Saturday, December 21

Anak-Anak dan Hujan


21 November 2021


Oleh: Daniel Kaligis


OBROLAN dengan kawan, namanya Alicia, 2018. Ketika itu, ibukota negara, menurut perkiraan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, April adalah awal kemarau, dan puncak dari musim itu ada di Agustus hingga September. Berdua kita bicarakan hujan. Genangan air masih ada di mana-mana.

Alicia minta foto hujan. Saya, sibuk sejumlah pertemuan tanpa arah, walau memberi dua link foto tentang hujan pada Alicia. Hari ini, ketika saya coba membuka halaman foto, yang saya jumpai adalah pemberitahuan: “Sorry, this content isn’t available at this time.”

Di bilik lain, dengan #Delta88, dia dan saya bercerita panjang lebar di selasatu kampung di ibukota, Gelora. Jl. Asia – Afrika, Tanah Abang. Di lahan milik Agung Podomoro Group itu membahas pekerja mogok, demokrasi, juga soal tanah rakyat, yang bila dipikir-pikir, persoalan yang berdua kita bahas itu kontras dengan situasi lokasi di mana kita menjejak. “Cerita di Wanua, orang-orang, dalam hal ini rakyat, sudah terkotak-kotak. Dan semua punya kepentingan. Hidup instan,” dengus #Delta88.

Rakyat ‘diadu-jangkrik’ oleh kepentingan para pentokar politik. Genangan, kolam banjir terlantar sementara berasap isu. Politik di ibukota memanas. Di daerah, lebih ganas lagi perseteruan politiknya.

Saya masih ngoceh, persaingan dewa dewi melahirkan perang. “Bahasa dicurigai, literatur dibatasi, ada indeks buku bahaya terlarang. Perang tak hanya tentara. Medan laga di sejumlah zaman sudah libatkan intelektual dan seniman. Manusia kobarkan perang. Sumberdaya dikerahkan: teks, panegyric, broadsheet yaitu lembar lebar yang nanti dikenal sebagai koran atau surat kabar, satire, lagu rakyat, permadani, monumen, potret, pedang, pisau, panah, pelor, racun, tombak, etc.” Namun, di bilik yang sama, informasi hoax dibiarkan gentayangan, semau-maunya. Soal-soal tak terverifikasi, tak terkonfirmasi, itu semua yang dibagikan pada ruang-ruang diskusi, bersama salam-salam yang basah saban pagi, selamat pagi, selamat beraktivitas, bersama sumpah, pengulangan janji-janji politik hipokrit.

Semua dikerahkan. Gerilya politik, tentara dan siapa saja beradaptasi berbunglon di politik amburadul berantakan. Gugur gunung. Rodi di zaman silam adalah pergulatan hari ini yang terus meninggi intensitasnya. Calon pemimpin dengan mimpi-mimpinya berkampanye. Banjir sementara naik. Lalu rakyat dan para pendoa mengutuk bencana. “Tuhan segera datang,” ujar mereka. Segala tanda dicurigai, termasuk hujan yang sudah ribuan abad-pun masih terus dituduh sebagai penyebab kiamat.

“Sir, Alice boleh request foto gak? Foto hujan,” kata Alicia.

Saya memberinya. Walau link foto itu ternyata tidak dapat dibuka sekarang. Itulah mengapa artikel tentang hujan itu saya tulis untuk Alicia.

Berapa kali memotret hujan, memotret anak-anak bermain di air, di banjir. Berulang kali hasil foto tidak maksimal, butir-butir air yang jatuh tampak aneh di lembaran foto. Terus mencoba, sambal mengamati anak-anak yang riang gembira oleh hujan. Ada kalanya bersua ada anak-anak yang menangis di deras air yang mengguyur dari langit. Jalan kota yang macet, tak sempat menanya alasan ‘mengapa dia menangis’.

Sekali waktu, bertahun silam, di Ripley’s Believe It or Not! Pattaya. Saya coba menekuri derap pengembaraan, sepasang bersua, terbit isu. Idea bertemu inovasi, masa depan tiba hari ini tanpa sanggup ditahan. Kaki-kaki lari, berpacu, lompati gunung, jurang, tebing, desa, kota, negara, melayang di langit, menemu damai dan surga.

Tapi, hujan masih sama di banyak lokasi. Menjadi tertuduh atas segala perkara. Banjir di ibukota negara, hujan jadi tertuduh. Saluran mampet, dan sampah cuma alasan.

Sore kemarin berbincang, berkenal sejumlah orang. Berapa masih ingat namanya sebab ditulis pada memory handphone, dicatat di notebook, sisanya terlupa. Hanya cara mereka menjabat dan menyapa masih terngiang. Berulang-ulang demikian.

Saya menulis sajak, entah untuk siapa:


berilah tanda
api menyala
senja padam kesumatmu

tetapkan lara bagi duka
teturunan kita terbakar zaman
hatinya bertabur debu


Seperti itu, kenang perjalanan, vision selalu real bila mau dibuktikan. Sedari malam memeriksa ticket di berapa situs online. Menilik isi dompet, dan tersenyum untuk sejumlah janji terbengkalai. Mereka punya maksud, dia punya rencana, saya punya idea. Menyatu misi, bergandeng, selanjutnya terserah modal. Obrolan demokrasi, hak rakyat, dan hujan.

Membaca di situs online, sekarang Arbor Day: Julius Sterling Morton, nama-nama, musim menanam, benih, lembar-lembar terbakar seminar. Membaca news, kabar kemarin, Britannica, penawar, imun, vitamin, harga politis, alkohol.

Ruang lain, #Delta88 tanpa kabar berita, tiada cerita sejak 2018, hilang. Kisah perjumpaan, obrolan tentang jiwa otonomi dalam membangun posisi tawar rakyat tak terealisir. Padahal, memang, usaha meramu otonomi di negeri penuh soal, tak semudah membalik telapak.

Interupsi bagi sistem, berilah pencerahan. Hentikan hoax dan todongan ketakutan membibirkan kemajuan berbagai sektor yang ternyata mundur dalam menindaklanjuti perkara rakyat. Hentikan praktik-praktik busuk pemerasan atas nama bisnis memperkaya diri sendiri, menipu rakyat.

Hujan akan terus ada, entah gerimis, entah deras. Hujan di musimnya, atau karena sebab-sebab yang lain. Yang paling disukai orang-orang itu hujan duit. Demikian artikel ini saya bikin untuk Alicia di Cileungsi, Bogor. Semoga berkenan. (*)