Sunday, December 29

Kaum Muda dalam Sandera Sejarah


28 Oktober 2024


Oleh: Denni Pinontoan
Penulis adalah penulis
Mengajar di IAKN Manado


SETIAP 28 Oktober, rakyat republik ini ‘diwajibkan’ untuk mengingat sejarah ‘Sumpah Pemuda’. Padahal, historisnya apa yang disebut ‘Sumpah Pemuda’ itu sebenarnya adalah rumusan-rumusan atau kesimpulan-kesimpulan dari sebuah pertemuan kaum muda yang bernama ‘Kongres Pemuda’. Pada medio 27 – 28 Oktober 1928 adalah Kongres Kedua. Kongres Pertama tahun 1926. Memang yang hadir adalah perkumpulan-perkumpulan gerakan kaum muda lintas bangsa se-Nusantara di masa itu.

Teks asli putusan kongres pemuda itu paragraf pertamanya berbunyi: “Kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia jang diadakan oleh perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan, dengan namanja: Jong-Java, Jong-Sumatra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong-Bataksbond, Jong-Selebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpoenan peladjar-peladjar Indonessia.”

Memang kongres pemuda itu adalah forum organisasi-organisasi gerakan kaum muda berbasis etnis di masa itu. Namun, rumusan kesimpulan kongresnya ada di tangan Mohammad Yamin. Ia hadir dalam kongres tersebut atas nama Jong Soematra. Yamin, kala itu tercatat sebagai mahasiswa pada Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Yamin memimpin sidang pertama. Ia membawakan makalah dengan judul “Persatoean dan Kebangsaan Indonesia.”

Yamin-lah yang meredaksikan putusan kongres itu. Artikel Secarik Kertas untuk Indonesia yang dimuat pada majalah Tempo, edisi  27 Oktober 2008 menuliskan,  rumusan putusan kongres itu ditulis Yamin pada secarik kertas yang kemudian disodorkan kepada Soegondo (ketua panitia kongres) ketika Mr. Sunario tengah berpidato pada sesi terakhir kongres (sebagai utusan kepanduan). Sambil menyerahkan kertas itu, Yamin berbisik kepada Soegondo: Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie (Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini).” Soegondo membubuhi paraf setuju pada secarik kertas tersebut, kemudian diteruskan kepada yang lain untuk paraf setuju juga.

Parakitri Tahi Simbolon, yang menulis Menjadi Indonesia, buku setebal 846 halaman yang terbit tahun 2006, mencatat adanya perubahan orientasi berpikir Yamin dibandingkan ceramahnya pada Kongres Pemuda 1 tahun 1926. Pada kongres pertama itu, bagi Yamin bahasa Melayu adalah bahasa kebudayaan Indonesia, belum sebagai bahasa persatuan yang politis. Sementara pada Kongres ke-II ini bagi Yamin bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan. Enam tahun sebelumnya, Yamin menulis puisi, berbahasa Melayu berjudul, “Tanah Air”. Tanah airnya adalah Sumatera.

Namun Wikipedia menyebut Yamin sebagai ‘pencipta mitos’ yang utama kepada Presiden Sukarno. Yamin ‘pencipta mitos’? Andreas Harsono, wartawan yang bekerja di Yayasan Pantau dan giat melakukan kajian mengenai nasionalisme meminjam pendapat sejarawan Asvi Warman Adam menyebutkan, salah satu orang yang banyak menciptakan ‘sejarah yang bercorak nasional’ alias propaganda adalah Muhammad Yamin.

Yamin, menurut Harsono, menciptakan mitos, bahwa Indonesia dijajah Belanda 350 tahun dan tentang Gadjah Mada dari kerajaan Majapahit yang bikin Sumpah Palapa. Yamin, menjadikan kemampuan sastranya yang berdasarkan imajinasi untuk mengkonstruksi wacana atau propaganda tentang sejarah Indonesia. Parahnya, di tahun 1950-an, Yamin jadi Menteri Pendidikan.

Kongres Pemuda tahun 1928 itu tidak menghasilkan ‘sumpah-sumpah’. Di teks aslinya yang ada kata-kata, ‘mengakoe’ dan ‘mendjoendjoeng’. Ia adalah rumusan putusan kongres, hasil dari sebuah dialog dengan zaman. Demi sebuah pengkontruksian nasionalisme Indonesia, putusan kongres itu kemudian didoktrinkan sebagai ‘Sumpah Pemuda’. Inilah sejarah tentang ‘putusan’ yang menjadi ‘sumpah’.

