15 April 2022
Tertanda, sajak di jejak, biru…
Oleh: Parangsula
TAPAKI TITIK demi titik, memberi tanda: Tanjung Kalisalang, Ombay, Batu, Bana, Banda Sea. Pantar Strait, Bouweli, Bandar, Baranusa. Jalan-jalan bikin hati haru biru.
Kabir malammu, bintang kelana di atas laut hitam arus menampar. Empat lelaki duduk di pemecah gelombang, obrolannya tanjung: Tanjung Abila, Tanjung Warpandai, Tanjung Kalisalang, Tanjung Hambaroi. Penyadap nira lelah, diam, bicara dengan dirinya di bawah pokok lontar.
Malam itu singkat. Gubuk-gubuk menanti biru membuncah dari timur, lalu anak-anaknya memandang jauh dari Woto Lewora, pulau berserakan tak pernah pindah, kecuali nama dalam tafsir.
Ratus masa silam, biru penuh. Rembulan tercarik sejak sore bersama badai. “Empty words,” dengusmu, duhai senja gamang, de luna pakai kebaya, tuturuga ba-tambor: syair menguap ke cakrawala. “Enchantments strange as the blue up above…” Nyanyian negeri seberang, mendamparkan diri di tepi. Mereka dari titik biru, darah mendidih seberangi sejumlah negeri, membangun dermaga, menulis cerita.
Biru, menyanyi sendiri di ibukota negara. Entah pernah mengenal biru yang dari laut meninggi Woto Adnatang, Woto Lalanggasang, pepohon dan hutan semakin jauh makin biru kelam. Katamu suatu waktu, cinta bersemi pada biru.
Waktu itu, empat lelaki tak sempat berdendang bersama sederet titik di tepi biru: Kampungbaru, Hirangbako, Padangsul, Wawalang, Lamahule, Biatiwang, Pailonggo, Tuabang, Helandahui, Kolijahi, Waiwagang, Watoapelolong, Kabaku, Munamukuleng, Pulawala, Dadiwira, Puhorua, Bukalabang, Ape, Lapawala, Abila, Bekupira, Bira Satu, Pulateli, Dantupa, Lewololong, Modibur, Dolabang Bawah, Bakutunggul, Bama, Tuandoku, Dolabang Atas, Hariabang, Bampala…
Damai deras di biru gelombang, digambarnya diam:
Speak once again…
My love…
My own…
Tembang, pecah di biru. (*)