27 Januari 2023
Perjumpaan dari beragam warisan budaya: entah itu dari India, Arab, Cina, Eropa yang berjumpa dengan kebudayaan lokal, yang dalam perjalanan sejarahnya telah menghasilkan suatu kebudayaan yang khas. Rayakan warisan kemajemukan budaya kontemporer dengan gembira…
Oleh: Denni Pinontoan
Penulis adalah penulis
Mengajar di IAKN Manado
Editor: Parangsula
Gambar: Antusias sambut Barongsai Kuning, sang inti semesta. Foto DAX
IMLEK atau disebut juga Lunar New Year adalah perayaan Tahun Baru penanggalan Cina berdasarkan peredaran bulan. Makanya perayaan ini juga disebut Tahun Baru Lunar. Di Indonesia, terutama masa orde baru tahun baru Imlek dan banyak tradisi Tionghoa lainnya dilarang dirayakan oleh rezim masa itu.
Saya mengikuti keramaian perayaan Imlek terutama melalui media sosial. Keramaiannya tentu khas. Hiasan lampion, bagi-bagi angpao dan asesoris lainnya yang dominan berwarna merah, identik dengan perayaan Imlek.
Satu hal yang menarik di media sosial yang saya amati, keluarga teman-teman FB misalnya yang sebelumnya tidak lagi terlalu kentara tanda-tanda ketionghoannya membagikan foto-foto bersama keluarga besar merayakan Imlek. Beberapa gereja di Minahasa yang jemaatnya kebanyakan orang Tionghoa menggelar ibadah bernuansa Imlek.
Pada beberapa foto yang dibagikan itu tampak keluarga besar mereka berkumpul merayakan Imlek dengan penuh kegembiraan. Beberapa di antaranya memang masih terlihat jelas sebagai keturunan Tionghoa, berapa di antaranya tidak lagi. Mungkin mereka itu menantu atau keluarga tidak langsung terikat darah. Beberapa netizen yang bermarga Minahasa ternyata adalah keturunan Tionghoa. Mereka tampak pesiar ke keluarga-keluarga yang merayakan Imlek, entah beragama Konghucu atau Kristen.
Pada beberapa foto, tampak pohon natal yang masih menghiasi ruangan tempat keluarga besar keturunan Tionghoa berkumpul merayakan Imlek. Natal memang belum sebulan berlalu. Bulan Januari bagi orang-orang Kristen di Minahasa masih terasa seperti hari Natal dan Tahun Baru masehi. Tahun 2023 ini, Imlek jatuh pada hari Minggu, yang bagi orang-orang Kristen Minahasa hari itu bertepatan dengan perayaan Kuncikan pula.
Apa yang menarik dari fenomena ini? Sepintas ini hal biasa. Inilah bukti bahwa orang-orang berdarah Tionghoa telah menjadi bagian dari masyarakat multikultural Minahasa. Sebaliknya demikian, orang-orang Minahasa telah menjadi bagian dari identitas ketionghoan yang terus diwariskan.
Tapi bagi saya, hal menarik lainnya bahwa perayaan Imlek tahun ini, dan tentu di tahun-tahun sebelumnya dalam suasana multikultural seperti itu mengingatkan kita lagi tentang fakta kemajemukan masyarakat Minahasa, demikian halnya dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Sebab, sama halnya dengan warisan identitas Eropa, Arab, India, ataupun Jepang yang, pada satu pihak terus berusaha dilestarikan oleh komunitas-komunitas tertentu, namun pada pihak lain secara bersama-sama warisan identitas itu telah memperkaya dan ikut membentuk suatu identitas budaya lokal atau nasional.
Imlek awal mulanya memang berasal dari suatu lokus kebudayaan tertentu, dan karena di dalamnya terkait dengan kultus, maka juga berkaitan dengan agama tertentu. Namun, di Indonesia atau lebih khusus di Tanah Minahasa yang masyarakatnya majemuk, Imlek adalah adalah salah unsur dari kebudayaan khas setempat. Artinya, Indonesia dan lebih khusus Minahasa kebudayaan kontemporernya adalah hasil dari perjumpaan dari beragam warisan budaya. Entah itu dari India, Arab, Cina, Eropa yang berjumpa dengan kebudayaan lokal, yang dalam perjalanan sejarahnya telah menghasilkan suatu kebudayaan yang khas.
Jauh ke belakang, beberapa milenium lalu, sebelum para pengelana dari India, Arab, Cina bahkan Eropa, telah datang imigran yang membawa budaya Austronesia ke kawasan kita ini. Mereka berjumpa dengan para penghuni terdahulu. Terjadi perjumpaan, saling belajar bahasa, budaya, teknologi, seni, religi, dan lain sebagainya. Maka, terbentuklah suatu kebudayaan bersama yang hari ini sering kita klaim sebagai ‘budaya asli’ milik eksklusif kaum kita. Itulah sehingga, misalnya kata ‘wanua-banua-benua’; ‘wale-bale-balai’; ‘to-tou-tomata’ tersebar luas di Nusantara ini dalam bahasa ibu masing-masing kaum di wilayah kepulauan ini.
Jadi, apapun yang sering kaum kita rujuk sebagai penanda identitas eksklusif sebetulnya adalah hasil dari perjumpaan dan rekonstruksi panjang macam-macam sumber budaya. Maka, di era kontemporer ini, meski misalnya perayaan Imlek eksklusif perayaan orang-orang Tionghoa, atau juga Natal dan Tahun Baru 1 Januari, Idul Fitri, dan lain sebagainya yang dianggap identik dengan agama tertentu, semuanya itu adalah juga fenomena kebudayaan bersama kita hari ini.
Demikianlah, sehingga ketika saya seorang Kristen Minahasa ikut hadir merayakan Imlek di rumah teman Tionghoa, dan menyampaikan ucapan Gong Ci Fat Cai, itu adalah bagian dari merayakan kebudayaan bersama pula. Makna lainnya yang lebih substansial adalah untuk merayakan kehidupan bersama. Tentang kepercayaan agama pada setiap perayaan, itu tentu terkait dengan apa yang menjadi substansi dari keragaman itu: dalam kebudayaan bersama ada keragaman. Jadi, pada saat yang sama perayaan Imlek, Natal, Idul Fitri, atau perayaan keagamaan lainnya adalah tentang keragamaan dalam kebudayaan bersama kita. (*)
Kalutay, 23 Januari 2023