
24 April 2025
Oleh: Dera Liar Alam
ISU sosial — patung bersabda realitas artistik: kayu, batu, plastik, logam, resin, daur ulang. Apa itu gabungan tradisional kontemporer inovatif, teks suci cari makna, kita di sini buang air seni saja ditagih patung. Kotak sumbangan terpaksa diletak di sejumlah lokasi strategis supaya menarik perhatian. Patung-patung membawa pundi-pundi beredar dari satu gedung ke gedung lainnya, mereka cari nafkah supaya boleh bertahan dalam gempuran berbagai isu.
Berdiri, duduk, bersilat, tidur, ditunggui patung disodori tagihan.
Patung, dari hari kelahirannya, mindsetnya sudah diinstall regulasi. Ayat-ayat pajak lantang dari bibirnya: antarlah seluruh sembah sepuluh bagian dari kerjamu berkeringat berdarah itu ke rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan. Betapa, kerja sehari untuk makan seisi rumah memang sudah susah diwujudkan, kekurangan – sudah pasti. Berapa panjang barisan pengangguran dan barisan orang-orang yang diputus hubungan kerja? Coba dengar sosialisasi makan gratis, entah nanti putus kontrak. Tak ada gratis di negeri ini. Semua patung berdiri duduk tidur terus menagih.
Tuhan tidak punya nomor rekening. Uang kecil dari jutaan tangan tentu setumpuk bergunung-gunung diterima patung yang mengaku membantu tuhan-tuhan yang tidak mahakuasa. Tuhan mana yang perlu bantuan manusia? Tidak ada! Patung saja yang suka mengaku jadi pembantu tuhan.
Mewarnai badan dengan teori marketing, itu patung juga beredar di jalan-jalan kota.
Patung arsitek langit, cari makna kagum. Warisan telah digadai, diganti sesembahan baru mainan kreatif figurative. Tuhan abstrak. Ketika patung butuh uang, mintanya kepada ummat. Ketika ummat butuh biaya hidup, ummat disuruh baca mantra kepada patung. (*)