Wednesday, October 30

Hujan dan Hujat Minyak Goreng


20 Maret 2021


Banjir kampung halaman, Generasi Z, penggemar TikTok, berseru di medsos, “Aer so sampe di toto.” Maksud mereka, air hujan yang menggenangi pemukiman sudah sedada tingginya. Pengguna gawai lebih banyak menertawai, Baby Boomers banyak yang naik pitam, atau mati karena uzur dan karena isu pandemi digoreng-goreng sejumlah harga politis bersubsidi dogma-dogma ricuh didoakan panjang lebar untuk menyihir cara pandang…


Oleh: Dera Liar Alam
Penulis adalah jurnalis penulis
Editor: Parangsula


Gambar: Menantang hujan panas di ibu kota negara.


GERBANG masuk-keluar gedung, para ‘kandala’ duduk memasang wajah murung senduh. Anak kecil menjulurkan kepala keluar dari balik pintu. Puluhan, mungkin ratus, orang-orang bangkit-duduk-bertelut, bangkit lagi dan menyanyi. Saya hafal iramanya. “Showers of blessing, showers of blessing we need; mercy-drops round us are falling, but for the showers we plead,” begitu refrain-nya.

Kandala, Candala, atau Kandalaksha? Yang disebut belakangan itu kota di Oblast Murmansk, Rusia. Berada di Teluk Kandalaksha, di Laut Putih. Bukan kandala terkait Kandalaksha, bukan itu!

Kandala, group asal Palembang, darah baru dalam hingar bingar skena musik keras nan melebur riff-riff klasik – yang menurut mereka, “Anti Cimex, Dismember, Nihilist, Dissection, Slayer, Sodom, dan Bolt Thrower yang dituang ke dalam tungku hitam perapian, membentuk senyawa kotor lalu ditempa dengan kasar sebagai bahan bakar musikalitas.” Begitu ditera tentang ‘Kandala’ pada blognya disasterposse.com. Nah, bukan kandala yang ini juga, walau isunya mirip.

Perilaku ingkar dan dusta, itu ‘kandala’: rendah, hina, nista, demikian dibeber dalam Kandala.

Bila berdusta, anda akan jadi ‘kandala’, terkena kusta. Iin Saputri berkisah tentang kandala. Katanya, ‘kandala’ atau kusta seringkali dijadikan kata serapah bahkan ancaman bagi orang-orang yang dianggap melanggar janji atau berkata bohong. “Sejak kecil, saya yang lahir dan bertumbuh di Makassar telah dicekoki oleh lingkungan tentang stigma terhadap individu penyandang kusta. Seringkali saya dan saudara-saudara saya mendapati orang tua kami bergidik ngeri ketika melihat ada orang kandala lewat di depan rumah. Bahkan ketika sekadar bercerita tentang tetangga yang kebetulan mengalami kusta dan akhirnya menjadi disabilitas akibat terlambat ditangani, mereka tak bisa menyembunyikan ekspresi negatif, entah ngeri, entah jijik. Mereka sangat tidak menganjurkan kami untuk dekat-dekat dengan orang kusta karena takut kami tertular.” Artikel Iin itu bertajuk ‘Masih Lekat Meski Telah Lenyap’, dimuat di halaman online Kementrian Sosial Republik Indonesia.

Isu minyak goreng itu seperti banjir, menggenangi semua tempat di tanah air, dari ibu kota negara, hingga pelosok kampung. Lalu menjalar dan menjangkiti sejumlah sektor ekonomi sebab laku pembiaran yang memang laten dalam sistem. Janji palsu, kampanye kesejahteraan, perubahan paradigma, pembangunan berpihak rakyat. Ternyata janji berlubang-lubang. Bolong seperti proyek jalan di berapa tempat – dianggarkan dalam DIPA, lalu terlantar dan kurang pengawasan. Begitu.

Pasar demikian perilakunya, kenaikan harga seperti apa kontrol yang diberi? Pesohor jualan segala macam produk memaksa konsumen untuk beli, sudah biasa terjadi. Hasil pertanian, sayur, cabe, tomat bawang, bumbu, dan lain sebagainya, ditimbang dengan tanah dan sampah siapa yang memantaunya? Semua mau cari untung.

Kawan saya – perantau dari Sumatera yang menetap di Jawa, bilang, “Semua pejabat negara berlomba-lomba bikin statement tentang minyak goreng. Tapi, tindakan nyata tidak ada. Minyak goreng tetap tak kelihatan,” beber Ebyeth, 11 Maret 2022 silam. Ini fakta, bukan hujat. Minyak goreng memang mehong dan menghilang di rak-rak jualannya.

Terkait pemberitaan, yang mana, harga dikendalikan mafia, Ebyeth menera screenshot pemberitaan, kaget, penguasa negara dapat kalah oleh mafia. Shandy Grafika Heidelberg spontan memberi komen, “Mending turun takhta.”

