23 Maret 2022
Oleh: Parangsula
Gambar: Anak-anak Abui
JOGET di atas batu, itu pendatang petualang mampir di sana, semisal saya terkagum-kagum altar, mezbah sunyi, kisah pertempuran dan dewa-dewa, Larra, Wulang, Neda, Addi, Hari, dan seterusnya masyur sejak zaman batu dan masih bersisa sampai sekarang. Laut biru, langit biru diincar dari bukit terjal, rimba elok. Di sana, di Falafoka, di Takpala.
Kalung menjuntai, butir biji pisang liar dipoles lalu dirangkai. Anak-anak Abui, mereka malu-malu, walau senyum merekah begitu bertegur sapa dengan siapa saja.
Siapa namamu? Hanya senyum, lalu menyebut, “Ata”. Saya pernah bicara dengan Novi, perempuan Abui. Sementara meramu ‘jagung bose’ dia di bale-bale ketika itu. Anak-anak muncul satu-satu. Ata bermain di sekitar Novi.
Bertanya mezbah, cerita menyeruak, misteri. Masih ada banyak pertanyaan belum beroleh jawaban. Simpan sebagai kenang. Anak-anak, bermain. Kalung, gelang, cincin, berbagai jualan untuk mereka yang datang di sana. Mereka tersenyum, berpindah dari Falafoka ke halaman, duduk di batu-batu, berbincang dengan bahasa mereka, riang gembira. (*)