24 Februari 2024
Oleh: Dera Liar Alam
ENGRAULIDAË – sajian di meja ini disebut Ani dan Anita sebagai maero, atau mairo. Pupular – dikenal – teri di Tanah Melayu. Di dapur wanua kami menyebutnya nike atau ikang putih. O iya, di sini ada sambal tumis, tempe, tahu, cah kacang panjang, malalugis atau ikan layang yang siap digoreng, bumbu, dll.
Mengonsumsi teri atau ‘ikang putih’ itu tradisi tua. Membaca literatur, saya menemukan terminologi ‘garum’. Tercatat, garum adalah hasil fermentasi dari sisa potongan ikan atau hasil laut lainnya yang direndam dalam air garam dan didiamkan selama beberapa waktu. Hasilnya adalah saus ikan dengan aroma yang kuat.Garum berawal dari budaya Yunani yang kemudian digemari pula di Roma dan Bizantium.
Di daerah pesisir, saya perhatikan, ada saat di mana teri banyak di laut. Nelayan memanennya dengan keranjang atau dengan wadah jaring yang sudah diatur untuk memudahkan mereka memindahkan hasil tangkapannya. Daerah pesisir beraroma teri sebab masyarakat menjemur dan mengawetkan bahan pangan tersebut
Sebagaimana diketahui pemrosesan teri yang paling umum adalah digarami. Direndam di larutan garam lalu dikemas dalam minyak atau garam. Proses ini menjadikan warna kulit ikan yang hijau kebiruan menjadi abu-abu. Di Spanyol, ikan teri difermentasikan dalam larutan cuka. Di Romawi Kuno, ikan teri merupakan bahan dasar saus ikan fermentasi yang disebut dengan garum. Garum memiliki usia simpan yang tinggi sehingga dapat diperdagangkan hingga ke lokasi yang jauh dari pantai. Ikan ini juga dipercaya memiliki efek ‘afrodisiak’, yakni zat atau berbagai bentuk rangsangan yang meningkatkan gairah seksual. Ikan ini meski berukuran kecil namun memiliki rasa yang kuat sehingga berbagai macam saus ikan menggunakan ikan teri sebagai bahan dasarnya.
Kemarin Ani dan Anita jalani tradisi berpantang, makan nasi dan sayur tanpa ikan. “Mutih kalian?” saya tanya. “Tidak, makan pake sayur boleh,” jawab Ani. Dalam benak saya, ‘mutih’ itu boleh diselingi makang ikang putih. Demi asumsi tafsir hari ini, ternyata dugaan saya keliru.
Telusur kisah ‘mutih’, ternyata beragam. Berbagai cara. Ada puasa mutih yang mengharuskan penganutnya hanya mengonsumsi makanan pokok yang tak ada rasanya atau tawar. Minumnya juga air tawar. Asal kenyang, asal terhindar dari dahaga – rasa dan nafsu dijaga. (*)