10 Februari 2022
Logika nasionalisme diuji, sistem, penguasa, tanah dan wilayah, rakyat di dalam atau di luar. Bercita-cita, bercinta, lalu pasrah digorok pisau teori. Tanya, mengapa pengusiran peminggiran masih marak? Keyakinan, apa maunya membakar literatur. Mari kita menafisir devaluasi itu terkait harga diri rakyat dan negara…
Oleh: Dera Liar Alam
Penulis adalah jurnalis dan penulis
Gambar: Seorang kawan, memotret ‘river merchants’. Diri jadi patung dalam kisah peminggiran rakyat.
REPRESENTASI simbolik devaluation. Giliran ronda menyapu art market sepanjang semenanjung, gelombang merangkulnya jauh dalam history lupa. Di sana, sejumlah angsa berenang di danau peradaban yang jadi tragedi sepanjang abad: mereka masih menetap dan bersarang pada orde gagal move-on. Sudah berapa lama seperti itu? Angsa-angsa bubar, bercerai. Burung-burung jadi simbol, termasuk ‘kabar burung’.
Sebelum lanjut, kita eja peristiwa lalu silam sebagai kenang, perang: Derap serbuan, 10 Februari 1258, pasukan Mongol duduki Bagdad, kota di Asia Barat Daya. Penyerbu membakar kota itu hingga luluh-lantak rata tanah, mengakhiri Kekhalifahan Abbasyiah. Depan altar Gereja Greyfriars di Dumfries, 10 Februari 1306, Robert the Bruce membunuh John Comyn. Peristiwa itu memicu revolusi dalam Perang Kemerdekaan Skotlandia. Perjanjian Paris, 10 Februari 1763, mengakhiri peperangan: Prancis menyerahkan Quebec kepada Inggris. Peristiwa itu terkait ‘Perang Prancis Indian’. Hari ini, masih perang, peminggiran: rakyat di Wadas melawan tanahnya ditambang negara, namun ini soal proyek strategis nasional. Jadi, rakyat hendak digeser, dinegasi.
Memandang Indonesia dalam hening, riuh, dan dalam segenap dialektika yang menyertainya. Rakyat, termasuk saya, punya pandangan masing-masing – kemudian pandangan itu lebur dalam mimpi: sistem masih saja ‘onani’ dengan cita-cita masa silam yang terpangkas ribuan regulasi menindak rakyat dengan bisnis sihir. Obat-obatan untuk bimbang takut, kebijakan mengakali anggaran dengan program-program basi.
Dari Jl. Teluk Betung, merangsek dalam kerumunan, berbicara dengan tukang bajaj, lalu nongkrong depan West Mall memandang orang-orang diperiksa satu-satu. Membaca ternyata tak mesti dari huruf-huruf, karena nyanyian kebijakan kenaikan suku bunga menindas protectionism: mereka, ‘sistem’, membaca firman, lalu meludahi kemanusiaan. Wajah rakyat kumat, tidak mampu melawan ‘hikmat’ para petinggi. Di situ, membaca dua literatur sambil diskusi: The Muslim Diaspora: A Comprehensive Chronology of the Spread of Islam in Asia, Africa, Europe and the Americas, dan Focus on Indonesia, 1976.
Teori Ambyar Pemerosotan
Pengumuman dari negeri seberang, virus menggerus tiap belah bumi, merasuk kampung-kampung. Political legitimacy terbit seperti sajak gelombang. Tumpah-ruah di pasir pantai di tebing, di lumpur-lumpur yang membaur kabur denting kabar. Port ramai, lalu cahaya downtown merayapi terusan di bawah highway. Kaca-kaca di sini meninggi supaya peradaban bercermin.
Apa maunya politik? Hanya pengumuman, harap pada janji-janji palsu. Rakyat kebanyakan membelanya sesuai ‘gejolak bawah’ yang membaca umpan perkara ‘di depan meja’. Di bawah laci, di belakang meja, bersarang kepentingan. Di situ harga devaluasi – politik dimainkan, harga diri negara, harga diri rakyat. Berteriaklah sudah segala keyakinan ditunggangi para pemimpin bersangkutan yang ‘ingin’ politik, duduk bertahta dan menguras sumberdaya.
Bertahun-tahun seperti itu, dilahap berita dan jadi santapan mindset rakyat yang sengaja terstruktur dikendali sistem, dalam hal ini, oleh mereka yang menghendaki rakyat tetap bobrok dalam pilihan-pilihan politiknya.
