Wednesday, November 6

Ditangkap, Demokrasi Terceraiberai


28 April 2024


Bertahun silam kami berdiskusi membincang demokrasi yang memang soalnya ribet berliku mengumbar judul ‘Kegamangan Mutahir di Pundak Proposal Miskin’, ketika itu tahun 2010…
Potret tanah, demikian rakyat yang bergeliat di atasnya. Tak ada ganti untung, tak ada ganti rugi, tetap tercerai. Tuhan-tuhan berkuasa bersuara berpesta merayakan manusia tercerai dari mimpi-mimpi. Leluhur mungkin nanton dan tak mungkin direkam keberadaannya…


Oleh: Daniel Kaligis


Gambar: tangkapan layar – gusur demo


PROPOSAL cemas kebangkrutan moral diinterupsi berkali-kali, “Saya sudah pernah bilang, bahwa demokrasi sudah mati, tak usah lagi percaya pada sistem atau doktrin produk dunia feodal. Saya juga setuju dengan para ‘Arifin Kiri’, bahwa negara adalah ilusi — tak perlu kita hayati negara seperti menghayati arti sendal jepit ketika kita berjalan di aspal yang panas siang bolong. Yang ada dan rill, bahwa kita memiliki cita-cita untuk terus berjuang, melawan segala fatamorgana – rekayasa – sengaja – para pemuja demokrasi dan negara ilusi itu: sebab yang rill adalah rakyat yang lapar, miskin, tak punya tanah tak punya rumah karena digusur oleh polisi pamong praja – polisi peraturan daerah itu,” tegas Denni Pinontoan soal ‘demokrasi tercerai-berai dan mati’ itu, April 2010.

Fakta bahwa ternyata rakyat sudah bersuara dan tak didengar penyandang daulat kuasa penyelenggara sistem telah berulang kali dicatat direkam media. Berita miring ‘Tanah Negara’, sejak kapan negara punya tanah? Rekomendasi penggusuran didukung sistem, baca cemas itu di ‘Penggusuran Rumah di Tanah Negara’, Antara, 07 Agustus 2015.

Sebelum lupa, regulasi jelas menerangkan, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ingat, ‘dikuasai’ untuk dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat — kasus perampasan tanah kuat aroma korupsi di dalamnya, termasuk regulasi ramai dikorupsi juga: Pembangunan masih diterpa berbagai isu. Penyidikan kasus korupsi semakin hari semakin susah dicerna akal sehat, ia menyaji kerancuan banyak kata selamat yang mengiklankan kebobrokan sistem yang terus diembat media massa sebagai kiat bertahan dari gempuran keserakahan perut yang terus membuncit. Korupsi tak lagi di bawah laci, bahkan meja hujau sudah dimerahkan, darah mereka yang tertindas dan mengalami pembiaran oleh negara. Rakyat merasa percuma bersuara sebab suaranya memang cenderung tidak didengar, kecuali menyuap aparat supaya proses boleh berjalan, lalu mentok. Hukum diperjual-belikan, demokrasi cuma slogan.

Bentrok berkali-kali. Pedagang di Pasar 45 tolak digusur, walau berkali-kali digusur dan memang sudah ada yang sering digusur dan tergusur. Sistem berdalih atas nama ketertiban, penertiban. Ceritanya banyak, selasatu boleh anda simak di LIPUTAN 6, 17 September 2006. Sisa perkaranya masih dapat ditelusur hari ini, gambar, teks, dan berita bercerita: “Belasan pedagang terluka dan tiga lainnya diciduk setelah bentrok dengan polisi karena menolak digusur. Para pedagang di Pasar 45 mengaku tidak mendapat ganti rugi dari Pemkot Manado.” Begitu ditulis Aldrien Arief.

Sama nasib ibukota negara. “Pada kesempatan kali ini, kita meng-highlight permasalahan bahwa semasa kepemimpinan Anies tetap terjadi penggusuran paksa pada 2017 sampai 2019, LBH Jakarta mengeluarkan laporan yang menjelaskan bahwa dalam masa kepemimpinan Anies tetap terjadi penggusuran yang melanggar HAM. Penggusuran dengan melibatkan Satpol PP dan anggota terkait masih terjadi. Terlebih penggusuran paksa dilakukan tanpa didahului dengan musyawarah,” tutur Charlie Meidino, Pengacara Publik LBH Jakarta, seperti ditulis Kadek Melda Luxiana di detiknews, 18 Oktober 2021.