Rofik Hananto, Anggota Komisi VII DPR RI, menyebut kebijakan pemerintah mencabut ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan sederhana dan premium bukanlah hal yang memberi solusi. “Dengan mencabut HET, sama saja dengan menyerahkan harga minyak goreng kepada mekanisme pasar. Sehingga, hal ini akan memicu kenaikan harga minyak goreng kemasan di level konsumen sesuai tingkat harga minyak sawit internasional. Karena itu, Rofik mendorong dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) di DPR RI agar permasalahan minyak goreng dapat diketahui secara jelas.” Begitu diberitakan di halaman Sekretariat Jenderal DPR RI, 17 Maret 2022.

Senada Rofik, Piter Abdullah, Direktur Riset Center of Reform Economic (CORE), menyatakan bahwa pencabutan HET minyak goreng kemasan premium dan sederhana bakal ikut mendorong inflasi tahun ini, walau “kontribusi minyak goreng untuk inflasi terbilang kecil. Hanya saja, daya beli masyarakat untuk kebutuhan bahan pokok itu dipastikan akan tergerus cukup dalam seiring dengan reli kenaikan harga sebagian besar komoditas pangan sejak akhir tahun lalu,” sebagaimana ditulis Nyoman Ary Wahyudi di Bisnis.com, 17 Maret 2022.

Rakyat sudah lama berteriak, karena banjir dan karena kenaikan harga. “Saya mau beli biar mahal, tapi minyak goreng habis. Padahal saya sudah antre dari subuh di dekat lokasi penjualan minyak goreng curah,” kata Ani, pekerja, perantau dari Flores yang menetap di Makassar.

Sudah diberitakan sebelumnya dalam tajuk ‘Virus Genius dan Bandit Minyak’, 15 Februari 2022, yang mana pemerintah tetapkan HET empat belas ribu rupiah per liter, pedagang minyak goreng mana mau patuh? Cokro, tinggal di Bandar Lampung, menanggapi berita penetapan harga yang dipublikasi media, dia bilang, “Katanya mau pulihkan ekonomi, tapi harga minyak goreng tetap selangit. Himbauan harga juga tak mempan, barangnya juga gak tahu ada di mana. Ditambah lagi situasi sekarang ini selalu dikaburkan ditekan-tekan dengan berita covid.”

Dengar teriak mereka. Orang-orang antre di depan swalayan, di pasar, di lokasi-lokasi penjualan yang masih melayani pelanggan. Mereka tunggu kesempatan beli minyak goreng dari pedagang. “Di sini harganya masih empat dua,” tutur Nita dari Jakarta Timur, menegaskan ternyata minyak goreng dijual Rp 42.000 untuk ukuran dua liter. “Harga katanya turun, barang tidak ada,” beber Carter kesal.

Jadi, apa solusinya? Rakyat bikin minyak goreng sendiri. Dengan sinis Whoami, kawan di Wanua bilang, “Jangan sampai kami menggoreng dengan minyak rambut.”

Orang-orang di Wanua memang pernah membuat minyak goreng sendiri, lalu zaman berganti begitu cepat. Semua jadi instan. Bikin minyak goreng sendiri? Mana sempat.

Tahun silam, pemerintah telah melakukan koordinasi dengan pengusaha minyak goreng melalui surat Ditjen Perdagnagan Dalam Negeri Kemendag meminta agar seluruh produsen minyak goreng tetap menjaga pasokan dalam rangka stabilisasi harga dan ketersediaan minyak goreng melalui penyediaan minyak goreng kemasan sederhana di pasar ritel dan pasar tradisional yang dijual sesuai HET.

Katanya, pemerintah mau menghentikan ekspor CPO dan akan mendorong agar produsen yang memiliki lini industri kelapa sawit terintegrasi dari hulu ke hilir supaya menyediakan CPO dengan harga khusus untuk diproduksi jadi minyak goreng dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri, lalu berkoordinasi menaikkan bea keluar CPO. Apa hasilnya? Hari ini harga belum terkendali. Rakyat pasrah.

Gejolak tumpah di media sosial dalam status-status, munafik.

Tentang ‘kandala’, yakni kusta atau lepra, penyakit yang disebabkan bakteri mycobacterium leprae. Situs alodokter.com menyebut yang mana seseorang dapat tertular jika mengalami kontak dengan penderita dalam waktu lama. “Seseorang tidak akan tertular hanya karena bersalaman, duduk bersama, atau bahkan berhubungan seksual dengan penderita. Kusta juga tidak ditularkan dari ibu ke janin yang dikandungnya.”

Lebih dalam dijelaskan bahwa kusta dapat menular jika seseorang terkena percikan droplet dari penderita kusta secara terus-menerus dalam waktu lama. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri penyebab lepra tidak dapat menular ke orang lain dengan mudah. Selain itu, bakteri membutuhkan waktu lama untuk berkembang biak di dalam tubuh penderita.