Mengulik definisi: Leni Permana Dkk, untuk pelajaran ekonomi sekolah menengah kelas XI, tahun 2009, menyebut, “Devaluasi sebagai tindakan pemerintah menurunkan nilai mata uang negaranya terhadap nilai mata uang negara lain secara mendadak dan dalam perbedaan cukup besar: penurunan exchange rate secara resmi atas mata uang domestik terhadap valuta asing atau mata uang dari negara-negara lain. Pernah terjadi: Devaluasi di Indonesia, 21 Agustus 1971. Waktu itu, Ali Wardhana, Menteri Keuangan Indonesia, mendevaluasi rupiah dari Rp 378 menjadi Rp 415 per 1 US$. “Hal ini terjadi karena Amerika Serikat menghentikan pertukaran dollar dengan emas akibat ketakutan Presiden Richard Nixon akan habisnya cadangan emas Amerika Serikat,” tulis Aditia Noviansyah di tempo.co, 15 November 2021.
Alasan-alasan, tiga bait diedit digabung ini pandangan sebagaimana ditulis Aditia, mudah-mudahan maknanya tidak simpang-siur, ini dia: “Devaluasi adalah suatu kebijakan moneter yang diambil pemerintah dalam melakukan penurunan nilai mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing. Ada beberapa tujuan dari devaluasi yang dilakukan pemerintah, antara lain, supaya nilai mata uang asing dalam negeri tetap stabil, menjaga nilai ekspor-impor, menjaga nilai devisa negara. Biasanya pemerintah melalui bank sentral akan melakukan devaluasi ketika kurs resmi dapat membahayakan sistem perekonomian negara. Devaluasi dilakukan dalam beberapa cara, seperti melalui pinjaman asing, pengetatan keuangan, pengendalian harga dan upah, dan pembatasan aliran modal keluar.”
Pernah, kita diskusikan di sepanjang pengembaraan dari Orchard tuju Marina Bay Sands: “Political will, you are ready to do the best for long term interests of the country even if it means you would lose next election in the worst case…”
Titik-titik untuk tanda tanya. Mengulang kutipan dalam perjalanan di bawah rindang angsana sepanjang jalur pejalan kaki, sekujur Kota Singa: Kata Indonesia pertama dicetus James Richardson Logan pada Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia – JIAEA, Volume IV tahun 1850, halaman 254: “Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago.” Kutipan ini ada dalam artikel ‘The Ethnology of the Indian Archipelago.’
Lama tak jumpa. Denny.RM, kawan dari kampung pesisir danau, dan saya janji bersua, diskusi, berbagi. Saya mulai dari titik Clarke Quay, meneropong kisah silam perdagangan negeri-negeri seberang. Berhenti sebentar depan One Fullerton, berputar dari Cavenagh Bridge memetik gambar patung-patung buatan Chong Fah Cheong, sang pemenang Cultural Medallion.
Indonesia kami pergunjingkan dalam soal, Nusantara jadi perkara. Kata kawan teman di kampung-kampung jadi debat angkuh di persinggahan diskusi warung kopi, “Torang lebeh dulu sebut itu,” seumpama puja-puji teramat masyur bagi tanah air, berpeluk mesra ‘upil dan kotoran di gigi terasa coklat’ saat lekat dalam cumbu nafsi kecintaan itu. Logika nasionalisme diuji, sistem, penguasa, tanah dan wilayah, rakyat di dalam atau di luar, mengapa pengusiran masih marak?
Mari menafisir devaluasi itu terkait harga diri rakyat dan negara: kebijakan ditetapkan sistem menurunkan posisi tawar rakyat terhadap akses hak-hak mereka di tanah air, pembodohan terstruktur supaya rakyat selalu berada dalam kondisi mudah dipengaruhi dan dikendalikan isu yang dibuat sistem dalam upaya pengekangan, perampasan, dan pengerukan sumberdaya. Seperti itu: keyakinan baru ditentang, musik ‘asing’ diusir, buku-buku pengetahuan dihanguskan, regulasi menindas, pengeras suara dan toa dikencangkan kumandangnya untuk penyeragaman mindset.
Coba ulangi, petinggi dan wakil-wakil kita melancong ke luar negeri lalu bangga mengambil foto di situs-situs negeri seberang, walau di tanah leluhurnya situs-situs itu dianggap berhala. Kembali ke tanah air membawa setumpuk teori, lalu berulang lagi penindasan dan ‘pendevaluasian’ rakyat.
