15 November 2022
Para penghayat ‘Lalang Rondor Malesung’ di tanah Minahasa, sekali waktu dilarang lakukan ritual bulan purnama, ‘Maso’ Sico’o’, yang rutin mereka lakukan. Padahal, upacara bulan purnama dirayakan di banyak latar budaya di bumi, ritual itu sudah terjadi jutaan kali dalam siklus peredaran sang luna di cakrawala selama ribuan tahun.
Oleh: Daniel Kaligis
Editor: Greenhill Weol
ISWAN Sual, pemimpin ‘Lalang Rondor Malesung’ duduk di depan saya, kami bertukar pikiran manakala kelas ‘Menulis Naratif’ hari kedua usai. Sore jelang malam, langit di ufuk Kakaskasen senantiasa berkabut, lalu arak-arakan putih kelam itu perlahan menipis saat gelap turun. Diskusi tentang ajaran, tradisi leluhur masih dipinggirkan. “Berjuang supaya kolom agama di KTP kami tidak diisi dengan ‘tanda strip’, sebab hal itu akan menyulitkan bagi kami penganut ‘Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa’ untuk beroleh pekerjaan,” urai Sual.
Malam ini purnama, dan ada gerhana bulan total, 08 November 2022. Dikabarkan pada ‘peta visibilitas’, fenomena ini terlihat di Samudera Pasifik dan sebagian besar Amerika Utara manakala bulan beranjak terbit di langit Australia, Asia, dan di ujung timur laut Eropa, hingga ketika terbenamnya bulan di Amerika Selatan dan Amerika Utara bagian timur.
Saya dan Sual serta berberapa teman berdiskusi banyak soal, tentang peristiwa, hal-hal di sekitar kami. Mata menerawang, entah mengingat peristiwa ‘pelarangan’ yang sering dibuat di luar tafsir logika. Demikian Sual dan saya saat berdiskusi, berbagi perspektif. Saya coba membuka portal, membaca tulisan terkait ‘Maso’ Sico’o’.
Tentang isme-isme dan pelarangan: Nanti, berapa saat kemudian, ketika mengedit artikel ini, saya membaca ujaran terkait hal itu dari seseorang kawan di dinding media sosial. “Kapitalis bersembunyi di balik kesucian, dogma dan ancaman, reward and punishment, semua kreasi manusia dengan mengambil rupa manusia yang ditinggikan,” tulis Shinta Miranda, kawan saya di Jakarta. Hemat saya, Sual mengalami situasi ini. Dia dan kelompoknya mengalami ancaman dan pelarangan. Tempat peribadatan mereka pernah dirusak. Ritual mereka sering dihalangi.
Kembali lagi di diskusi. Di ruang ini, peserta duduk melingkar, atau duduk bertumpuk-tumpuk, membincang cara membuat lead pada tulisan. “Apa terminologi lain untuk kata ‘bumi’?,” tanya Natan. Saya jawab dia sekilas, cocoklogi, “Dunia, jagad, wadah, gelas.”
Peristiwa untuk dilupa, memang sering lupa, lalu dianggap hilang, sirna.
Natan mengetik sajak, refleksi bulan manakala purnama dan gerhana menetas jauh di atas wanua dia.
…….
Lelaki gondrong di luar pagar. Dia melawan gelap sejuk seputar jalan Kalutay. Kals, begitu dia dipanggil. Dia kawan Natan di PUKKAT, juga kawan saya. Dia menertawai kebosanan saya menenteng kamera, mengedit gambar, memilih abjad lapuk peradaban, mencipta tuhan-tuhan dalam teks-teks berantakan. Sekilas dia berlalu ke belakang, mengangkat kemasan plastik di sudut ruang, meraih cawan dan mengisi wadah itu, “Kitya stengah, angko stengah. Baku berbage torang.” Saya bergegas melewati bilik bertulisan ‘Dilarang Merokok’, berbelok ke sebelah kiri dan menyambut gelas dari tangan Kals. Dia terkekeh, kumisnya naik – turun.
