Barisan pengibar bendera berderap menuju tiang. Sementara, peserta upacara menanti, tegang. ‘Hormaaaaat grrrrraaaak!’ Kaki rapat, telapak tangan kiri dikepal, wajah terangkat di bawah topi, tangan kanan didekatkan ke dahi. Indonesia Raya lalu mengalun dalam penghormatan yang khusuk.

Anak-anak bangsa yang setia, puluhan ketika menyihirnya menjadi merdeka dengan tanda kutip; Sejumlah pulau digambarkan kitab sejarah untuk konstruksi teritori di bayang-bayang konstitusi yang hari ini dipertanyakan kebenarannya. ‘Merdeka itu seperti apa?’ Jawablah sendiri-sendiri.

Dari kawasan Orchard catatan ini coba saya terakan, manakala iklan negara di tivi lokal Singapore memberitakan barikade payung akan dikibarkan banyak manusia, menggambarkan bendera negeri itu berkibar di hari kemerdekaan negara bekas Straits Settlement Inggris dan sekarang sudah jadi lokomotif ekonomi Asean itu.

Oh iya, hari kemerdekaan Indonesia dan Singapore, sama-sama di bulan Agustus setiap tahun. Indonesia, kakak yang ‘mengaku’ lewat proklamasinya di 17 Agustus 1945, namun pengakuan kedaulatan oleh pihak Belanda nanti terjadi pada 19 Desember 1949. Singapore punya pengalaman sendiri,  keluar dari Malaysia dan menjadi sebuah republik pada 09 Agustus 1965.

Di atas Mass Rapid Transit yang kencang berlari meninggalkan pemandangan gedung-gedung bertingkat, laut tanpa sampah, saya coba mencari panduan tentang Singapore dari mesin pencari. Ada beberapa catatan di bawah ini.

Rupanya, Singapore modern didirikan Thomas Stamford Raffles. Awalnya wilayah itu merupakan pusat pemerintahan kerajaan Melayu. Berdasarkan tulisan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi menyatakan, ketika Singapore dibersihkan, bukit yang terdapat di situ telah dikenali sebagai bukit larangan.

Di sana ditemukannya sebuah prasasti yang tak teridentifikasi dan telah kabur. Prasasti Singapura itu menunjukkan negeri itu telah menjadi pusat administrasi jauh sebelum tibanya pihak Inggris. Prasasti itu telah dimusnahkan oleh seorang insinyur Inggris. Namun, terdapat nota mengenai salinan tulisan tersebut yang telah diantarkan ke London tetapi gagal ditafsirkan.

Di antara abad enambelas dan kurun abad sembilan-belas, Kepulauan Melayu secara berangsur-angsur menjadi milik penjajah Eropa. Portugis tiba di Melaka pada tahun 1509. Dan pada abad Tujuh Belas, Belanda telah menguasai kebanyakan pelabuhan utama di Kepulauan Melayu. Belanda memonopoli semua perdagangan rempah-rempah yang pada saat itu merupakan bahan perdagangan penting. Eropa termasuk Inggris, cuma mempunyai hak perdagangan yang kecil.

Pada 1818, Thomas Stamford Raffles dilantik menjadi gubernur di salah satu pelabuhan Inggris yaitu di Bengkulu, Sumatera. Raffles yakin bahwa Inggris perlu mencari jalan untuk menjadi penguasa dominan di rantau ini. Salah satu jalan ialah dengan membangun pelabuhan baru di Selat Melaka. Dia berhasil menyakinkan East Indies Company untuk mencari pelabuhan baru di situ.

Raffles tiba di Singapura, 29 Januari 1819. Dia menjumpai sebuah perkampungan Melayu kecil di muara sungai Singapore yang pada saat itu diketuai seorang Temenggung Johor.