Pembakaran Literatur
Kita punya cerita panjang pembungkaman rakyat, punya setumpuk perkara pembodohan bobrok yang dicatat sejarah pembakaran buku-buku pengetahuan: Pembakaran karya Hamzah Fansuri, 1637. Pembakaran Pustaha Batak karena dianggap tidak sesuai ajaran keyakinan tertentu. Pembakaran percetakan Laguboti dan semua literatur penting berbau Belanda dimusnakan Jepang. Lalu Pembakaran buku-buku berbahasa Belanda, Inggris, Prancis. Komunis membakar buku dan piringan hitam berbau Oldefo dan Manikebu. Medio, 02 Mei 1964, Pemerintah Indonesia rayakan Hari Pendidikan Nasional dengan membakar sekitar 500 buku sejarah dan bahasa yang dianggap bertentangan dengan ideologi Indonesia. Buku-buku berbahasa Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, dibakar saat upacara di halaman dinas pendidikan, di bawah bendera merah-putih.
Zaman Orba masih membakar, buku, arsip, perpustakaan Pramoedya Ananta Toer: Angkatan Darat menyapu buku-buku karangan penulis-penulis berhaluan komunis dan yang terindikasi komunis. Dicatat Historia, medio Oktober 1972, atas dasar TAP MPRS No. XXV/1966 – tertanggal 05 Juli 1966 dan UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan, Kejaksaan Agung membakar 10 ton buku, pamflet, poster, majalah dan buletin tentang komunisme. Barang-barang tersebut adalah sitaan yang terkumpul dari razia yang dilakukan dalam kurun April – Juli 1972. Setiap karung yang hendak dilemparkan ke tungku raksasa, dibuka salah satu bukunya untuk diperlihatkan kepada wartawan. Sebagian buku didaur ulang jadi kertas.
Tahun 2001, Aliansi Anti Komunis merazia buku-buku beraliran kiri di berbagai kawasan di Jakarta: setelah buku, mereka merazia orang-orang, rakyat. Pada 25 September 2007, Kejaksaan Negeri Bekasi membakar 1.468 buku. Tahun 2009, Front Anti Komunis membakar buku Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah karya Soemarsono pada saat unjuk rasa di depan Gedung Graha Pena, Surabaya. Medio, 2011, Gerakan Cinta Indonesia Cinta KPK (Cicak) Magelang membakar buku-buku tentang Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggap propaganda. Tahun 2012, Gramedia bakar ratusan buku ‘5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia’, karya Douglas Wilson. Tahun 2017, Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Jember membakar buku IPS kelas VI SD karena memuat info Yerusalem ibu kota Israel. Awal tahun 2019, Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah LIPI memusnahkan 32 ribu buku, tesis, disertasi, dari koleksinya tanpa proses digitalisasi.
Sistem, kafir-kafiran, bakar-bakaran, rakyat penuh asap debu perseteruan. Memandang negeri dari seberang, memotret diri sendiri jadi patung yang kapan saja boleh ditendang hancur oleh angkuh devaluasi terkawal senjata regulasi. Buku, literatur, jalan jembatan menuju sasaran sementara dimusnahkan. Lalu hoax merajalela.
Masih di sini, belajar menafsir, belajar mengambil gambar, belajar mengeja, belajar menenun huruf. Angsa-angsa menjadi angka, lengkapi statistik penularan. Kemanusiaan yang jadi patung, dan tidak rela menafsir, menganalisa. Sibuk bikin status: ‘Bu-can, Pak-gan, mesin cerdas para cantik ganteng tergantung pada doa-doa sembarangan. Zaman instan, semua jadi mudah, makan minum tinggal pesan saja. Kurus gemuk berotot kaya miskin ada dalam status. Demikian juga mereka yang berotak ada dalam status. Lalu semua terbakar, neraka murka amarah dan saling iri.
Laste
Depan patung pedati dan pedagang sungai di Clarke Quay, saya memetik gambar dan membaca ‘Sejarah singkat Pembakaran Buku dari Masa ke Masa’ di literasinusantara.com, disebutkan, yang mana, “Kala Al-Qaeda menginvasi Mali dan Timbuktu, tahun 2012, di antara yang jadi target serangan tersebut adalah manuskrip kuno yang tak ternilai harganya – dan akan dibakar.” Invasi, devaluasi, pembakaran ada di mana-mana di bumi.
Mari kita ulang, “Political will, you are ready to do the best for long term interests of the country even if it means you would lose next election in the worst case.” Sejurus kepentingan politik jangka panjang, pilihan ada di tangan sistem, dan rakyat tentunya punya andil untuk menentukan arahnya ke depan. Pilihan ada di genggam kita, jangan lagi ambyar karena kemerosotan yang sudah nyata di depan jidat itu. Padahal, buku, literasi itu masa depan: cermin untuk membenah diri, menangkis devaluasi yang ditodongkan sistem pada diri kita masing-masing.
Berharap, sistem: para pemimpin, penentu kebijakan, pengguna anggaran, pengawal negeri ini, dan kita semua, boleh memadam api persetruan, menghenti penegasian rakyat. Jaga sistem. Jaga Indonesia dalam damai dan cinta kasih. Demikian. (*)