18 Oktober 2023
Lupakan saja, sebab birahi kuasa itu sungguh sementara meninggi dan akan terus dipertontonkan, dipertahankan dengan sejumlah argumentasi. Drama ini yang dikunyah pemirsa di mana saja, jadi gunjingan di berbagai tempat, namun kekuasaan tidak lagi malu pada berbagai soal.
Oleh: Dera Liar Alam
Gambar: Diberi tanda
DRAMA sidang direcoki sejumlah tafsir, rakyat penontonnya. Gugat, cabut, dibantah, batal, ditunda, disetujui. Ruang uji gaduh, ruang tafsir ricuh, sekian lama tarik-ulur: beda pandangan, beda pendapat.
Karena kita akan terus mengulang pesta nista pembohongan rakyat, maka, cara apa saja terus digeluti, asal rakyat bingung: Eksploitasi kuras habis – kiat ekonomi pembangunanisme meninggalkan setumpuk besar perkara derita miskin isi kepala, miskin badan, miskin peran, tersingkir dari hak-hak tanggung-gugat negara. Kemudian teriak lagi, karena seremoninya datang lagi. Tiba dengan perkara sama. Tokoh-tokoh negeri sejumlah jabatan politis berkotbah kencang alih isu. Rakyat masih menyembah dewa-dewa pembangunan mengagungkan prasangka, jika rakyat pinter maka posisi para dewa itu terancam dan tak mungkin lagi disembah. Alasannya sudah disebut di atas, fakir segala miskin terstruktur terpola dan menyinta belenggu kebodohannya. Tentang ruang uji, telah kita saksikan sendiri polanya – urusan hak asasi dan keadilan bagi rakyat diperlambat – urusan jalan menuju kursi kekuasaan dibikinkan tafsirnya dengan berbagai alasan ingkar. Kita datangi ruang ujinya, telaah nomor-nomor perkara.
Ini selasatunya: Selasa, 03 Oktober 2023, sidang dilaksanakan Mahkamah Konstitusi mengonfirmasi pencabutan dan pembatalan pencabutan gugatan Almas Tsaqibbirru dan Arkaan Wahyu, yakni dua pemuda Indonesia yang ajukan permohonan judicial review terhadap Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Pemilu yang mengatur syarat usia minimal Capres Cawapres 40 tahun. Namun kronologi diberitakan janggal: gugatan dicabut, perkara terus berproses. Pemilik kursi kekuasaan berpeluang, rakyat disekap dalam ruang tunggu pembodohan.
Rakyat menonton, nyimak, entah mengerti apa kehendak penguasa. Demikian penguasa, nonton, nyimak, dan belagak bingung. Prasangka, silahkan. Ruang uji berkali-kali diinterupsi. Diabaikan, penguasa bersolek dengan isu-isu bingung: nepotisme telah memberi peluang lebih kepada dinasti untuk terus mengeruk memeras menindas keadilan kemanusiaan semesta, namun semua itu disebut sebagai model terkini demokrasi dalam negeri.
Interupsi terhadap ‘laku’, tindak: beberapa hari silam, Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum – Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam statusnya di media sosial, 10 Oktober 2023, menyebut, “Ternyata birahi kekuasaan itu jauh lebih dahsyat daripada birahi biologis. Apapun dilakukan, bahkan bisa dibuat legalitasnya atas nama hukum. Kalau birahi biologis – korbannya mungkin tak ada, kalau konsensual. Tetapi birahi kekuasaan yang berkelindan dengan dinasti politik, korbannya bisa sebangsa setanah air.”
Legalitas hukum atas nama sidang-sidang oleh kuasa negara tentu berhak terus dipantau oleh rakyat. Laku dan tindak ini mesti diinterupsi atas nama kedaulatan rakyat. Birahi kuasa lupa etik, lupa bahwa ongkos jalan sebuah sistem masih ditanggung pajak dan hutang.
Kawan-kawan sebangsa setanah-air, ini perang kita: melawan birahi kuasa yang menajiskan kedaulatan rakyat. Kita akan terus mengawal, memantau, menginterupsi segala proses bernegara – termasuk sidang-sidang atas nama hukum sekali pun. Demikian. (*)