Kals, lengkapnya Kalfein Wuisan, kawan yang riang, dia direktur Smartphone Movement di tanah Minahasa, menetap di wanua Wuwuk, selasatu negeri penghasil tjaptikoes dari zaman dahulu kala.
Berlatih Menulis
Sekitar enam jam silam:
Kantor PUKKAT di jalan Kalutay, Tomohon. Ruang itu diisi tetumbuhan hijau berbagai corak dan buku-buku ribuan judul bertengger di rak-rak mudah dijangkau. Di bagian panggung rumah berdinding bersekat kayu, berjendela kaca – juga berbingkai kayu – itu, ‘diskusi berbagi belajar tak biasa’. Kawan-kawan dari berbagai larat, aktivis dan jurnalis Indonesia Timur, duduk melingkar di lantai berkarpet merah. Di situ ada fotokopian, buku, pena, dan suara-suara. Jelang siang, kabut di lereng Mahawu menerobos jendela dan pintu. Mata sekilas menerobos kaca pecah, hujan berhamburan menimbulkan riuh, melawan suara-suara. Janet Steele tetap lantang. “Tulisan,” kata dia, harus berfokus, mempunyai detail yang relevan, punya struktur, memilih tokoh. Dan seterusnya.
Kelas usai. Janet berlalu dalam gerimis deras di jalan Kalutay. Dia tuju hotel di lingkar timur. “Mereka terganggu dengan hawa dingin. Eemmm, saya pikir di sini sejuk dan sangat menyenangkan,” ucap Janet dengan raut berbinar seraya melangkah masuk pintu depan mobil putih yang datang menjemputnya.
Sekitar enam jam kemudian:
Lelaki gondrong di luar pagar yang melawan gelap dingin itu, tatapnya menerobos atmosfir gulita bertabur awan. Tangannya menggenggam gadget membidik bulan bersetubuh dewa merah jingga nun jauh tinggi di langit Tomohon.
Di bayang rindang pepohon dan bunga, di petak-petak bertumpuk dua tiga empat berkawan, masih diskusi, bertukar cerita.
“Gerhana, bulan merah,” cetus Kals, seraya menyodorkan gadget-nya berisi gambar bulan. Gadget dia juga menyimpan gambar orang-orang terhormat. Malam ini, corak t–shirt Kals senada purnama yang jingga. Kami berjalan keluar pagar, cari posisi, membidik bulan, memerhati hasil bidikan tersimpan di memori gadget,
Campuran berkilauan diseruput tipis-tipis, masuk kerongkongan, hangatkan badan, membakar semangat, hanguskan dosa-dosa masa silam. Penikmat tersenyum lebar.
Kals menuang tjaptikoes ke cawan. “Kita kwa nda ja campur.”
Duhai November dan kenangan. Hari ini di 1960, Senator John Fitzgerald Kennedy terpilih jadi Presiden Amerika Serikat.
Manakala duduk di kursi kekuasan, Kennedy menggemukkan jumlah penasihat militernya, menggandakan pasukan operasi khusus, menambah helikopter dan armada perang untuk menjegal komunisme di Asia Tenggara.
Zaman Kennedy, bumi mengenang sejumlah peristiwa di dalamnya: Invasi Teluk Babi, Krisis Rudal Kuba, Perlombaan Antariksa — Proyek Apollo. Kita juga ingat pembangunan Tembok Berlin, Gerakan Hak-Hak Sipil Afrika-Amerika, juga Perang Vietnam.
November, seperti bayang suram bagi Kennedy. Lelaki yang lahir 29 Mei 1917 di Brookline, Massachusetts, Amerika Serikat itu, pernah berkarir militer pada Perang Dunia Kedua itu mendapat giliran disasar peluru. Dia terbunuh di Dallas, 22 November 1963.