Rakyat bersuara sampai hari ini tak didengar. Ruth Ketsia Wangkai  menggemakan ‘Negeri Para Bedebah’ – Adhie Massardi, “Tak ada lagi ungkapan elok untuk negeri kita ini negeri para bedebah. Dalam imperium para bedebah, rakyat tinggal sampah berlumur sumpah para bedebah. Kendati nyawa nyaris melayang memikul beban para bedebah. Tetap, ada kekuatan menjungkir balik para bedebah. Tak ada impian berlama-lama, menunggu mujizat tak kunjung datang, menanti jawaban doa tak terkabulkan, mengharap keadilan tak kesampaian. Kini, yang tinggal sebuah kata lekat dengan perbuatan: Revolusi, itulah namanya!

Diusir tercerai-berai dari tanah, rakyat mau ke mana? Tinggal di langit? Oppy FritSia, kawan debat – teman diskusi, menyebut, “Negeri ini sakit borok kronis. Baunya sampai ke mana-mana. Sudah tidak ada rasa malu, aib berbau tidak bisa lagi di tutup-tutupi sebab secarik kain penutup auratmu telah tergadai oleh keserakahan hutang janji yang bergelombang menuai gempa dan badai di segala bidang.

Merdang Oppy FritSia: Oh, Indonesiaku…, Indonesiaku! Ratap pilu anak-anak di bawah langitmu karena hanya tinggal langit yang masih termeterai tempat menyimpan harapan dari jutaan hati tersayat, dan pemulihan tulang-belulang yang tercincang jika masih bisa terpakai untuk satu kata, ‘berjuang’, sebagai bukti engkau belum menyerah. karena dari peperangan lahirnya suatu mujizat.

Diskusi panjang lebar, debat saling asah di ‘Kegamangan Mutahir di Pundak Proposal Miskin’, 2010. Kawan saya, Sandy Nayoan, bilang, “Tuhan tidak akan merubah suatu bangsa kalau bangsa itu tidak mau merubahnya. Itu kira-kira intisari pidato bung Karno yang saya ingat. Untuk menanggapi tulisan di atas, artinya menurut pandangan saya bahwa pemimpin dan rakyat harus saling mendukung. Untuk suatu perubahan, pemimpin wajib memiliki tiga komponen dasar agar efektif dalam kepemimpinannya, khususnya dalam bidang pemerintahan: Pertama idealisme. Kedua konstitusionalisme. Berikutnya operasionalisme. Kemudian rakyat secara bersamaan menyatukan, membangun bersama idealisme yang sesuai dengan konstitusi guna meperoleh pencapaian operasioanal baik jangka pendek maupun panjang dengan gemilang. Sudah seringkali disuarakan oleh mereka yang perduli dengan bangsa ini bahwa kita semua baik pemimpin maupun rakyatnya wajib mengaplikasikan dan mengimplementasika sekaligus menghayati apa yang dicita-citakan di dalam Proklamasi Kemerdekaan, Pancaila dan UUD 45. Saya berkeyakinan a big change will be happened, tidak akan adalagi pemimpin yang sewenang-wenang menyalah-gunakan jabatan, rakyat-pun melek akan hak dan kewajiban dan demokrasi akan sangat memuaskan hasilnya dan bukan sekedar illusion country. So, kemudian mungkin muncul suatu pertanyaan: Bagaimana dengan mereka yang menamakan kelompok oposisi yang relatif ada dalam suatu negara? Menurut saya, masing-masing punya perspektif dan solusi.”

Coba tinjau praksis pengusiran – penggusuran – penangkapan. Siaran Pers Lembaga Bantuan Hukum Manado, 10 Juli 2023 – ‘Hentikan Penggusuran Paksa oleh Pemerintah Kota Manado Terhadap Warga Cereme Kampung Baru. Puluhan tahun menetap, lalu datang puluhan aparat gabungan Satpol PP, Polisi dan TNI melakukan penggusuran terhadap bangunan tempat tinggal warga Cereme Kampung Baru, Singkil, Kota Manado. Penggusuran itu dilakukan secara paksa dan tanpa dasar hukum yang jelas sehingga mengancam hak hidup dan hak atas tempat tinggal yang layak warga Cereme Kampung Baru.

Padahal jelas disebut dalam konstitusi, bahwa negara menjamin adanya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Selain itu, sebagaimana ditulis bahwa mestinya setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta kehidupan yang layak. Kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya menentukan bahwa negara mengakui hak setiap orang akan suatu standar penghidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian dan perumahan yang cukup dan perbaikan kondisi penghidupan yang terus menerus. Padahal, pengusiran – penggusuran – penangkapan adalah pelanggaran hak asasi manusia.

Ditangkap, dicerai-beraikan. Hei para tuhan, kami tetap berjuang! Begitu. (*)