Menurut dr. Merry Dame Cristy Pane di alodokter.com, tingkat keparahan gejala, kusta dikelompokkan menjadi enam jenis, yaitu: Intermediate leprosy, ditandai dengan beberapa lesi datar berwarna pucat atau lebih cerah dari warna kulit sekitarnya yang kadang sembuh dengan sendirinya. Tuberculoid leprosy, ditandai dengan beberapa lesi datar yang kadang berukuran besar, mati rasa, dan disertai dengan pembesaran saraf. Borderline tuberculoid leprosy, ditandai dengan munculnya lesi yang berukuran lebih kecil dan lebih banyak dari tuberculoid leprosy. Mid-borderline leprosy, ditandai dengan banyak lesi kemerahan, yang tersebar secara acak dan asimetris, mati rasa, serta pembengkakan kelenjar getah bening setempat. Borderline lepromatous leprosy, ditandai dengan lesi yang berjumlah banyak bisa berbentuk datar, benjolan, nodul, dan terkadang mati rasa. Dan Lepromatous leprosy, ditandai dengan lesi yang tersebar dengan simetris, umumnya lesi yang timbul mengandung banyak bakteri, dan disertai dengan rambut rontok, gangguan saraf, serta kelemahan anggota gerak.

Jangan-jangan sistem di negeri kita ditulari ‘kandala’, lalu tiap sektor menjadi susah bergerak. Hujan sedikit, banjir menular ke mana-mana dalam kurun waktu lama, dan tidak ada jalan keluar, selain mengeluh atau pasrah.

Apa penyakit yang susah disembuhkan sekarang? Kusta ada obatnya, dan dapat dicegah. Sistem yang kaku dapat dijembatani dengan rembuk diskusi dan tukar pemikiran. Teknologi memberi kita kemudahan untuk beroleh solusi.

Hujan masih deras, dan musim sulit diprediksi. Isu, hoax panjang berkesinambungan. Hutan kita dan sumberdaya kritis, namun perilaku ingkar dan dusta, itu ‘kandala’, rendah, hina, nista, itu masih menempel di badan, menyatu dalam mindset dan praktik pembangunan negeri ini. Memperdaya sesama, mumpung, dalam praksis ‘hukum huruf tebal’ di atas kertas.

Gerbang di mana saya pernah bersua mereka, ‘siapa yang disebut para kandala itu’ nongkrong, lokasinya di Jl. Balaikota, Baru, Kecamatan Ujung Pandang. Mereka duduk di depan gerbang sambil mengharap disantun sedekah siapa saja yang lewat ingin masuk gedung dan berkemurahan hati memberinya uang. Lokasi itu berada sekitar satu kilometer dari Gereja Katedral Makassar via Jl. Sultan Hasanuddin, di mana terjadi ledakan bom, 28 Maret 2021. Tepat di jantung kota, berdekatan dengan Kantor Walikota Makassar.

‘Kandala’, atau yang sudah sembuh dan cacat ada di banyak gerbang, ada di jalan-jalan mendayung tunggangannya, ada di lokasi di mana masyarakat ramai lewat dan tak mengacuhkan mereka. Stigma masih melekat, dan bahkan jadi makian.

Gerbang masuk-keluar ditafsir ringan, dogma: peribadatan itu mestinya sepanjang waktu, siang-malam. Menampung segala cuaca dan segala perkara dengan cermat dan bijak, bahwa urusan minyak goreng dan banjir mesti kita selesaikan bersama: berdiskusi, cari solusi, dan tegas, memberdayakan semua.

Hutan ditebangi itu saya, pengguna kertas dan segala teks dogma mahabenar. Ulangi refrain, “Showers of blessing, showers of blessing we need; mercy-drops round us are falling, but for the showers we plead.” Mengingat irama hujan saban tembang itu dinyanyikan saat penagih derma menghentar pundi-pundi ke hadapan umat, lalu duga banjir. Isu kenaikan harga senantiasa menderas setiap tahun, selalu begitu manakala hari raya mendekat, entah apa alasannya. Bertahun-tahun begitu tanpa solusi, hanya banyak alasan. Padahal makan minum tidak bertambah sepiring dua, segelas atau lebih, dan hanya kemabukan meningkat. Mabuk dogma lebih serius urusannya.

Tanya ulang: penyakit apa yang susah disembuhkan sekarang? Kelangkaan, atau kelakuan ingkar, dusta, rendah, hina, nista? Atau ketakutan – yang ditularkan – oleh pembiaran terstruktur? Amankan, damaikan.

Harga seperti permainan pasang surut di samudera. Menjadi biasa, dan dimaklumi. Seperti itu rakyat memohon: “Showers of blessing, showers of blessing we need; mercy-drops round us are falling, but for the showers we plead.” Mudah-mudahan kebijakan bukan lagi kendala dan ‘kandala’. Evalusi, pantau, beri solusi. (*)