Hari ini, pemandangan semraut adalah berjubelnya manusia, namun semua paham pada apa itu queue tak saling mendorong, sopan dan tertib. Kaki-kali berlari dari ruang-ruang bawah tanah menyusuri lorong-lorong kokoh, terus bergulir dari eskalator dan lift, berpindah dengan konstanta yang selaras menujuh perobahan. Sekeping pengalaman yang boleh saya resapi di bawah rindang pepohonan di depan One Fullerton, di mana tugu Singa ‘muntah air’ itu terlihat megah.

Beberapa kutipan di atas untuk dilupa, boleh saja. Namun, bagi saya, seperti ada jurang tercipta dalam benak, dengan tegas ini sebuah pembanding bagi Indonesia, yang adalah ‘kakak’ dalam tataran ‘usia’, dan lebih dulu umumkan proklamasi merdekanya pada dunia.

Juang berdarah-darah, kemudian modifikasi sejarah secara kejam dan menempatkan rakyat sebagai tertuduh setiap kesempatan.

Babad yang menjadi aneh bin ajaib, seperti mimpi-mimpi terus menggejala ketika sosialisasi pembangunan meratatanahkan para miskin. Propaganda jadi jampi-jampi mengusir setan betina ‘gender’ dalam kerubutan paternal angkuh saling cakar demi proyek-proyek.

Kemerdekaan hari ini masih vis a vis dengan skenario sistem dalam memainkan uang sogok membeli kedaulatan rakyat.

Pertikaian paham-paham adalah warna hari ini yang ternyata kumuh.

Membaca mundur catatan sejarah, bumi penuh teks saling menyalahkan, propaganda dan sosialisasi penuh dengki dan iri: orang asli, pendatang, penentang, petarung, dan tukang tipu.

Coba jejali terminologi lain terkait juang merdeka di bagian lain bumi.

Perang Gagak Kecil

USS Minnesota dinamakan untuk menghargai negara bagian ini. Nama julukan lain dari negara bagian ini adalah Tanah Sepuluh Ribu Danau dan Negara bagian Bintan Utara. Daerah metropolitan, Kota Kembar, menggabungkan dua kota terbanyak populasinya, Minneapolis dan ibu kotanya Saint Paul, serta berapa daerah suburb. Negari itu pemroduksi makanan utama di negara Amerika Serikat dan punya sumberdaya alam yang telah dieksploitasi sejak dua abad terakhir.

Sičháŋǧu, Oglála, Itázipčho, Húŋkpapȟa, Mnikȟówožu, Sihásapa, Oóhenuŋpa, yakni orang-orang Lakȟóta, dikenal sebagai Teton, Thítȟuŋwaŋ — penghuni prairie, Teton Sioux — ular atau musuh, ribu tahun sebelum teks dikenali mereka sudah di Upper Midwest, Minnesota. Lalu, pecah perang Dakota: 17 Agustus 1862.

Peristiwa itu dikenang sebagai Perang Gagak Kecil. Pemukiman di sepanjang tepi Minnesota River, anak sungai Mississippi, diserbu. Pertikaian menajam, berujung pembantaian massal oleh Angkatan Darat Amerika Serikat terhadap orang-orang Dakota, 26 Desember 1862, di Mankato, Blue Earth County, Minnesota, Amerika Serikat.

Perang Gagak Kecil adalah pemberontakan Indian Amerika Serikat.

Perang Dunia Pertama

Membaca The Battle of Stalluponen, 1914: Paul von Rennenkampf, 17 Agustus 1914, mulai menginvasi Prusia. Angkatan Darat Pertama Rusia itu merangsek garis pertahanan Jeman, berhenti sekitar lima mil dari batas, lalu perang meletus. Pasukan Rusia dikalahkan Jerman yang dipimpin Hermann von François.