‘Sumpah Pemuda’ adalah salah satu dari sekian banyak  sejarah tentang dogma pengindonesiaan Nusa-Antara. Sejarah tentang ‘perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda’ yang menjadi sejarah nasionalisme tunggal untuk Indonesia. Hari ini, wacana pluralisme kita ditundukkan di bawah doktrin tunggal Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila. Bahkan sekarang ini, keduanya menjadi dua dari empat pilar kebangsaan. Yang lainnya adalah: UUD 1945 dan NKRI. Namun, agaknya jargon ‘NKRI harga Mati’ menjadi muara dari kesemuanya itu.

Kaum muda, dalam sejarahnya adalah ‘kaum pemberontak’ terhadap kemapanan dan status quo. Itu romantisme sejarah. Hari ini, di sekolah atau di ruang kuliah, kaum muda belajar tentang sejarah nasionalisme Indonesia. Tentang nasionalisme yang ‘menyandera’ kesadaran ‘memberontak’.  Tentang nasionalisme tunggal yang menghemoni sejarah ‘bangsa-bangsa’ pra Indonesia 17 Agustus 1945. Ini tentu soal paradigma nasionalisme yang tidak boleh ada sejarah lain yang tidak mendukung proyek nasionalisme NKRI.

Sentralisme yang sudah banyak dikritik, sebetulnya bukan hanya soal ekonomi-politik, namun juga tentang narasi sejarah, tentang pemikiran, tentang tindakan, dan bahkan tentang “batik nasional.” Inilah sejarah tentang Sabang sampai Merauke yang memang pulaunya berjejer-jejer, tapi telah disambung dengan doktrin nasionalisme menjadi tunggal di bawah kontrol ketat dari Jakarta.

Kaum muda hari ini, adalah mereka yang semangatnya yang menggebu-gebu dan otak yang dipenuhi dengan teori-teori pembangunanisme dan cerita-cerita sejarah bikinan historiografi Indonesiasentris di ruang kuliah universitas-universitas dalam negeri berkurikulum konstruksi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan atau universitas-universitas luar negeri yang pada banyak hal masih memosisikan ‘timur’ sebagai objek. Kaum muda ini rajin berdemo, berdebat, bikin acara yang heboh, dan pinter menyusun proposal permohonan dana untuk suksesnya kegiatan show pesona, kehebatan kelompok yang kadang-kadang politis. Yang lainnya ramai-ramai masuk partai, tergoda dengan jargon perubahan. Mereka, kaum muda itu, sibuk dengan proyek nasionalisme. Katanya, itulah semangat para fouding fathers yang harus diteladani. Apalagi, ketika ‘tua-tua’, eksponen 66 menyulut mereka dengan romantisme sejarah, maka semakin terbakarlah semangat kaum muda Indonesia.

Akhirnya, pola gerakan dan pemikiran kaum muda kini sepertinya hanya mengulang apa yang menurut mereka warisan para senior. Kaum muda ini, sebetulnya sedang disandera oleh sejarah nasionalisme. Padahal, setiap gerakan dan pemikiran adalah bikinan pada zamannya. Tidak semua pemikiran dan gerakan itu cocok pada semua tempat, massa dan orang-orangnya.

Sehingga, agar tidak menjadi tua dalam sandera sejarah nasionalisme negara ini, kaum muda kini sudah seharusnya keluar dari kerangkeng doktrin nasionalisme 1945, atau cerita buku-buku sejarah masa-masa sebelumnya, masa kolonial, misalnya cerita tentang 28 Oktober 1928 itu. Kaum muda Abad 21, adalah kaum muda yang harus melampaui warisan sejarah bikinan masa lalu. Ini, pertama-tama adalah soal paradigma atau cara pandang dan pendekatan kaum muda terhadap apa yang selama ini menjadi tujuan dari semua gerakan dan pemikiran, yaitu negara. Indonesia dalam bayangan tahun 1928, dalam kontruksi politis tahun 1945, 1966 dan bahkan 1998, haruslah berbeda dalam pikiran dan gerakan kaum muda di Abad 21 ini.

Jangan mau disandera oleh sejarah yang palsu! (*)