23 Oktober 2022
Oleh: Dera Liar Alam
DAN, dia telah membuka semua jendela:
Asap menerobos ke taman, halaman sebelah dikosongkan berminggu-minggu silam oleh orang-orang berseragam pamong. Puang memanggil sopirnya, “Sule, Sule, Sule.” Sule hampiri Puang, rautnya datar menunggu perintah. Pintu mobil putih terkuak, jendela kaca diturunkan, surat-surat berhamburan diterpa badai terbang ke langit jingga…
Pertapaan kita berbatas halaman tetangga yang sudah diusir. Dan, aku membuka jendela, menunggu selentingan yang hilang, gossip, desas-desus diam, suara timba merecoki sumur sudah sepi. Sule datang dari halaman lain memotong semak, menebang pohon, mengangkat sisa pagar, memindahkan loyang bekas wadah cucian, membanting loyang ke tembok. Burung-burung bubar, Sule pulang, langit jingga ditaburi surat-surat awan, koyak…
Puang memandangnya dari jauh, dari lantai tiga pelatarannya – tiga kilometer dari kaki langit kota seberang.
Jingga bertabur bintang teori biru kerakyatan jadi merah, dan marah.
Langit di atas tanah, di atas danau, di batas sungai membanjir sampah: senasib para saudara bertumpah darah, dan nanah, dan kencing, dan tinja. Negeri, pepohonnya tumbuh satu-satu, peruntuhan bergemuruh, kadang tersamar suara generator manakala listrik berbayar dipadamkan tanpa penjelasan. Kaca, cermin, memantulkan arak-arakan tuju pemakaman. Di atasnya langit jingga berkabut racun, kelam…
Langit jingga, jendela ditutup satu-satu. (*)
Tanah Sulawesi, 2022.