Nama Paul von Hindenburg terkenal sebab berbagai pertarungan zaman itu. Pertempuran Tannenberg menaikan posisi Hindenburg – yang – padahal telah berhenti dari ketentaraan medio 1911. Ketika pecah Perang Dunia I, Hindenburg dipanggil Angkatan Bersenjata Jerman, dikirim ke Front Timur, ia menang atas Rusia di Tannenberg, 1914, berikutnya di Danau Masuria, 1915. Dipandang sebagai penyelamat Prusia Timur, ia dinaikkan pangkat jadi panglima tertinggi. Kemudian, 29 Agustus 1916, ia menjadi Kepala Staf Ketentaraan Jerman.

Mari menyambung kenangan: Perang adalah dendam.

Perang di Agustus 1914 sebenarnya berlangsung dekat Allenstein, Polandia. Namun Paul von Hindenburg menamai pertempuran itu Tannenberg untuk membalas kekalahan Ordo Teutonik dalam Pertempuran Grunwald tahun 1410 yang juga memiliki nama yang sama.

Dinamai sama, Pertempuran Grunwald, yakni Pertempuran Pertama Tannenberg adalah salah satu pertempuran terpenting di Eropa pada abad pertengahan yang melibatkan Polandia-Lituania-Kesatria Teuton (Jerman). Perang itu terjadi 15 Juli 1410, antara Kerajaan Polandia bersama Keharyapatihan Lituania, yang dipimpin Raja Jogaila, Władysław II Jagiełło melawan Ksatria Teuton pimpinan Ulrich von Jungingen, merupakan pertikaian terbesar melibatkan kesatria. Di situ Kesatria Teuton keok.

Sedikit menyinggung sejarah Rusia. Pastoralisme nomaden berkembang di stepa Pontus-Kaspia yang dimulai Zaman Tembaga. Nenek moyang orang Rusia modern adalah suku Slavia, yang rumah aslinya dianggap oleh beberapa pakar sebagai daerah berhutan di Rawa Pinsk. Perpindahan bangsa-bangsa Skandinavia, dikenal juga sebagai bangsa Varangia dipimpin tokoh semilegendaris Rurik yang menyeberangi Laut Baltik, tahun 862 Masehi memasuki kota Novgorod dan memerintah di sana. Slavia Timur secara bertahap menetap di Rusia Barat dalam dua gelombang: bergerak dari Kiev menuju Suzdal dan Murom, lainnya dari Polotsk menuju Novgorod dan Rostov. Sejak abad ketujuh dan seterusnya, Slavia Timur merupakan bagian terbesar dari populasi di Rusia Barat, dan berasimilasi dengan penduduk asli Finno-Ugric, termasuk Merya, Muromian, dan Meshchera.

Gerombolan Emas

Sejumlah literatus menulis Bangsa Slav Timur yang eksis di Eropa antara abad ketiga hingga abad kedelapan Sebelum Masehi. Bangsa ini dipimpin pasukan elit Varangia dan keturunannya. Negara abad pertengahan Rus muncul sekitar abad kesembilan. Russia: A Country Study menyatakan bahwa tahun 988 Rus mengadopsi Kristen Ortodoks dari Kerajaan Byzantium, menjadi awal munculnya budaya Byzantium dan Slavik, yang mendefinisikan budaya Rusia hingga sekarang.

Masih dari sumber Russia: A Country Study, disebut bahwa Rus terpisah-pisah menjadi negara-negara kecil, sebagian daratan mereka kemudian direbut Mongol dan menjadi negara jajahan ‘Gerombolan Emas’ pada abad ketiga-belas.

Keharyapatihan Moskwa secara bertahap menyatukan kembali dan merdeka dari ‘Gerombolan Emas’. Adab Rus Kiev kembali mendominasi warisan budaya dan politik. Abad kedelapan-belas, negara ini berkembang luar biasa melalui penaklukan, aneksasi, dan penjelajahan: Kekaisaran Rusia memanjang dari Polandia di Eropa, hingga Alaska di Amerika Utara, yang dulunya merupakan wilayah Rusia.

