Tuesday, April 30

Belajar Tegak Berdiri


09 Februari 2022


Oleh: Dini Usman
Penulis adalah pelukis dan penulis


KETIKA kita mengucapkan kata, “Aku mohon maafmu, apakah kau bersedia memaafkanku?”

Pertanyaannya adalah, apakah kita memahami permohonan maaf itu sebagai cara berbasa-basi dalam sebuah interaksi sosial yang kompleks inikah? Atau permohonan itu tulus dari kesadaran yang dalam bahwa kita menyadari telah berbuat kekeliruan yang menyebabkan orang lain sebal, mual, marah, bersedih hati, benci, suntuk, sakit hati atas sikap, perbuatan kita yang melukai hatinya?

Jika pilihan yang kedua, tentunya kita tidak lagi ingin mengulanginya. Karena kita tahu, menyakiti itu berarti melakukan tindakan yang melukai, baik secara fisik ataupun psikis.

Tak sesiapa pun ingin sakit.

Kita mau semuanya sehat. Sehat berelasi satu dengan yang lain secara bermartabat.

Jika kemungkinan ada indikasi kita mengulanginya, bahkan karena ada anggapan: manusia orang yang selalu salah, dan wajarlah berbuat kekeliruan berulang kali. Begitulah kita membuat alasan pembenaran untuk hal ini.

Maka menurutku, kita masuk pada kategori yang pertama, hanya berbasa-basi saja.

Jika tidak ada tanda-tanda keduanya? Lantas bagaimana pula ini? Maka bersiaplah segera memaklumi kekurangan diri sendiri yang barangkali jangan lagi memberi ruang dalam hati untuk mudah tersakiti. Karena dia, kamu, aku, mereka, kita, masih belajar berjalan tegak menjadi homo sapiens, menjadi manusia bijaksana.

Pahamilah ini, Dini, pahami!
Entahlah…

(*)

Dini, 08 Februari 2022