O iya, Proyek Apollo-nya Kennedy menghasilkan pendaratan di Bulan.
Tragedi Koyabu
Purnama datang lagi dalam putaran semesta, malam larut di Kalutay. Natan menulis sajak di dinding media sosial. Kals masih memanah purnama, merampungkan tugas-tugas, menyodorkan buku tamu, meminta tanda-tangan. Lalu, malam dan pagi bergulir, kedua, ketiga, keempat, dst.
Di sini, sedari pagi hingga pagi kembali, hidangan di meja tengah ruangan tak pernah sepi: bubur menado, nasi kuning, nasi goreng, nasi putih, ikan bakar, ikan goreng, dabu-dabu, sauce, lemper, onde-onde, panada, dan koyabu. Ada kopi, teh, air putih. Manakala senja, cawan-cawan diisi cairan. Teko, gelas, wadah berpindah dari meja ke meja. Campuran sunkist dan tjaptikoes, minuman orang-orang terhormat.
Di antara hidangan yang disuguhkan di sana, koyabu yang paling berkesan, dan kue itu boleh bikin air mata berlinang ketika mengenangnya. Koyabu, penganan khas Minahasa itu adonannya hampir mirip onde-onde, dibungkus daun pandan lalu dikukus.
Suatu saat jelang siang. Dewa, tafsir nama yang saya beri padanya, datang menghampiri koyabu. Dewa memasang kuda-kuda untuk menerkam, selangkah maju, memegang koyabu, membukanya, dan secepat jet, tangan Dewa memasukan koyabu ke arah mulut.
Namun, tiba-tiba Dewa itu menjerit. “Adooooohh,” pekik sang dewa. Darah bercururan sekitar mulut dan wajah, daun pandan bungkus koyabu masih di tangan Dewa, di depan hidung. Rupanya, peluru stapler yang biasa dipakai untuk merekatkan daun pandan pembungkus koyabu sudah nyangkut di hidung dewa. Ketika daun pandan ditarik, peluru stapler yang sudah menancap di hidung Dewa melebarkan luka.
Muncrat gula dari koyabu, muncrat darah dari luka.
“Bawah dia ke UGD,” pekik Pinontoan, ketua PUKKAT.
Lupa apa tepatnya nama si Dewa itu karena ‘short term memory’ saya sering gangguan. Tapi mudah mengidentifikasikannya: badan Dewa ‘paling subur’ di antara mereka yang datang di Kalutay ketika Narrative Journalism Tour 2022 berlangsung di sana. Peristiwa ‘koyabu’ dan Dewa berlangsung sangat cepat. Dewa menghilang sekian saat, lalu kembali lepas siang, hidungnya sudah diperban, dan dia sudah dapat tersenyum.
Laste
Senin hingga Sabtu pekan kedua di November 2022, di PUKKAT. Narrative Journalism Tour 2022 memberi bekas dan bekal. Saya membaca lebih banyak tentang Maso’ Sico’o’. Mengenal kawan-kawan baru yang ramah dari berbagai tempat di timur Indonesia. Berdiskusi, berbagi, dan belajar: Disha dari Paniai, Papua. Alo, yakni Iswan Sual, kawan lama dari Minsel. Jo dari Manado. Iwan dari Tondano. Oping dari Minahasa. Tika dari Makassar. Novi dari Minahasa. Sita dari Luwu Timur. Neno dari Kotamobagu. Jeane dari Manado. Riza Salman dari Kendari. Afni dari Makassar. Eril dari Morotai. Belarmino dari Taratara.
Malam itu, saya melawan gelap, membuka literatur, dan tetap menyuka tjaptikoes. (*)
Tomohon, 15 November 2022
[…] pengamen berdiri bersama kawannya nyanyikan masa depan. Belum terlalu lama, 2022, saya melukis Bulan di Luar Pagar, menyimpan lukisan itu dalam memori komputer lalu lupa taruh di mana – padahal ingin sekali saya […]