Siapa ‘Gerombolan Emas’? David Morgan, dalam The Mongols, mengidentifikasi Blue Horde, yakni Batu Khan, anak laki-laki dari Jochi dan cucu dari Jenghis Khan. Horde Biru berkembang menjadi Kekhanan Kipchak berkuasa atas Rus Kiev dan Kaukasus selama kira-kira selama 250 tahun, setelah mengalahkan tentara Polandia dan Hungaria. Batu atau Bat dalam bahasa Mongolia berarti tegas.

Dalam tulisan Gavin Menzies, 2008, Saat China Menemukan Dunia, menyebut ‘Gerombolan Emas’ atau Orda Emas sebagai kekhanan Mongol-Turki abad pertengahan yang wilayahnya membentang dari Eropa Timur hingga Siberia Barat. Didirikan Sekitar tahun 1236 suku nomaden Turki dan Mongol oleh Batu Khan yang memerintah 1236-1255.

Beberapa suku Tatar dan Mongol pada abad ketiga-belas bersama dengan pemimpin mereka Berke Khan dan Nogai Khan. Abad keempat-belas dipimpinan Sultan Uzbeg, antara tahun 1312-1341 terjadi Islamisasi secara menyeluruh yang menstabilkan Gerombolan Emas, karena penetapan Islam sebagai agama negara, dikombinasikan dengan perombakan pemerintah. Kelas Atas diminta segera memeluk Islam, tetapi dalam populasi praktik shamanisme dan berbagai sekte Kristen (Gereja Assiria, Gereja Ortodoks) yang dianut sebagian penduduk Turki dan Mongol dapat ditolerir lebih lama. Meskipun demikian, seluruh penduduk tunduk di bawah hukum Islam yang diterapkan Sultan Uzbeg.

Medio 1357, Gerombolan Emas mulai berselisih internal. Pertempuran Air Biru 1362, Penjarahan Baru 1380 ingin lemahkan Rusia. Namun, pasukan Rusia dipimpin Dmitry Donskoi menghancurkan Gerombolan Emas pada Pertempuran Kulikovo.

Laste

Merah Putih di Kuningan Jakarta

Perang, penaklukan, aneksasi, penyerobotan adat budaya, pencaplokan tanah dan wilayah, menyisahkan bodoh yang terpelihara oleh sistem murka dan dendam. Dalam terminologi-terminologi itu rakyat berada, dan dipasung dalam pertanyaan tak terjawab sampai mati.

Kenangan sambung menyambung, lalu musnah dalam perang.

Seraya mengedit tulisan, saya membaca sesumbar propaganda. Saban Agustus orang-orang kita dikampungkan terbabit ‘panjat pinang’. Tidak dipinang sudah dipanjat, pohon-pohon bertumbangan. Di atas pinang, berkibar bendera-bendera. Merdeka teriak memekak hak-hak yang bengkak dipukuli peradaban impor.

Hanya kenang. Kibar waktu teramat kasib. Perjalanan masa silam tuju masa kini dengan segala romantikanya. Dari klasik menuju sebuah terminologi baru, entah apa itu. Namun, dari selayang kembara, terminologi itu berwujud. Di sana, memimpikan, merdeka tanpa kekumuhan.

Merdeka mengingat sejumlah terminologi berulang-ulang dengan sejumlah praksis yang hari-hari ini menjadi pertanyaan sejumlah pihak. Merdeka dari hoax yang berseliweran di berbagai group sosial media.

Merdeka, hasrat untuk berpindah dari kemalasan menuju turbulensi yang tak pernah berhenti selama jiwa dikandung badan.

Merdeka adalah revolusi mindset yang menghasilkan karya-karya tak terbatas, bahwa kemanusiaan adalah panglima yang berjalan bergandeng-tangan dengan pembangunan dan lingkungan hidup. Dirgahayu mimpi-mimpi, merdekakanlah pemikiran. (*)


Marina Bay, 01 Agustus 2011