Tuesday, November 19

Guillotine Memancung Demokrasi


12 April 2024


Ampunilah kenaikan harga, sebab janji palsu terasa lebih gurih lebih lezat sesaat dalam bilik lapar haus sosialisasi kemakmuran, dan ternyata impor berbagai goods untuk isi perut isi mindset, sebab terbukti beras ditakar untuk harga diri selama kampanye dan musim pilih penguasa. Katanya rakyat turut memerintah, obrolan ikut arus tujuan nilai-nilai telah terbeli — pembuat sistem bersekutu dengan para saudagar pemborong kursi wakil-wakil yang juga terbeli kepentingan dinasti pesta partai hilang arah entah rakyat mana yang dibela…


Oleh: Daniel Kaligis


Gambar: The execution of Louis XVI in 1793
Sumber Gambar: britannica


KAWAN minta: ‘Beri kalimat yang mudah dimengerti dan dicerna rakyat’, untuk soal demoskratos — sebagaimana disebut dalam regulasi, tegas bahwa praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme tidak hanya dilakukan antar-penyelenggara negara melainkan juga antara penyelenggaraan negara dan pihak lain yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara, sehingga diperlukan landasan hukum untuk pencegahannya. Sudah ditetapkan, namun ada yang abai, tameng kuasa jadi senjata sakti merobek buku regulasi, menguliti kedaulatan rakyat.

Perwakilan berkumpul jadi majelis permusyawaratan syarat-syarat, tugasnya pernah lakukan pengawasan tindakan penyelenggara kuasa yakni pemerintah sesuai regulasi. Kini, bersekutu mengintai semua sumberdaya di tataran rakyat terusir kapan saja oleh cap proyek strategis negara. Jalan-jalan berlubang, lembaga anti-rasuah dimandulkan, partai-partai ditodong senapan mesin dosa-dosa penggelembungan anggaran, gratifikasi, suap, dan sebagainya.

Drama tengah berlangsung, sistem, orang-orang terlibat. Siapa? Jawabannya sementara dibincang dunia, rakyat saksi manakala kekerasan budaya menyerang kesadaran. Di rosi_kompastv, Profesor Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum – Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyebut bahwa segala macam kecurangan justru dilakukan penguasa saat ini. “Penyebaran kesadaran palsu, yakni tindakan mengaburkan apa yang dinilai netral dan tidak netral bagi publik, sehingga inilah yang kemudian dipakai untuk menjaga kekuasaan. Segala bentuk kecurangan yang terjadi hari ini sebagian besar justru dilakukan oleh penyelenggara negara. Hal ini berbeda dengan Pemilu di periode sebelumnya.”

Kawan bertanya: ‘Tyrant telah kembali?’ Praksis curang telah disengaja, dan para pengawal negeri seperti ‘nyenyak’, boros dan kenyang makan minum fasilitas. Tyrant sampai kapan berkuasa? Hingga rakyat sendiri memenggalnya.

Praksis kekuasaan dan mereka yang ngaku wakil rakyat telah menjadi pisau pancung memangkas hak rakyat berpikir berkata bertindak.

À la lanterne! — Ke lampu jalan! Bakar di tiang pancang. Lampu jalan dijadikan alat di zaman revolusi — kerumunan — lakukan penghakiman massa, eksekusi di jalan raya ketika orang-orang Paris menggantung para pejabat dan aristokrat pada lampu-lampu jalan. Zaman berganti, cara hukuman dirobah, pisau pancung, guillotine gantikan À la lantern!

Louis XVI, dikenal juga sebagai Louis-Auguste, Raja Prancis dari Dinasti Bourbon, anggap diri tuhan – kuasanya disebut turun dari langit, bertindak semaunya. Kekuasaannya dihentikan. Dia didakwa khianat, ditangkap, dihukum dengan guillotine di hadapan penonton yang menyoraki hukumannya, 21 Januari 1793.

Guillotine, alat pancung. Guillotine dinamai menurut Joseph Ignace Guillotin (1738 – 1814), yang menyarankan pisau itu sebagai alat eksekusi. Padahal, Joseph Ignace Guillotin sendiri sebenarnya tak setuju hukuman mati. Dia berharap bahwa guillotine sebagai alat pancung akan menghapuskan hukuman mati.

Hapus, hapus! Lampu-lampu, lampu. Penerang telah dipadamkan demi serangan kesadaran. Dalam sadar orang-orang saling tuding, saling serang kata-kata. Namun, seperti yang disebut “menyerang kesadaran dengan mengikis nilai dan ide yang baik kemudian mengatakan semua yang ditetapkan penguasa otomatis benar. Tindak penerang justru telah menjadi pisau pancung memenggal kedaulatan rakyat.

Jejak selalu mengingatkan negeri di mana kita bergelut hidup, di sana penerang telah menyorot tindak dan kelakuan, atas nama regulasi huruf-huruf telah dipakai untuk kikis nilai dan ide keadilan sosial: sederhana jabarannya seperti diajarkan pada semua generasi di negeri ini yang mana setiap orang Indonesia berhak mendapat perlakuan adil dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Dan bahwa, demi demokrasi praksis nepotisme itu haram hukumnya. Rakyat telah memergoki praktek itu, keadilan sisial ditukar bantuan sosial yang juga dikorupsi di sejumlah titik.

Lampu-lampu menyala, À la lanterne! Sorotnya menyasar perkara yang telah dicatat jejak pergelutannya sejauh ini: praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta membahayakan eksistensi negara. Tegas itu dalam berita dan obrolan-obrolan layar datar, namun, tindak tetap ingkar. Maka, segera henti, berkaca evaluasi.

Tujuan jelas: wujudkan kedaulatan rakyat, jamin hak asasi manusia, dorong akuntabilitas pemerintah, lindungi keanekaragaman dan pluralism, dorong pembangunan ekonomi dan sosial, jaga stabilitas politik, dorong partisipasi masyarakat, jaga keseimbangan kekuasaan. Begitu amanat pendiri bangsa. Siapa? Semua orang di negeri ini. (*)