Friday, November 1

Sains


23 Maret 2022


Dalam suatu masa ketakutan, teror kengerian perang. Pada situasi ini muncul semacam harapan hadirnya kekuatan gaib baru yang dapat melawan kuasa-kuasa mematikan modern, yaitu teknologi. 


Oleh: Denni Pinontoan
Penulis adalah penulis
Mengajar di IAKN Manado
Editor: Parangsula


Gambar: Recent news stories have rekindled the public’s interest in UFOs — by: Peter Lomas


SEBUAH esai berjudul ‘UFOs and Aliens Among Us’, termuat di Library of Congress, menulis begini: “Bagaimana kita mendamaikan Sagan yang skeptis dengan Sagan yang imajinatif?” Esai itu sebenarnya membahas mengenai fenomena kepercayaan orang-orang Amerika terhadap Unidentified Flying Object (UFO) yang mulai merebak tahun 1940-an hingga tahun 1950-an.

Nama Carl Sagan disebut, dan sesuai kutipan di atas karena, pada satu hal ia seorang ilmuwan yang skeptis, tapi pada hal lain ia justru yang berperan menjadikan sesuatu yang ‘belum pasti’ itu menjadi semacam ‘kebenaran’ populer dalam budaya masyarakat Amerika modern.

Sagan, demikian tulis esai itu adalah seorang ilmuwan yang mengkritik keras ‘kepercayaan’ ilmiah adanya UFO. Namun, dalam suatu esainya di tahun 1960-an, ia justru berspekulasi tentang kemungkinan kunjungan peradaban asing ke bumi di masa kuno.

Sagan dikenal juga sebagai penulis sains populer. Maka dengan itu ia sebetulnya berperan pula mempromosikan mengenai bentuk kepercayaan modern yang rasionalistis itu. Bagi dia, Tuhan seperti kepercayaan agama-agama tidak dapat diterima. Ia lebih percaya hukum fisika yang mengatur alam semesta.

Sagan tampaknya sedang menciptakan cara dan objek ‘percaya’ yang baru. Sebab, sesungguhnya sains tidak selalu dimulai dari apa yang ‘sudah ada’, tetapi apa yang ‘diyakini ada’, atau, sesuatu yang diyakini itu ‘harus ada’. Itulah yang disebut spekulasi-spekulasi ilmiah. Sehingga, ketika seorang ilmuwan berhasil membuktikan apa yang diyakininya secara teoritis, maka itu disebut ‘penemuan’. Tapi, bukankah sesungguhnya apa yang ditemukan itu sudah ada di alam raya, atau pula, benar-benar ia memang tidak ada?

UFO, oleh kalangan tertentu lebih dianggap sebagai bentuk ‘kepercayaan baru’ dalam budaya masyarakat Amerika. Ia hadir dalam konteks Perang Dingin, dalam suatu masa ketakutan, teror kengerian perang. Dalam situasi ini muncul semacam harapan hadirnya kekuatan gaib baru yang dapat melawan kuasa-kuasa mematikan modern, yaitu teknologi. Karya-karya fiksi ilmiah, entah film atau komik produk imajinasi, memberi hiburan dan keyakinan bahwa, cerita alien yang datang ke bumi adalah suatu harapan kemujaraban teknologi. Karena ini adalah eksklusif Amerika, maka itu berarti musuh mereka dalam Perang Dingin itu, yaitu Uni Soviet dari segi teknologi tidaklah lebih unggul dari negara mereka.

UFO adalah mitologi baru masyarakat Amerika modern yang tidak memiliki basis mitos primitif seperti yang dimiliki oleh bangsa Indian pemilik tanah asli. Skeptisisme khas sains dan mitos modern UFO pada akhirnya menjadi suatu ‘kepercayaan baru’. Masyarakat menjadi terpesona pada kegaiban teknologi, dan sesungguhnya rasa gaib itu adalah agama.

Jadi, sains sesungguhnya tidak seluruhnya rasional dalam pemahaman modernitas. Mitos dan logos dalam rasionalisme modern adalah dualistis, namun pada budaya populer dan nasionalisme keduanya saling kawin-mawin. Tentu sebagai nabi sains, hanyalah Sagan yang tahu keyakinan ilmiahnya. Demikian juga, hanya para nabi agama-agama itu yang tahu kepercayaannya. Namun, pada masyarakat jauh setelah mereka selalu berusaha untuk mengetahui kebenaran yang dipercayai oleh para nabi itu. Ada yang mengklaim dapat mengetahui tapi tidak mengabsolutkannya, ada yang sok telah mengetahui lalu mengabsolutkannya, dan yang lain terus dalam kebingungan.

Maka, ketika seorang pawang hujan yang membawa tradisi magis-mitologis primitif hadir di sebuah sirkuit yang dibangun oleh teknologi, dan itu di Indonesia, maka medsos menjadi ramai dengan macam-macam tanggapan. Banyak yang kemudian mengejek praktek itu dengan antara lain misalnya mengatakan di negara-negara modern orang-orang katanya lebih percaya sains dan teknologi, eh di Indonesia justru masih percaya pawang hujan.

Seolah, negara-negara yang dimaksud modern itu benar-benar mutlak lebih percaya sains dan teknologi lalu sudah meninggalkan kepercayaan magis-mitologis sebagaimana cita-cita August Comte itu.

Namun fenomena UFO lalu pengembangan teknologi AI sesungguhnya juga berbasis kepercayaan terhadap suatu yang ‘akan terjadi’ sebagai hasil dari semua itu. Ya, teknologi sebagai alat bantu bagi masyarakat kita adalah faktual, tapi keyakinan bahwa dengan hanya sains peradaban manusia akan mengalami keadilan dan perdamaian, itu masih visi atau bahkan ilusi, sama dengan doktrin agama-agama.

Dan, itulah yang kita alami, bahwa teknologi sekalipun tetap saja membawa teror kengerian, demikian juga cara beragama yang ekstrimistis. Teror ini terjadi karena ekstrimisme dalam laku dengan ideologi atau keyakinan apapun. Ekstrimisme, ya itulah sikap dan perilaku memutlakan yang satu dan meniadakan yang lain.

Kenapa masih perlu ada pawang hujan di Sirkuit Mandalika? Pertanyaan ini tidak terutama pada tradisi itu, tetapi justru terutama kepada wacana yang terus didoktrin kepada kita mengenai keandalan sains dan teknologi bagi kebutuhan praktis manusia. (*)